Tasawuf Jawa

Posted on Updated on

Gajah madaTasawuf (tasawwuf) atau sufisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun zahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf dalam Islam pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi), dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia. Sufisme merupakan sebuah konsep dalam Islam, yang didefinisikan oleh para ahli sebagai bagian dari batin, dimensi mistis Islam; yang lain berpendapat bahwa sufisme adalah filosofi perennial yang eksis sebelum kehadiran agama, ekspresi yang berkembang bersama agama Islam.

Tapi sekarang, ketika orang bicara tentang sufisme, maka tidak lagi terbayang kehidupan yang “menjauhi” hal duniawi. Gambaran kehidupan sederhana yang sekedar memakai kain wol dan makanan yang secukupnya, tidak lagi mewakili cara sufi. Karena sekarang, sufisme atau tasawuf telah menerobos sekat-sekat kultural. Banyak kaum kaya dan profesional mencari kedamaian dalam tasawuf. Berbagai majelis dzikir dan pusat-pusat latihan meditasi muncul di berbagai kota. Mempertemukan tradisi industrial yang membangun alienansi dengan air bening tasawuf yang memancarkan kedamaian jiwa. Sehingga seakan-akan tengah berlangsung kebangkitan tasawuf dalam kehidupan moderen ini.

Namun, gejala kebangkitan tasawuf itu sepertinya tidak mewakili hakekat dari ajaran sufi itu sendiri. Justru yang nampak adalah “wah”nya (kesemarakannya) tasawuf dan bukan “woh”nya (buahnya) tasawuf. Apa yang nampak dengan menjamurnya majelis dzikir dan pusat-pusat meditasi itu hanyalah merupakan fenomena kemarakan tawasuf instan belaka, bukannya ajaran hakiki dari tasawuf itu sendiri.

Ya. Golongan ini sesungguhnya sama saja dengan fenomena massifikasi gerakan tarekat. Dengan mengubah ajaran tasawuf, sehingga lebih mengutamakan segi praktis, yaitu lebih mengutamakan via semedhi, wirid dan persujudan – yang belum tentu benar, maka gerakan tarekat dapat diterima dan dijalankan secara massal. Padahal ini telah menggeser gerakan tasawuf yang sesungguhnya bersifat individul dari para sufi menjadi dapat dipraktekkan secara massif dan gampang oleh kaum awam. Akibatnya, nilai-nilai sufistik dari ajaran tasawuf tidak lagi tertransformasikan dengan baik. Padahal nilai-nilai sufistik itulah yang dapat diharapkan menjadi pondasi manusia untuk keluar dari kebuntuan modernitas. Tidak untuk “lari” dari dunia, tapi justru untuk memberikan sumbangan pemikiran dengan pandangan dunia baru yang lebih manusiawi. Dimana manusia mampu memanifestasikan sifat-sifat Tuhan dalam segenap hubungan dengan sekitarnya. Sehingga hubungan antara manusia dengan sekitarnya bukan hubungan eksploitatif, melainkan hubungan yang saling menghidupkan.

Untuk itu, seseorang yang paham makna ihsan, maka ia tidak akan memandang ibadah hanya sekedar bentuk wadag saja. Ia mengerti bahwa ibadah memiliki ruh, memiliki dimensi keluasan makna yang mengantarkannya kepada hakekat Tuhan. Dan karena itu orang yang sampai pada tingkatan ihsan ini, dalam kehidupannya seakan-akan bisa melihat Tuhan, atau setidaknya merasa selalu diawasi oleh Tuhan.  Sehingga, tasawuf itu merupakan jalan untuk sampai kepada kesempurnaan hidup. Ia adalah jalan pembersihan diri, sehingga mengantarkan manusia untuk sampai kepada Tuhannya. Yang menjadikan dirinya semakin baik dan berperilaku mulia.

image_t6

Untuk itu, ada dua ajaran yang cukup menonjol di dalam tasawuf, yaitu cinta dan kearifan. Dan bagi siapa saja yang tidak memiliki cinta dan kearifan di dalam dirinya, maka akan diragukan kesufiannya. Karena kedua hal itu adalah obat yang menyembuhkan kebanggaan dan rasa sombong, serta bagi seluruh kelemahan diri lainnya. Bahkan kedua hal itu juga merupakan hasil dari tasawuf. Dan mereka yang menempuh jalan para sufi akan dikaruniai oleh Tuhan dengan kemuliaan. Lalu dengan kemuliaan itulah, ia memantulkan cahaya Tuhan ke dunia untuk diambil manfaatnya.

Selain itu, mereka yang telah benar dalam menempuh jalan tasawuf adalah mereka yang mampu membedakan berbagai hal yang tampak sama tapi sesungguhnya berbeda, antara yang samar dengan yang nyata. Sebab mereka yang memiliki cinta dan kearifan tidak bisa dibatasi oleh jangkauan mata saja, bahkan zahir semata. Mereka itu mampu menembus rahasia di luar yang terlihat dan mampu menempatkan diri di dunia ini pada keadaan penghambaan. Karena hanya dalam hubungan penghambaan saja manusia itu akan diterima oleh Tuhan. Namun keadaan itu bukan berarti meninggalkan kewajibannya di dunia ini dan lari dari kehidupan sehari-hari. Karena cinta kepada Tuhan itu tidak lantas membuat seorang sufi melalaikan tugas dan kewajibannya pada manusia. Bahkan tujuan dalam mendapatkan cahaya Tuhan itu adalah untuk kemanusiaan.

Wahai saudaraku. Meskipun banyak pembahasan mengenai posisi manusia dalam kajian tasawuf ini, maka pemahaman di atas bisa sedikit banyak menyingkirkan anggapan bahwa sufisme adalah gejala eskapisme (sikap hidup yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala kesulitan, terutama dalam menghadapi masalah yang seharusnya diselesaikan secara wajar). Juga menolak anggapan bahwa sufisme melalaikan keberadaan dan nasib manusia.

Untuk itu, sesuai dengan judul tulisan ini, maka kita akan membahas tasawuf dalam tataran Nusantara, khususnya yang ada pada kehidupan orang Jawa. Karena sesungguhnya model kehidupan seperti yang di lakukan oleh para sufi telah ada jauh sebelum masa kemunculan Islam di tanah Arab. Orang Jawa sejak zaman awal kehidupan manusia di Bumi telah mengenal berbagai prinsip yang sekarang dikenal dengan tasawuf atau sufisme atau mistisisme. Dan itu tetap ada hingga saat ini, meski memang sudah tidak banyak lagi. Hanya saja, setelah kedatangan Islam di tanah Jawa, maka ajaran leluhur turun temurun itu menjadi semakin kaya dan lengkap.

lukisan-rampogan-macan-louis-henri-wilhelmus

Di dalam tradisi Jawa, maka tentang tasawuf atau kesufian ini setidaknya ada dua bahaya yang bisa mengancam cara hidup manusia – khususnya saat ini, yaitu nafsu (howo nepsu) dan egoisme (pamrih). Oleh sebab itu, manusia harus mengontrol nafsunya dan melepaskan pamrihnya. Nafsu adalah perasaan kasar karena ia menggagalkan kontrol diri manusia dan membelenggunya secara buta kepada dunia. Nafsu-nafsu memperlemah manusia, karena memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa guna. Nafsu yang membahayakan dalam tasawuf versi Jawa disebut Malima, yaitu lima nafsu yang dimulai dengan M (ma), di antaranya:

1. Madat (narkoba)
2. Madon (berzina, maksiat)
3. Minum (mabuk-mabukkan)
4. Mangan (serakah)
5. Main (berjudi)

Sehingga untuk mengontrol nafsu-nafsu itu seseorang harus melakukan tirakat atau bahkan laku tapa brata, seperti mengurangi makan dan tidur, menguasai diri di bidang seksual, mengasah kemampuan batin dengan jalan meditasi, dan lain sebagainya. Sebab, tapa atau laku tirakat lahiriah bisa memperkuat kehendak dalam usaha untuk mempertahankan keseimbangan batin dan agar berkelakuan yang sesuai dengan tuntunan keselarasan sosial.

“Yayi siro, perang sabil puniko ora mung lawan si kapir wae, amergo sakjroning dhodho puniko ono perang brotoyudho. Langkung rame aganti pupuh-pinupuh. Iyo lawan dhewekiro. Mulo iku utamake kang lampah tarlen amung wong bekti marang Gusti Kang Moho Agung: Dindaku. Perang sabil itu bukan hanya melawan orang kafir saja, karena di dalam dada itu ada perang bharatayudha (perang sangat besar). Ramai sekali dan saling pukul memukul. Yaitu perang melawan diri sendiri. Untuk itu, seyogyanya laku hidup itu tiada lain hanya berbakti kepada Tuhan Yang Maha Agung”

Selanjutnya, bahaya kedua yang harus diperhatikan seseorang adalah pamrih (egoisme). Sebab, bertindak karena dasar pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan dirinya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain (masyarakat). Pamrih jelas memperlemah manusia dari dalam dan barang siapa yang mengejar pamrih-nya, ia memutlakkan keakuannya sendiri, mengisolasi dirinya sekaligus memotong diri dari sumber kekuatan batin. Karena itulah, pamrih akan jelas terlihat dalam tiga nafsu, yaitu:

1. Nepsu menange dhewe (selalu ingin menjadi orang yang pertama atau ingin menang sendiri)
2. Nepsu benere dhewe (menganggap diri selalu betul)
3. Nepsu butuhe dhewe (hanya memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri)

Sedangkan sikap-sikap lain yang tercela adalah kebiasaan untuk menarik keuntungan sendiri dari setiap situasi tanpa memperhatikan orang lain (aji mumpung) atau untuk mengira bahwa karena jasa-jasa tertentu seseorang merasa punya lebih banyak hak dari orang lain (dumeh).

happy

Selanjutnya, setelah seseorang bisa mengetahui keburukan di atas, maka ia juga harus mampu menggali potensi yang ada di dalam dirinya. Ia harus terus mengembangkan hal-hal yang sangat penting bagi kebenaran hidupnya dan pencapaiannya pada kesempurnaan diri. Caranya dengan terus berusaha menaikkan tingkat kualitas pengkajian dirinya sendiri. Tidak mudah, tapi ia harus tetap mengusahakannya, karena itulah jalan yang semestinya. Adapun di antaranya sebagai berikut:

1. Nanding sariro
Tahapan dimana sesorang membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan mendapati bahwa dirinya lebih unggul.

2. Ngukur saririo
Tahapan dimana seseorang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri sebagai tolak ukurnya.

3. Tepo sariro
Tahapan dimana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain atau memiliki tenggang rasa yang tinggi.

4. Mulat sariro
Tahapan dimana seseorang mencoba dan mulai memahami dirinya sejujur-jujurnya.

5. Mawas diri
Tahapan dimana seseorang telah melebihi kemampuan mulat sariro, karena ia telah menemukan identitasnya sendiri (jati diri) yang terdalam sebagai pribadi.

Untuk itu, manusia telah diberi anugerah oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun di antara manusia yang satu dengan yang lainnya mempunyai bagian yang berbeda-beda, yang disebut juga bedo-bedo panduming dumadi, sementara kesadaran akan perbedaan itu disebut narimo ing pamdum. Kesadaran ini sangat penting untuk pengendalian diri. Si miskin tidak perlu iri, dan si kaya tidak akan pernah sombong dan menghina, menghardik serta merendahkan. Karena ukuran penghargaan seseorang tak semata-mata karena hasil materi, namun lebih dititikberatkan pada aspek usaha dan prosesnya. Sehingga dengan sikap narimo ing pandum, seseorang tidak akan ngoyo di dalam mengejar harta benda. Karena baginya yang dipentingkan itu adalah kerja dan pasrah kepada Tuhan.

“Ojo koyo jaman saiki mangkin akeh poro mudha mudhi dhiri rapal makna. Amergo yen satriyo tanah Jawi kuno itu kang ginilut tri perkoro. Lilo lamun kelangan ora gegetun, trimo yen ketaman sakresik  sameng dumadi, lan legowo nelongso srah ing Gusti Pangeran: Jangan seperi zaman sekarang, dimana banyak anak muda yang hanya mengagungkan rapal dan mantra. Karena bagi kesatria tanah jawa dahulu itu yang menjadi pegangan ada tiga hal. Rela apabila kehilangan dan tidak kecewa, menerima bila mendapat cobaan karena hati ikhlas, dan menyerahkan semua urusan kepada Tuhan”

Ya. Siapa yang ingin bertindak secara bertanggungjawab hendaknya mampu memahami batasan-batasannya dan bertindak sesuai dengan kedudukannya. Sebab, segala gangguan terhadap keselarasan kehidupan ini akan merugikan semua. Manusia yang membuat rencana-rencana besar untuk memperbaiki dunia ini dan berusaha untuk melaksanakannya tanpa memperhatikan masyarakat dan alam sekitar, merupakan tanda kesombongan diri. Karena kekuasaan untuk mengubah sesuatu di dalam realitas tidaklah terletak di tangan manusia, tetapi Tuhan Sang Maha Pencipta. Sehingga, hendaknya manusia itu selalu ingat akan takdir-Nya. Segalanya sudah ditentukan seluruhnya, dan setiap makhluk itu telah dibagi nasibnya, ditarik garis hidupnya, dan tidak dapat menyeleweng daripadanya.

Karena itulah, orang yang bijaksana dibedakan dengan orang yang bodoh. Sebab orang-orang yang bijaksana itu memahami hal di atas. Ia memusatkan tenaganya pada usaha untuk mempertahankan garis hidupnya, artinya menemukan tempatnya dalam masyarakat dan membiarkan setiap unsur yang lain menemukan tempatnya sendiri-sendiri, sedangkan ia sebagai nahkodanya.

Selain itu, setiap manusia itu baik ia kecil maupun besar, tua ataupun muda, baik penting atau tidak, memiliki tugasnya yang khas dalam keseluruhan. Perdamaian dan kemakmuran masyarakat bergantung dari apakah setiap pihak telah memenuhi tugasnya yang khas tersebut. Karena siapapun yang mengerti tempatnya dalam masyarakat dan dunia, maka ia juga akan memiliki sikap batin yang tepat dan dengan demikian juga akan bertindak dengan tepat. Sebaliknya, siapa yang membiarkan diri dibawa oleh nafsu dan pamrihnya, yang melalaikan kewajibannya dan acuh tak acuh pada kerukunan serta rasa hormat, maka dengan demikian ia telah memberi kesaksian bahwa ia belum mengerti tempatnya di dalam keseluruhan alam semesta.

Sehingga dalam hal ini perlu diketahui bersama bahwa sikap-sikap khas yang perlu ditanamkan oleh setiap pribadi di antaranya yaitu:

1. Sabar (kesabaran)
Sikap penuh kehati-hatian, tenang dan berpikiran jernih, serta tidak mudah menyerah dengan keadaan.

2. Nrimo (menerima apa adanya)
Mampu bereaksi secara rasional ketika mengalami kesulitan hidup ataupun kekecewaan, tidak roboh dan menentang secara percuma.

3. Rilo (Ikhlas)
Bersedia melepaskan keakuan dan menyesuaikan diri dengan alam semesta sebagaimana sudah ditentukan.

4. Temen (jujur)
Sikap yang tidak berpura-pura dan berbohong. Karena siapa yang dapat mengandalkan janjinya. Siapa yang bersikap jujur juga akan bersikap adil dan hatinya berani dan tenteram.

5. Prasojo (sederhana)
Hidup yang merasa cukup dan sederhana, serta bersedia menganggap diri sendiri lebih rendah (andapasor) dari orang lain alis rendah hati.

Untuk itulah, siapa yang memiliki sikap-sikap di atas tentunya akan berbudi luhur. Budi luhur adalah kebalikan dari semua sifat yang buruk dan dibenci, seperti kebiasaan mencampuri urusan orang lain (open, dahweh), budi yang rendah atau iri (srei), dengki, suka main intrik (jail) dan kasar (methakil). Budi luhur berarti mempunyai perasaan tepat bagaimana cara bersikap terhadap orang lain, apa yang bisa dan apa yang tidak bisa di lakukan dan dikatakan. Siapa yang berbudi luhur akan bersikap baik tidak hanya kepada orang baik, tetapi juga kepada orang yang tidak baik. Sebagaimana kata pepatah lama; “Sopo becik den beciki, sopo olo den beciki“.

Namun lain pula halnya yang sering terjadi pada orang-orang yang biasa, yaitu mereka yang telah sangat mencintai kenikmatan sesaat duniawi. Kini, apa yang dipikirkan dan diperbuatnya hanyalah yang dapat memuaskan nafsunya saja. Ia sangat tak senang pada kemampuan orang lain, dan berkata bahwa kemampuannyalah yang lebih baik. Kesalahannya yang besar disembunyikan dalam dirinya dan disimpan rapat-rapat, hingga tak bisa terlihat. Tetapi bila ada kesalahan orang lain, walau cuma sedikit, maka dicari-carinya dan juga diungkapkan ke muka umum tanpa rasa malu.

kesombongan

Selain itu, hatinya sangat senang bila melihat orang lain ada dalam kesusahan. Ia iri hati terhadap orang yang mendapatkan kenikmatan dan bahkan ia menjerumuskan orang yang sedang susah itu dalam kecelakaan. Orang-orang yang sangat baik dan sangat berbudi juga di fitnahnya. Ia sangat marah bila ada yang mencelanya – meskipun itu benar adanya, namun senang sekali andai disanjung. Lalu dengan berbagai cara itu ia menghina orang dan dengan rasa dengki hatinya memperkecil orang yang telah berjasa besar. Tiada sungkan-sungkan lagi ia mengecam segala perbuatan orang yang sedang asyik melaksanakan perbuatan baik.

Sungguh, demikianlah pikiran orang yang jahat karena ia suka mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal belum ada bukti yang dapat ia perlihatkan kepada umum, dan belum tentu ia lebih baik daripada orang yang ia persalahkan. Kata-katanya sajalah yang hebat, dan ia seperti burung enggang dengan patuknya yang sangat besar. Ia sendiri tak dapat terbang, ia diam saja dalam sarangnya, sebab kemampuannya tak sepadan dengan kata-katanya sendiri. Dan sungguh demikian jadinya dengan orang yang tak henti-hantinya memperturutkan segala kehendak nafsunya. Ia tak peduli ditertawakan orang lain, sebab khawatir dan takut dikatakan kalah bijaksana. Dan karena selalu ingin dipuji dan disanjung, maka ia berkata; “Tentulah saya akan menyelamatkan dunia, karena sayalah yang terbaik” Padahal jangankan ia berhasil, karena malah sebaliknya, ia terbawa masuk ke dalam Neraka akibat dosa-dosanya sendiri.

Untuk itulah, tutur kata yang jujur, halus, manis dan hati-hati akan dihargai orang lain. Begitu pun kesopanan bisa mengawetkan persahabatan. Karena ada pepatah lama yang berbunyi “Ajining dhiri soko lathi” yang berarti harga diri itu berasal dari ucapan. Sehingga, kata-kata yang manis disertai kejujuran akan menyenangkan orang lain, dan sebaliknya, kata-kata yang kasar mudah melukai perasaan orang lain, yang tentunya tidak akan pernah disukai siapapun.

Sehingga berusahalah untuk selalu berteman dengan orang-orang yang baik budi bahasanya dan sabar hatinya. Dan jangan berteman dengan orang yang jahat serta tidak dapat dipercaya, sebab tentu saja akan membawa pada musibah dan bencana. Lihatlah si angsa yang berteman dengan burung gagak, seluruh keluarganya habis mati. Demikian pula dengan orang yang tidak berhati-hati akan menemui bencana yang amat tak terhingganya.

Untuk itu, ilmu manusia itu setidaknya terbagi dalam dua jenis. Yang pertama adalah ilmu kamanungsan (kemanusiaan) yang lahir dari jalan inderawi dan melalui laku kamanungsan (perilaku manusiawi). Yang kedua adalah ilmu kesempurnaan yang lahir melalui pembelajaran langsung dari Sang Khalik. Untuk jenis kedua ini, ia terjadi melalui dua cara, yaitu dari luar dan dari dalam diri. Yang dari luar dilalui dengan belajar, sedangkan yang dari dalam dilalui dengan cara menyibukkan diri dengan jalan ber-tafakur (suatu perenungan dengan melihat, menganalisa, meyakini secara pasti untuk mendapatkan keyakinan terhadap sesuatu).

Adapun ber-tafakur secara batin itu sepadan dengan belajar secara lahir. Belajar memiliki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari gerak gurunya. Sedangkan tafakur memiliki makna batin, yaitu sukma seorang murid yang mengambil manfaat dari sukma sejati, yaitu jiwa sejati. Sukma sejati dalam olah ilmu memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan nalar. Ilmu-ilmu seperti itu tersimpan kuat pada pangkal sukma, bagaikan benih yang tertanam dalam tanah, atau mutiara yang berada di dasar laut.

Ketahuilah saudaraku, bahwa kewajiban orang hidup itu tidak lain adalah selalu berusaha menjadikan daya potensial yang ada di dalam dirinya menjadi bentuk perbuatan yang bermanfaat. Sebagaimana engkau juga wajib mengubah daya potensial yang ada dalam dirimu menjadi perbuatan, melalui belajar. Sejatinya di dalam belajar, sukma sang murid menyerupai dan berdekatan dengan sukma sang guru. Sebagai yang memberi manfaat, guru laksana bumi, dan sebagai yang meminta manfaat, maka murid itu laksana petani.

anak-petani

Ketahuilah juga bahwa ilmu merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya tumbuh-tumbuhan. Apabila sukma sang murid sudah matang, maka ia akan menjadi seperti pohon yang berbuah lebat, atau seperti mutiara yang sudah dikeluarkan dari dasar samudera. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa, berarti murid masih harus terus menjalani laku prihatin dalam olah ilmu dengan cara menyelami kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat. Karena jika cahaya rasa mengalahkan macam-macam indera, berarti murid lebih membutuhkan sedikit tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab, sukma yang cair atau dalam bahasa Arab disebut dengan nafs al-qabil, akan berhasil menggapai manfaat walau hanya dengan berpikir sesaat, ketimbang proses belajar setahun yang di lakukan oleh sukma yang beku (nafs al-jamid).

Jadi, engkau bisa mendapatkan ilmu dengan cara belajar, dan bisa juga mendapatkannya dengan cara ber-tafakur. Walau pun sebenarnya dalam belajar itu juga memerlukan proses tafakur. Dan dengan tafakur engkau tahu bahwa manusia itu hanya bisa mempelajari sebagian saja dari keseluruhan ilmu dan tidak bisa semuanya. Lalu dengan ber-tafakur seseorang juga bisa berhasil menguak berbagai rahasia Tuhan. Sehingga dengan begitu terbukalah asumsi dasar dari keilmuan yang menyebabkan persoalan tidak berlarut-larut dan segera tersingkaplah kebodohan yang sering menyelimuti kalbu.

Untuk itu, jika pintu sukma terbuka, maka seseorang akan tahu bagaimana cara ber-tafakur dengan benar dan selanjutnya ia bisa memahami bagaimana merealisasikan apa yang diinginkannya. Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran jadi terbuka dan daya potensial yang ada di dalam diri akan lahir menjadi aksi (perbuatan) yang berkelanjutan dan tidak mengenal lelah dan putus asa.

Makanya, segala situasi itu harus bisa dirasakan, dan terhadap perasaan orang lain, manusia yang sejati harus menunjukkan rasa hormat, harus membangun suatu modal rasa cinta yang bisa diperbanyak, sebagai kesanggupan yang makin besar untuk merasakan realitas kehidupan ini. Inilah jalan tasawuf dan perilaku sufi yang diajarkan dalam masyarakat Jawa. Karena makin halus perasaan seseorang, maka semakin mendalam pengertiannya, semakin pula luhur sikap moralnya dan semakin indah segi luar dan dalam dirinya. Dan dari rasa yang tepat itulah, dengan sendirinya akan mengalir sikap yang tepat terhadap hidup, masyarakat dan terhadap kewajiban dirinya sendiri, terutama tentang Tuhan. Sehingga ia akan otomatis membawa kebaikan yang tidak untuk dirinya sendiri, tetapi juga kepada siapapun yang berada di sekitarnya. Sebab, sebelumnya ia telah menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun zahir dan batin serta sudah memperoleh kebahagian yang abadi, yaitu menatap Wajah-Nya dalam cinta dan kerinduan.

Yogyakarta, 02 Juli 2015
Mashudi Antoro (Oedi`)

(Disarikan dari berbagai sumber dan diskusi)

Tulisan yang terkait dengan artikel ini:
* Ajaran luhur budhi dharma Nusantara
* Kebangkitan spiritual modal kebangkitan Nusantara
* Kebaktian kepada Tuhan awal kebangkitan Nusantara
* Meraih kemerdekaan jiwa dengan jalan cinta

9 respons untuk ‘Tasawuf Jawa

    Retna said:
    Juli 2, 2015 pukul 2:04 pm

    bermanfaat… kebetulan, saya juga mengajarkan ini… terimakasih ya mas…. terbantu saya… 🙂

      oedi responded:
      Juli 3, 2015 pukul 9:58 am

      Alhamdulillah kalau gitu mbak, sama-sama deh, senang bisa membantu, semoga tetap bermanfaat.. 🙂

        budi prasetia said:
        Juli 14, 2016 pukul 8:40 am

        om kalau mau belajar gimana? saya pengen belajar sama om , prasetiart@yahoo.com

        oedi responded:
        Juli 22, 2016 pukul 2:25 am

        Waduh.. jangan belajar kepada saya mas, saya ini masih awam dan dalam tahap belajar kok.. carilah sosok guru yang mumpuni, yang memang sangat memahami seluk beluk tentang Tasawuf.. 🙂

    Retna said:
    Juli 10, 2015 pukul 9:12 pm

    sip..sip… 🙂

    […] Dan perlu diingat! bahwa apa tujuan sebenarnya dari usaha menguasai ilmu atau bahkan moksa itu? Apakah tujuan dalam melatih diri itu hanya untuk mencari kekuatan supranatural atau mencari Tuhan? Jika seseorang hanya sekedar mencari kekuatan supranatural, maka ia akan mendapatkannya dan selesailah sampai disitu saja. Namun jika tujuannya adalah untuk mencari Tuhan, maka ia akan mendapatkan Tuhan. Dan ketika ia bisa mendapatkan Tuhannya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan segalanya dalam kehidupan ini, bahkan tanpa harus moksa. [Silahkan baca: Meraih Kemerdekaan Jiwa dengan Jalan Cinta, atau Kebangkitan Spiritual Modal Kebangkitan Nusantara, atau Tasawuf Jawa] […]

      Omah Nurjannah said:
      Januari 3, 2017 pukul 9:08 am

      terimakasih. ini adalah pencerahan bagi saya. izin share

        oedi responded:
        Januari 10, 2017 pukul 6:19 am

        Syukurlah kalau begitu mbak Omah Nurjannah, terimakasih atas kunjungan dan dukungannya, semoga bermanfaat.. 🙂
        Oh silahkan saja mbak, monggo..

    Perjuangan Cinta Dari Sang Murid Setia « Perjalanan Cinta said:
    September 15, 2021 pukul 4:56 am

    […] Itulah jalan Tasawuf [2] yang semestinya. Perjuangan yang panjang hingga mendapatkan Cahaya yang benderang yang […]

Tinggalkan komentar