Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Sebagaimana yang telah dibahas pada blog ini tentang makna Wahyu dalam kebudayaan Jawa, maka selain Wahyu Makutha Rama dan Wahyu Keprabon, maka ada jenis Wahyu lainnya seperti Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku. Keduanya sangat dibutuhkan oleh siapapun yang ingin menemukan kesejatian. Ibarat sekolah, maka keduanya itu bisa dibilang sama dengan jenjang pendidikannya. Dan yang namanya jenjang pendidikan, maka harus diikuti satu persatu semuanya agar meraih predikat lulus.

Nah, Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku adalah sesuatu yang menakjubkan namun perlu dipahami secara bijaksana. Mengapa begitu? Sebab meskipun ini sangatlah istimewa dan luar biasa, tetap saja bukan agama atau kepercayaan, bukan pula syariat khusus atau jenis tersendiri yang ekslusif, melainkan suatu laku hidup yang jadi pilihan khusus bagi para kesatria utama. Tujuannya adalah untuk bisa manunggal dengan Hidup yang sebenarnya. Dan jika itu dapat terwujud, maka terciptalah kesatuan antara kawula dan Gusti-nya. Dalam hal ini melalui jalan bersatunya sedulur papat kalimo pancer terlebih dulu. Dimana sedulur papat itu adalah hasrat, rasa, budi pekerti, dan panca indriya, sementara pancer-nya adalah diri sendiri. Itulah yang disatukan dalam hidup agar menyatulah keseluruhan diri pribadi secara lahir batin. Tak terpisahkan dalam waktu dan kondisi apapun. Seperti halnya ketika Hyang Aruta (Tuhan YME) menciptakan segala sesuatunya dari satu wujud yang satu.

Catatan: Wahyu yang dibahas disini bukanlah Wahyu Kenabian yang diterima khusus oleh para Nabi dan Rosul, tetapi sesuai dengan kebudayaan Jawa yang diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia dari Tuhan yang diperoleh Manusia secara goib. Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan kepada seorang yang pantas. Sedangkan Manusia hanya dapat melakukan upaya dengan menekuni “mesu raga” dan “mesu jiwa” dengan jalan tirakat, puasa, ber-semedhi, ber-tapa brata dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan olah batin. Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan Wahyu, selain atas kehendak atau anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan kata Wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya.

Ya, Wahyu Panca Goib dan dan Wahyu Panca Laku itu juga merupakan ilmu pengetahuan yang berangkat dari Budhi Daya Hidup yang bersemayam dalam diri pribadi dan bersumber dari Hyang Aruta (Tuhan YME). Wahyu tersebut diberikan atau lebih tepatnya dititipkan oleh Sang Maha Suci kepada seseorang agar hidup dan kehidupannya selamat. Karena di antara manfaat yang didapatkan ketika bisa menyatu dengan Wahyu ini adalah sebagai berikut:

1. Bisa dan layak disebut sebagai Manusia hidup, tidak hanya sebatas makhluk ciptaan belaka.
2. Menjadi paripurna sehingga bisa tahu dan paham akan firman dari Hyang Aruta (Tuhan YME) secara benar.
3. Menjadi sempurna sehingga bisa mengerti kehendak dari Hyang Aruta (Tuhan YME) secara benar, baik itu tersirat maupun yang tersurat.
4. Dll

Makanya, Wahyu Panca Goib ini tidak bisa dirancang atau dikira-kira, sebab datangnya tiba-tiba dan Hyang Aruta (Tuhan YME) langsung berfirman kepada seorang pribadi yang telah hidup dalam arti yang sebenarnya. Sehingga tidak ada kitab tuntunan di dalam Wahyu Panca Goib ini, melainkan diri pribadi dan alam semesta. Dan karena itulah di dalam Wahyu Panca Goib itu sendiri terdapat Wahyu Panca Laku, yang oleh para leluhur – salah satunya terdapat di dalam Ajian Mundi Jati Sasongko Jati – disebutkan sebagai Adamakna. Nah meskipun kerap disebut kitab, Adamakna ini tidak berupa lembaran-lembaran yang bertulis, tetapi diri pribadi sendiri dan alam semesta raya. Sehingga ini pun sejurus dengan hadits Nabi yang berbunyi “Man arofa nafsahu, faqoq arofa robbahu : Barang siapa yang mengenali dirinya, niscaya akan mengenali Tuhannya.”

Catatan: Ajian Mundi Jati Sasongko Jati itu tidak lagi hanya membahas tentang kesaktian saja, tetapi lebih kepada penempaan diri untuk tujuan akhirnya, yaitu bisa mengarah kepada Sangkan Paraning Dumadi, alias pengetahuan tentang “dari mana Manusia berasal dan kemanakah ia akan kembali”. Makanya ajian ini membahas tentang penempaan diri untuk berbagai kesaktian yang bisa dicapai oleh Manusia, yang tujuan akhirnya untuk bisa mengarah ke Sangkan Paraning Dumadi. Karena itulah pada masa lalu pun ilmu ini sangatlah rahasia dan dirahasiakan. Sementara yang menjadi fokus ajarannya adalah tentang penerapan cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk. Makanya ada wejangan khusus di dalamnya, yang dikenal dengan nama Wahyu Panca Laku dan Wahyu Panca Goib. Dimana siapapun yang ingin menguasai ajian ini haruslah bisa menguasai dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari terlebih dulu.

Untuk itu, galilah segala yang ada pada keseluruhan dirimu (lahir batin) dengan rahsa yang mendalam, sebab didalamnya ada firman Tuhan yang mengalir. Dan jangan terburu-buru saat mengamalkannya, jangan pula hanya menggunakan perasaan dalam menjalaninya, juga tidak perlu menduga-duga atau malah merekayasa, karena hanya dengan kesabaran yang tinggi dan menghargai setiap prosesnya, maka disanalah akan terbuka pintu tujuan yang hakiki. Pun sadarilah bahwa ada Panca Laku (lima sifat, sikap dan tindakan) yang tersembunyi di setiap gerak-gerik dan helaan napas kehidupan ini. Didalamnya ada banyak rahasia yang bertingkat yang perlu dan harus diketahui sendiri, tidak boleh hanya menurut katanya saja.

Sehingga perlu diketahui bahwa sesungguhnya antara Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku itu adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. Dan ada lima tingkatan yang harus disadari oleh seseorang agar ia bisa mengamalkan keduanya dengan benar, yaitu:

1. Kunci (kunci/pedoman) –> Manembahing Kawula Gusti.
2. Paweling (sarana) –> Manunggaling Kawula Gusti.
3. Asmo (nama/diri sejati) –> Leburing Kawula Gusti.
4. Mijil (keluar) –> Sampurnaning Kawula Gusti.
5. Singkir (lepas) –> Sampurnaning Pati Urip.

1) Manembahing Kawula Gusti => “Obahe Pikir kasebut Kareb. Niyat kang saka pikir iku kasebut Karsa”.
2) Manunggaling Kawula Gusti => “Obahe Kareb kasebut Rahsa. Niyat kang saka Kareb kasebut Karya”.
3) Leburing Kawula Gusti => “Obahe Rahsa kasebut Bathin. Niyat kang saka Rahsa kasebut Manteb”.
4) Sampurnaning Kawula Gusti => “Obahe Bathin kasebut Osik. Niyat kang saka Bathin kasebut Meneb”.
5) Sampurnaning Pati Urip => “Obahe Osik kasebut Nurulloh. Niyat kang saka Osik kasebut Sujud/Pasrah.”

Artinya:
1) Bergeraknya Pikir itu disebut Keinginan. Niat yang dari Pikir disebut Kemauan.
2) Bergeraknya Keinginan disebut Rahsa. Niat yang dari Keinginan disebut Karya.
3) Bergeraknya Rahsa disebut Bathin. Niat yang dari Rahsa disebut Mantap.
4) Bergeraknya Bathin disebut Osik (gerak). Niat yang dari Bathin disebut Menep (matang, utuh, seimbang, bijaksana).
5) Bergeraknya Osik (gerak) disebut Nurulloh (cahaya Ilahi). Niat yang dari Osik disebut Sujud/Tunduk/Pasrah. => Sujud/Tunduk/Pasrah inilah Nurulloh (cahaya Ilahi), yang disebut menyatunya Diri/Hidup dengan Hyang Maha Hidup.

Maksudnya; Segala sesuatu yang berasal karena pemikiran, tanpa didasari dengan rasa yang terdalam (rahsa), maka semua itu hanya mencari keuntungan semata, mencari nama, mendapatkan ketenaran (popularitas) belaka, yang semuanya itu adalah bentuk keduniawian. Namun jika kita melakukan sesuatu dengan niat kedalam (sampai tingkat batin saja), maka semakin kedalam semakin pula tunduk/pasrah/tawakal orang tersebut, apalagi lebih dalam dari sekedar batin.

Nah Pikir dan Keinginan itu dimiliki oleh orang pada tingkat Manembah (Kamadhatu/Syariat dan Tharikat), karena pada tataran ini masih bersifat duniawi. Rahsa dan batin dimiliki oleh orang pada tataran Manunggal (Rupadhatu/Hakikat), karena sudah mengurangi keduniawian. Sementara Osik (gerak) dan Nurulloh (cahaya Ilahi) dimiliki oleh orang pada tataran Lebur (Arupadhatu/Makrifat). Sedangkan Cipta (hasil karya), Rahsa (rasa terdalam), Karsa (daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak), Rumangsa (merasa dalam tataran yang lebih dalam), dan Ngrasakake ananing Urip (merasakan adanya Hidup sejati) dimiliki oleh orang yang sudah pada tataran Sempurna (Suci).

Selanjutnya, untuk lebih jelasnya mengenai Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku ini maka ikuti uraian berikut ini:

1. Kunci (kunci/pedoman) –> Manembahing Kawula Gusti.
Dalam Wahyu Panca Laku tingkatan pertama, yaitu Manembahing Kawula Gusti ini, maka terbagi menjadi tiga unsur yaitu :

1) Hubungan antara Aku dan Hyang Aruta (Tuhan YME) –> Yang bisa menumbuhkan Iman secara alami.
2) Hubungan antara Aku dan sesama makhluk hidup –> Yang bisa menumbuhkan Cinta dan Kasih Sayang secara alami.
3) Hubungan antara Aku dan Alam Semesta –> Yang bisa menumbuhkan Cipta, Rahsa, Karsa, Rumangsa, dan Ngrasakake ananing Urip secara alami.

Nah Cipta, Rahsa, Karsa, Rumangsa, dan Ngrasakake ananing Urip itu akan terkupas secara alami pula pada tingkatan kedua (Manunggaling Kawula Gusti), sedangkan pada tahap yang ketiga (Leburing Kawula Gusti), maka akan terbahas dengan sendirinya secara alami pula. Kemudian saat di tingkatan ke empat (Sampurnaning Kawula Gusti), maka ini yang akan mengajarkan tentang sifat dan sikap berpasrah diri pada Hyang Maha Suci dalam menjemput kematian Manusia itu sendiri, yang disebutnya dengan Ilmu Kasampurnan. Selanjutnya di tingkatan yang ke lima (Sampurnani Pati Urip), maka inilah yang bisa mengantarkan seseorang pada Kesejatian.

Selain itu, dalam tingkatan Manembahing Kawula Gusti ini, pelaku Wahyu Panca Goib akan ditempa oleh Hyang Maha Perkasa dan diajari oleh hidupnya sendiri yang sebagai Guru Sejatinya tentang:

1) Pengetahuan tentang Kasasujudan/Sasujud (hubungan antara Manusia dengan Gusti Hyang Maha Suci/Hablumminalloh), lazimnya orang Jawa menyebutnya sebagai Dedalaning Gusti atau Jalan Tuhan, atau jika dirumuskan sebagai berikut:

Ingsun (Aku) + Gusti Pengeran = Iman.

2) Pengetahuan tentang Kasusilan/Susila (hubungan Manusia dengan Manusia atau hubungan antar sesama/Hablumminannas), atau jika dirumuskan sebagai berikut:

Ingsun (Aku) + Sesama Manusia = Budi Pekerti.

3) Pengetahuan tentang Kasamaden/Semedhi (hubungan Manusia dengan Alam (Hablumminal ‘alam), atau jika dirumuskan sebagai berikut:

Ingsun (Aku) + Alam = Cipta, Rasa, Karsa, Rumangsa, dan Ngrasakake ananing Urip.

Jadi, Cipta, Rahsa, Karsa, Rumangsa, dan Ngrasakake ananing Urip akan diperdalam pada tingkatan Laku Manunggaling Kawula Gusti. Sedangkan pada tataran Manembahing Kawula Gusti, siapapun dia, pola kemauannya masih pada tahap Pikir dan Keinginan, karena itu butuh dan perlu Kunci seperti contoh berikut ini:

Obahe Pikir iku kasebut Kareb, obahe Kareb kasebut Rahsa. Niyat kang saka pikir iku kasebut Karsa, niyat kang saka Kareb kasebut Karya.

Artinya; Bergeraknya Pikir itu disebut Keinginan, bergeraknya Keinginan disebut Rahsa. Niat yang dari Pikir disebut Kemauan, Niat yang dari Keinginan disebut Karya.

Maksudnya; Pada tataran ini, diri seseorang masih berkemauan yang hasilnya kadang mau menjalankan kadang tidak, atau jika sudah bisa mengerti akan agama/pelajaran, maka dia akan berkarya untuk dirinya sendiri.

Dan perlu diketahui, bahwa pengetahuan Kasusilan/Susila dalam Manembahing Kawula Gusti itu sangat penting, disebabkan karena hubungan antara Manusialah sebagai pangkal dari kedamaian atau kekisruhan yang ada dalam dunia ini. Maka penekanan sikap dalam ajaran Manembahing Kawula Gusti ini di antaranya terdapat dalam petuah berikut:

Agama iku satemene mung sadrema buku. Nanging agama kang sejati iku lakumu. Marga laku kang becik iku ibarat madep Gusti kang tanpa sujud.”

Artinya; Agama itu hanya sekedar buku. Tetapi agama yang sejati itu tingkah perbuatanmu. Sebab perbuatan yang baik itu ibarat menghadap Tuhan tanpa sujud.

Maksudnya; Manembah itu, dalam mempelajari agama atau dengan kata lain adalah syariat, tharikat, hakikat, makrifat dan tasawuf, itu hanya sekedar belajar dari buku/kitab, atau hanya mempelajari tulisan dari Firman Hyang Maha Kuasa saja. Karena semuanya itu tidak berarti jika tidak diamalkan secara benar dalam bentuk laku hidup sehari-hari, dan sesuai dengan petunjuk dalam agama atau kitab suci dengan tanpa pamrih. Sebab mengenal akan Firman Hyang Maha Suci pun – jika seseorang dalam kehidupan antar sesesama makhluk ciptaan Hyang Maha Suci, khususnya Manusia – merupakan pencerminan dari sikap akan pengenalan Jalan Hyang Maha Agung, yang tanpa bersujud, dan ini perlu juga diketahui penekanannya dalam mengulas atau menjabarkan agama. Karena dalam sikap manembah, maka harus didasari oleh bahasa Qolbu/Rahsa dan dilarang menggunakan bahasa Pikir/Perasaan. Mengapa? Karena didalam Wahyu Panca Laku dijelaskan sebagai berikut:

Dumununge setan ing wadag Manungsa iku ana ing Pikirmu, ananging dumununge Gusti ing wadag manungsa iku ana ing Atimu. Mulane yen mangonceki dedalaning Gusti nganggo pikirmu, bisa wae setan kang nyetir, mula dadi gede ing karebmu. Ananging yen mangoncei nganggo atimu, Gusti kang nuntun dadi meneping atimu.

Artinya; Tinggalnya setan ditubuh Manusia itu ada di Pikiranmu, tetapi tinggalnya Hyang Maha Suci Hidup ditubuh Manusia itu di Hatimu. Makanya kalau mengupas Jalan Tuhan dengan pikirmu, bisa saja setan yang mengendalikan, makanya jadi besar keinginanmu. Tetapi kalau mengupasnya lewat Hatimu, Tuhan yang membimbing menjadi bijaksanalah hatimu.

Maksudnya; Wahyu Panca Laku telah menjelaskan jika ingin mengupas sikap Manembahing Kawula Gusti, haruslah lewat Hati/Qalbu, tidak diperbolehkan lewat pikir, sebab jika lewat pikiran, maka kita akan dipengaruhi oleh bayang-bayang setan – seperti minta dihormati, dikagumi, bisa terkenal, suka ber-pamrih dan tedheng aling-aling. Karena semua itu berdampak di materi saja, merasa dirinya yang benar, sehingga mudah melakukan perdebatan tafsir dengan yang tidak selaras dengan jalannya, atau berbeda pendapat satu dengan yang lain, hingga timbul perdebatan antar Jalan Hyang Maha Suci satu dengan yang lainnya pula.

Gusti pepering Ruh dening Manungsa. Sak jroning Ruhmu iku ana Sukma, sakjroning Sukmamu ana Nyawa, sakjroning Nyawamu ana Rasa, sakjroning Rasamu ana Rahsa/Sirrulloh, sakjroning Rahsamu ana Dzatulloh, sakjroning Dzatullohmu ana Alloh.”

Artinya; Tuhan memberikan Ruh pada Manusia. Di dalam Ruhmu itu ada Sukma, didalam Sukmamu itu ada Nyawa, didalam Nyawamu itu ada Rasa, didalam Rasamu itu ada Rahsa, didalam Rahsamu itu ada Dzatulloh, didalam Dzatullohmu itu ada Alloh (Hyang Maha Suci).

Pengertian di atas menunjukkan bahwa Hyang Maha Suci itu ada di dalam Hati/Qalbu kita masing-masing, yang mana kita tidak diperbolehkan menyakiti orang lain. Karena Hyang Maha Suci itu juga tinggal dihati orang tersebut, maka jika kita menyakitinya, sama artinya kita “menyakiti” Hyang Maha Suci. Demikian pula jika kita menipu orang lain, sama artinya dengan “menipu” Hyang Maha Suci, dll.

Makanya, Wahyu Panca Goib memberikan petuah di dalam Wahyu Panca Laku yang pertama, yaitu Manembahing Kawula Gusti, sebagaimana berikut; “Usrege ndonya iku, sejatine mung sakecape lambe, yoiku “Karep”. Ananging tentreming ndonya, iku uga sakecape lambe, yoiku “Eling”. Lelakuo nganggo kekarepanmu, ananging tetekena nganggo Elingmu.

Artinya; Kesemrawutan dunia ini, sebenarnya cuma sekecap bibir saja, yaitu Ingin. Tetapi tenteramnya dunia ini, sebetulnya juga sekecap bibir saja, yaitu Ingat. Berjalanlah dengan keinginanmu, tetapi pakailah dengan tongkat keingatanmu.

Maksudnya; Jika memiliki suatu keinginan, silahkan jalankan bila itu sudah sesuai dengan kekuatanmu agar tidak memeras akal pikiran maupun tenaga, yang akhirnya akan menjerumuskan diri sendiri dalam penyimpangan pada Jalan Hyang Maha Suci. Dan sikap untuk tetap ingat akan siapakah diri sendiri, yang hanyalah sebagai makhluk yang fana haruslah di lakukan tanpa batas waktu. Sebab itulah pula yang bisa tetap menjadikan diri sendiri terus hidup dalam kebenaran.

Catatan: Dalam kehidupan masyarakat Jawa tulen, terdapat konsep “manembah atau panembah“. Istilah ini berasal dari kata “sembah” yang berarti sedang mempersembahkan sesuatu. Ini sangat penting dan sakral dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga “Manembahing Kawulo Gusti” adalah sebuah fase spiritual yang akan tercapai bila hati dan pikiran sudah pasrah, berhenti menggugat, dan semua keinginan pribadi bisa terkendali. Karena hanya dengan begitulah maka jiwa, raga, dan seluruh energi hidup hanya digunakan untuk mengabdi kepada-NYA. Keinginan Tuhanlah yang selalu dimenangkan, sementara keinginan pribadi terus ditundukkan sebagai bukti penghambaan yang tulus.

2. Paweling (sarana) –> Manunggaling Kawula Gusti.
Arti kata “Paweling” itu adalah sarana atau lebih lengkapnya sarana untuk menghubungkan Hidup didalam diri pribadi dengan Yang Maha Hidup. Sehingga dalam Wahyu Panca Laku yang kedua ini; yaitu Manunggaling Kawula Gusti, maka pada hakikatnya adalah ngonceki atau ambuka sesanguning urip (mengupas atau membuka bekal hidup). Dan pada tataran ini, pengertian sikap Manembah seseorang telah kuat, atau menginjak pada tingkat Rahsa dan Bathin. Demikian pula keniatannya, yaitu “Niyat kang saka Rahsa kasebut Manteb, niyat kang saka Bathin kasebut Meneb : Niat yang dari Rahsa disebut Mantap, niat yang dari Batin disebut Menep (matang, utuh, seimbang, bijaksana).

Artinya; Seseorang yang sudah memasuki tingkatan ini, diharuskan tidak ragu-ragu atau berani lagi, dan tidak diperbolehkan bersifat adigang, adigung, adiguna atau merasa sombong dan paling “ter” sendiri. Ia pun sudah harus memiliki sikap yang andap asor (tawadhuk) alias rendah hati.

Catatan: Manunggaling Kawulo Gusti itu adalah tentang bagaimana seseorang bisa memahami Ruh Qudus yang ada didalam dirinya sendiri. Sehingga ia pun tidak memberikan ruang bagi dirinya sendiri untuk menjadi dirinya yang Manusia. Ruang hidupnya hanya untuk mewujudkan kebaikan dan sifat-sifat Tuhan. Dan semuanya itu di lakukan tidak untuk apa-apa selain hanya bagi-NYA saja. Pun sesungguhnya ketika seseorang telah sampai pada tahapan kedua dalam Wahyu Panca Laku ini, maka itu bisa dikatakan telah kembali pada-NYA dalam arti yang sebenarnya. Bukan lagi sebatas kata-kata atau cuma sebagai perlambang saja.

Makanya, disebabkan Manunggaling Kawula Gusti itu sebenarnya mengupas tentang sesanguning urip (bekal hidup), secara otomatis pula seseorang akan berhubungan dengan Sukma, dan otomatis akan berhubungan pula dengan batinnya, atau hal-hal yang tidak kasat mata (tak terlihat). Hanya saja dalam menggali dan memahami level Manunggaling Kawula Gusti ini, haruslah mengerti dan paham terlebih dulu tentang Manembahing Kawula Gusti. Hal ini sangat diperlukan agar tidak kesasar ing tembe (salah arah dikemudian), atau dalam artian patrap kunci-nya harus benar-benar sudah benar.

Dan Hyang Aruta sudah pasti akan bertanggung jawab atas Ruh dan Sukma yang diciptakan-NYA sehingga DIA pun telah memberikan sangu atau bekal yang cukup. Sedangkan yang menerima dan yang membawa sangu tersebut adalah Sukma (bagian Diri Sejati yang disuruh tinggal dalam tubuh Manusia). Sehingga dalam peringkat Manunggaling Kawula Gusti ini, melalui Wahyu Panca Laku, guru sejati kita, akan banyak menuntun ke pelajaran tentang sangu atau bekal yang diberikan oleh Hyang Aruta, yang dibawa oleh Sukma, dalam menempuh kehidupan di dunia ini, atau yang disebut dengan Sesanguning Urip.

Catatan: Di dalam diri Manusia itu terdapat beberapa unsur, yaitu Raga/Jasad, Nyawa, Sukma, Ruh, Jiwa dan Hati. Meskipun berbeda, semuanya tetap dalam satu kesatuan yang utuh. Pahamilah itu terlebih dulu agar dapat memahami Kunci dan Paweling yang terdapat dalam Wahyu Panca Goib-nya.

Lalu jika terkait dengan mengupas tentang keistimewaan dari Raga dan Sukma, maka ada tiga bentuk kemampuan yang berbeda, yaitu:

1) Raga Sukma
Di level ini seseorang bisa memiliki kemampuan untuk memanggil atau mewujudkan Sukma-nya sendiri. Ini lazimnya disebut Sukma Sejati. Namun bila Sukma-nya itu juga memberikan wejangan, maka itu disebut Guru Sejati.

Adapun kemampuan yang ada pada level ini seperti bisa bepergian jauh tanpa membutuhkan fisik. Artinya seseorang bisa melihat dan mendengar sesuatu yang berada jauh tanpa perlu kesana. Hanya Sukma-nya saja yang pergi (terbang, melesat) kemanapun sesuai keinginan. Dan semua itu di lakukan secara sadar, bukan mimpi.

2) Rogoh Sukma
Ini adalah kemampuan untuk mengambil atau memanggil Ruh orang lain demi keperluan tertentu.

3) Nggedok Sukma
Ini adalah kemampuan untuk memanggil Ruh selain Ruh Manusia atau Ruh orang yang telah meninggal atau bisa juga mengupas kekuatan dari Hyang Maha Kuasa yang begitu hebatnya.

Nah ketiganya itu bisa dikuasai oleh seseorang jika ia mau dan berusaha keras sesuai dengan tata keilmuan yang benar. Dalam hal ini mengikuti berbagai wejangan dan warisan dari para leluhur yang waskita.

3. Asmo (nama/diri sejati) –> Leburing Kawula Gusti.
Leburing Kawula Gusti ini adalah patrap (tingkatan) yang cukup tinggi dalam Wahyu Panca Goib. Karena Leburing Kawula Gusti ini adalah umpak (pondasi)-nya Asmo (nama/diri sejati) untuk mendalami dan memasuki tahap Leburing Kawula Gusti. Artinya siapapun dia, haruslah benar-benar telah memahami Laku yang pertama dan kedua, yaitu Manembahing Kawula Gusti dan Manunggaling Kawula Gusti. Atau dalam artian Kunci dan Paweling-nya telah benar-benar sudah benar.

Nah laku Leburing Kawula Gusti ini bisa dikatakan sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi, dan dapat pula dikatakan bahwa diposisi ini telah muncul sifat dan sikap dalam menyongsong akan kematian diri pribadi, dengan tingkat Kasampurnan. Artinya, pada tingkatan ini si pelaku Wahyu Panca Laku hanya memohon atau menggugat pada Hyang Maha Hidup saja. Mengapa Hyang Maha Hidup yang digugat? Nah menggugat disini memiliki arti bahwa Ruh yang diberikan oleh Hyang Maha Hidup, pada saat Raga masih dalam kandungan (janin) dan Ruh itu pun mengikuti Raga tersebut keluar dari gua garba ibunya untuk hidup didunia ini, maka jika kelak Raga/Wujud Manusia itu mati atau Ruh Suci-nya kembali ke haribaan Hyang Maha Hidup, maka dimohonkan kiranya Hyang Maha Hidup sudi mengabulkan agar Ruh Suci atau Hidup itu membawa pula Jiwa Raga-nya atau dalam istilah lain disebut bersatunya sedulur papat kalimo pancer atau kawula Gusti-nya.

Inilah yang disebut oleh para leluhur kita sebagai moksa atau kamoksan, yang artinya mati tanpa meninggalkan bekas Raga/Jasad. Sempurna/habis/tamat tanpa bekas tanpa sisa. Sedangkan tuntunan untuk hal ini hanya bisa diperoleh jika telah sampai di tingkatan yang keempat dan kelima dalam Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku, yaitu (4) Mijil (keluar) -> Sampurnaning Kawula Gusti dan (5) Singkir (lepas) -> Sampurnaning Pati Urip. Semuanya akan terurai dengan jelas secara alami, dan akan terus bertambah sesuai dengan kehendak-NYA.

Namun demikian, amat disayangkan kedua tahapan itu tak bisa kami jabarkan disini. Bukan lagi untuk khalayak ramai, alias hanya bagi kalangan tertentu saja. Sebab resikonya tinggi dan bisa fatal akibatnya jika sampai keliru memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Cukuplah sebatas ini saja uraiannya. Terlebih perlu memahami ketiga tingkatannya dulu (Manembahing Kawula Gusti, Manunggaling Kawula Gusti, Leburing Kawula Gusti) dengan sempurna barulah mampu untuk memahami level keempat dan kelimanya (Sampurnaning Kawula Gusti, Sampurnaning Pati Urip). Dan itu sungguh tak mudah serta butuh waktu yang tidak sebentar.

Catatan: Sebenarnya masih ada satu tingkatan lagi di atas Singkir (lepas) -> Sampurnaning Pati Urip itu, namun tak bisa juga kami sampaikan di sini. Ada protap yang harus tetap diikuti.

***

Wahai saudaraku. Teruslah ber-iqro’ (baca, kaji, teliti, renungi, dll), karena masih banyak lagi yang belum diketahui. Sebaliknya jangan mudah tertarik dan percaya apalagi gampang menyalahkan dan menghujat pada sesuatu yang belum engkau mengerti. Ilmu pengetahuan itu sangatlah beragam dan bertingkat-tingkat kedudukannya. Perlu kebijaksanaan dan wawasan yang sangat luas untuk dapat menerimanya secara lapang dada. Sebab hanya dengan begitulah engkau pun akan layak disebut Manusia.

Terkadang pilihan yang tepat itu adalah dengan menerimanya walaupun tidak menyetujuinya. Setiap apapun itu sudah menjadi hak pribadi seseorang untuk memilihnya. Tinggal bagaimana kita menempatkan diri, sebab kebenaran sejati itu mutlak kepunyaan Hyang Aruta. Kita cuma sebatas berusaha untuk bisa lebih dekat kepadanya

Lalu mengenai Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku, maka itu tiada lain adalah diri pribadi kita sendiri. Atau lebih jelasnya yaitu “Sedulur papat kalimo pancer“, sebagaimana yang telah diuraikan. Semuanya terletak dari bagaimana kita memahaminya dengan penuh kesadaran. Tidak bisa hanya sekedar katanya saja. Harus sesuai dengan perjalanan dan perjuangan hidup sehari-hari – tentunya harus pula sesuai dengan tata keilmuan yang tepat. Dan apapun yang telah dijelaskan pada tulisan ini, sebenarnya cuma sebagiannya saja. Masih ada lagi yang lain. Tetapi ini cukuplah untuk dijadikan sebagai pijakan awal bagi yang ingin menemukan Yang Sejati.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 15 Ramadhan 1443 H/17 April 2022 M
Harunata-Ra

(Disarikan dari berbagai sumber dan diskusi)

Bonus instrumental :

 

9 respons untuk ‘Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku

    poetra said:
    Mei 9, 2022 pukul 12:48 am

    Trimksih masih berkenan membagi ilmunya kang.. 🙏🙏🙏

      Harunata-Ra responded:
      Mei 9, 2022 pukul 4:58 am

      Iya sama2lah mas, moga ttp bermanfaat.. 🙂

    lukman said:
    Mei 9, 2022 pukul 7:16 am

    Min maaf ya mau tanya melenceng dari topik, min klo sesorang kena tumbal itu ruhnya di mana? Trus yg di jadikan tumbal ruhnya apa korinnya. Dan menurut admin pengertian tumbal

    lukman said:
    Mei 9, 2022 pukul 7:18 am

    Min maaf ya mau tanya melenceng dari topik, min klo sesorang kena tumbal itu ruhnya di mana? Trus yg di jadikan tumbal ruhnya apa korinnya. Dan menurut admin pengertian tumbal

      Harunata-Ra responded:
      Mei 11, 2022 pukul 1:39 am

      Ttg perkara ruh yg jadi tumbal saya kurang tau mas.. takut salah jawab nantinya.. maaf ya.. 🙂

      Pangkas Rambut Sangmaneta said:
      Oktober 31, 2023 pukul 4:00 am

      Terima Kasih 🙏🙏🙏

    […] Wahyu Keprabon untuk pemimpin besar Nusantara, Wahyu Makutha Rama : Modal Utama Pemimpin Sejati dan Wahyu Panca Goib dan Wahyu Panca Laku. Silahkan dibaca lagi dengan tenang dan […]

    Perang Besar dan Bencana Interdimensi « Perjalanan Cinta said:
    Februari 8, 2024 pukul 2:42 pm

    […] dirimu tidak berada di sini (di Bumi) lewat cara ber-dhyana (semedhi, tafakur, meditasi) dan me-raga sukma, kau sedang berpartisipasi dalam energi kehidupan antar dimensi yang disebut Ilahi. Kami sudah […]

    […] dirimu tidak berada di sini (di Bumi) lewat cara ber-dhyana (semedhi, tafakur, meditasi) dan me-raga sukma, kau sedang berpartisipasi dalam energi kehidupan antar dimensi yang disebut Ilahi. Kami sudah […]

Tinggalkan komentar