Atlantis Ada di Nusantara

Posted on Updated on

novus_atlantis_by_sebastianwagner-d6wecnhWahai saudaraku. Sering kita mendengar atau menikmati berbagai kisah “konon” tentang Atlantis, seakan mendengar cerita antah berantah atau layaknya dongeng pengantar tidur. Dan memang, sejak ratusan tahun silam hingga pertengahan abad ke-20, orang-orang di luar Indonesia banyak yang terobsesi dengan kisah Plato ini. Mereka berteori dan melakukan banyak penelitian – mulai dari Bacon di pertengahan abad ke-17 hingga Himmler, ilmuwan Nazi pada tahun 1939 – untuk bisa mengungkapkan dan bahkan menemukan lokasi keberadaan negeri yang berperadaban besar ini.

Tapi tentang sumber peradaban dunia, maka terdapat banyak kontroversi, terutama sejak kemunculan buku yang berjudul “Eden The East” pada tahun 1999, karya Stephen Oppenheimer, seorang dokter ahli genetika yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani yaitu “Gan Eden“. Yang dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus, sebuah istilah yang diserap dari kata Persia “Pairidaeza” yang arti sebenarnya adalah Taman.

Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, lembah sungai Indus, dan China justru dipicu oleh kedatangan para imigran dari Asia Tenggara. Landasan argumentasinya adalah kajian etnografi, arkeologi, oseanografi, mitologi, analaisis DNA, dan lingusitik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah SundaLand sudah ada peradaban yang menjadi leluhur dari peradaban Timur Tengah di sekitar 6.000 tahun silam. Pada masa itu. suatu ketika datang banjiir besar yang menyebabkan penduduk SundaLand harus berimgrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang serta Pasifik. Mereka adalah leluhur dari bangsa Austronesia.

Rekontruksi Oppenheimer ini diawali dari saat berakhirnya puncak Zaman Es (Last glacial maximum) sekitar 20.000 tahun lalu. Ketika itu, permukaan laut masih sekitar 150 meter di bawah muka laut yang sekarang. Kepulauan Nusantara bagian barat masih bergabung dengan benua Asia dan menjadi satu daratan yang luas yang dikenal kini sebagai SundaLand. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia. Data geologi dan oseanografi mencatat, setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi, yaitu pada sekitar 14.000, 11.000 dan 8.000 tahun silam. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai China Selatan. SundaLand malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain seperti Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Padahal waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni oleh manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani, peternak dan nelayan.

atlantis__the_last_sunrise_by_batkya-d4tuxzz

Selain itu, ketika Zaman Es berakhir, yang ditandai dengan tenggelamnya “benua Atlantis”, maka bangsa Austronesia menyebar ke barbagai penjuru dunia. Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya. Lalu dalam tempo cepat, yakni pada 3.500 – 5.000 tahun lalu, kebudayaan ini telah menyebar. Kini, rumpun Austronesia telah menempati separuh wilayah di muka bumi.

Di lain waktu, seorang peneliti arkeologi dan antropologi asal Belanda yang bernama Koenrad Elst telah mengatakan bila Bumi yang kita tinggali saat ini adalah hasil dari keseimbangan perubahan iklim global sebelumnya. wacana Atlantis bukanlah sekedar sebuah kiasan “kaca Freudian yang buram“. Dan seperti ilustrasi Plato bahwa karena naiknya permukaan laut di Bumi dan bersamaan dengan letusan gunung berapi secara berturut-turut serta dalam waktu yang berdekatan, bersamaan pula menghancurkan dan menenggelamkan benua tersebut. Hal ini dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis, jika Bumi kita sedang mengalami perubahan iklim global, dengan makin tipisnya lapisan ozon dan naiknya suhu udara di kedua kutub Bumi. Kita rasakan perubahan iklim ini membawa efek pada lingkungan tempat manusia berada. Peradaban manusia sekarang menyebutnya sebagai bencana alam, baik banjir maupun dampak efek rumah kaca lainnya.

Kemudian dalam beberapa kasus seperti dalam referensi peradaban Sumeria “Timur”, Koenrad Elst mengatakan: “Jelas merupakan budaya pra-Mohenjo Daro dan Harappa, tetapi bahkan lebih banyak negara-negara Timur yang saat ini ada tampaknya pun masih merupakan bagian dari peradaban ini (Atlantis)”. Benua itu, oleh Oppenheimer dan Koenrad disebut sebagai “Bagian benua Asia Tenggara” atau dikatakan sebagai SundaLand. Karena itulah, Oppenheimer telah memfokuskan penelitian pada satu pulau Tapobrane dan sebagian landas kontinen lainnya, yaitu Sunda. Wilayah ini di antara Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Thailand, Vietnam, Kambodia, China, dan Taiwan, yang sebagian besar wilayah tersebut sudah ditempati selama Zaman Es purba sebelum mencair. Di mungkinkah disinilah pernah ada pusat peradaban paling maju, ia menyebutnya Eden, nama ini diambil dari Alkitab.

Wahai saudaraku. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa asal usul Taman Eden (manusia moderen) dan hilangnya benua Atlantis sangat berkaitan dengan kondisi geologi, khususnya aktivitas tektonik lempeng bumi dan peristiwa Zaman Es. Perubahan iklim yang drastik di dunia, menyebabkan berubahnya muka laut, kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya, Zaman Es memberikan ruang yang besar pada perkembangan peradaban manusia yang amat besar di SundaLand. Karena pada saat itu, suhu bumi amat dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku dan membentuk glasier. Sehingga tentunya, keadaan iklim yang hangat di wilayah khatulistiwa yang ada di SundaLand menjadi relatif sangat memadai untuk hadirnya peradaban yang besar di masa lalu.

kota atlantis

Perlu diketahui, bahwa pada masa itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami, kecuali di kawasan khatulistiwa – Nusantara – yang lebih hangat. Selain itu, di kawasan khatulistiwa ini terdapat banyak gunung berapi aktif yang memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian, keduanya memiliki tingkat kenyamaan dan syarat yang memadai untuk berkembangnya peradaban manusia yang besar dan maju. Karena wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan untuk berkembangnya peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk lapisan es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki dari muka laut sekarang. Lain halnya dengan kawasan Nusantara pada masa itu – yang memang hingga kini memiliki iklim tropis dan memiliki kondisi tanah yang sangat subur – menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami dan membangun peradaban yang besar. Sehingga, kemungkinan pusat peradaban Atlantis adalah berada di antara Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan tidak berlebihan. Ini karena kemungkinan dulu terdapat Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai, terutama berasal dari Sumatera bagian selatan, seluruh pulau Jawa dan pulau Kalimantan bagian selatan. Yang menjadi salah satu syarat utama untuk membangun sebuah peradaban yang layak dan maju.

Oleh karena itulah, klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterania patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu, kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa bahkan bisa menjangkau hingga 1 kilometer tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Arktika dan Antartika sekarang ini. Sedangkan kawasan di Sundaland pada saat itu meskipun memiliki suhu paling dingin sekalipun tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam, karena terletak di sekitar garis khatulistiwa yang hangat. Lebih menarik lagi dengan muka laut yang lebih rendah, maka pada masa itu Sundaland adalah satu daratan (benua) yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk satu daratan yang sangat luas dan relatif datar.

atlantis-indonesia-map-31

Perlu diketahui, argumentasi pengusulan lokasi-lokasi sebagai Atlantis pada umumnya didasarkan pada sejarah Yunani kuno, kemajuan bangsa Eropa masa kini, dan secara fisik pada leutusan besar gunung Thera pada abad ke-17 atau ke-16 SM yang menyebabkan tsunami besar yang diduga menghancurkan peradaban Minoa di sekitar pulau Kreta. Para ahli Eropa beranggapan bencana seperti itu mungkin saja terjadi pada masa lalu yang menghancurkan benua Atlantis. Argumen lain adalah kemampuan migrasi suatu bangsa ke berbagai belahan dunia, terutama ke benua Amerika, sebagaimana bangsa Viking untuk argumen pengusulan Eropa Utara sebagai negeri Atlantis. Padahal hal yang demikian merupakan hal yang biasa terjadi di wilayah SundaLand dimasa lalu, jauh sebelum perhitungan Masehi dimulai. [Baca: Siklus geologi dunia, waktunya pergantian zaman atau Negeri Arya Nuswantara]

Untuk itulah, ketika para ilmuwan Barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi barat, di sekitar Laut Atlantik atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa dari Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut. Karena hampir di semua tulisan tentang sejarah peradaban dunia, maka Asia Tenggara selalu ditempatkan pada posisi pinggiran. Yang kebudayaannya hanya dapat tumbuh dan berkembang akibat imbas dari migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, China, maupun India. Namun, pada akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang mulai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti yaitu Stephen Oppenheimer dalam bukunya “Eden the East” (1999) dan Prof. Arysio Nunes Dos Santos dalam bukunya “Atlantis, The lost continent finally found, the definitive localization of Plato`s lost civilization” (2005).

Nah, untuk mencari jawaban yang pasti tentang peradaban Atlantis ini, maka tentunya kita harus merujuk pada pernyataan seorang filusuf Yunani kuno, yaitu Plato. Karena dalam karya tulisnya, Plato membentuk beberapa petunjuk bahwa jumlah penduduk Atlantis memang cukup besar untuk zaman yang bersangkutan. Fakta ini saja telah mengeluarkan sebagian besar wilayah di dunia kuno seperti Eropa, Asia Utara dan Amerika Utara, di padang Prairi yang dingin di zaman es yang di huni oleh sedikit suku-suku yang semi-liar, para pemburu dan pengumpul (makanan) yang kelaparan. Hal ini juga menghalangi Afrika Utara dan Timur Dekat, yang terutama berupa padang pasir di zaman itu. Dengan demikian, masih tersisa bagi kita Amerika Tengah dan Amerika Selatan, serta Hindia dan Asia Tenggara, lokasi yang terdapat hujan tropis yang berlimpah yang memungkinkan berkembangnya budi daya pertanian dan perkebunan. Dan budi daya pertanian dan peternakan adalah dua syarat primordial untuk pengembangan kehidupan kota dan masyarakat yang beradab, yang besar dan stabil. Karena itu, masyarakat Atlantis yang begitu besar itu adalah sesuatu yang menakjubkan di Dunia Kuno di luar Mesir, Mesopotamia, India dan Timur Jauh, selama zaman Pleistosen dan Paleolitik.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini kami berikan ringkasan cerita bangsa Atlantis menurut Plato, yaitu:

Menurut Plato, Atlantis adalah wilayahnya dewa Poseidon (dewa penguasa lautan). Ketika Poseidon jatuh cinta kepada wanita yang bisa mati, Cleito, dia membuat sebuah sumur di puncak bukit di tengah-tengah pulau dan membuat kanal-kanal air berbentuk lingkaran cincin di sekitar sumur tersebut untuk melindungi istrinya itu. Cleito lalu melahirkan lima pasang anak kembar laki-laki yang menjadi penguasa pertama Atlantis. Negeri pulau itu lalu dibagi-bagi di antara saudara laki-lakinya. Yang tertua, Atlas, raja pertama Atlantis, diberi kontrol atas pusat bukit dan area sekitarnya. Pada puncak tengah bukit, untuk menghormati Poseidon, sebuah bangunan candi, kuil atau istana dibangun. Pada bangunan itu ditempatkanlah sebuah patung emas raksasa Poseidon yang mengendarai sebuah kereta yang ditarik oleh kuda terbang. Disinilah, para penguasa Atlantis biasa mendiskusikan hukum, menetapkan keputusan dan memberikan penghormatan kepada Poseidon.

WENTIRA (kota gaib warisan Atlantis)

Lalu, untuk memfasilitasi perjalanan dan perdagangan, sebuah kanal (saluran) air dibuat memotong cincin-cincin kanal air yang melingkari wilayah sehingga terbentuk jalan air sepanjang 9 kilometer ke arah selatan menuju laut. Sedangkan kota Atlantis menduduki tempat pada wilayah luar lingkaran air, menyebar di sepanjang dataran melingkar sepanjang 17 kilometer. Inilah tempat yang menjadi tempat mayoritas penduduk tinggal. Disisi lain, ada dataran yang mengitari dan di sebelah utaranya ada pegunungan yang menjulang tinggi ke langit. Pedesaan, danau-danau, serta sungai dan meadow (padang rumput) menandai titik-titik pegunungan.

Di belakang kota terhampar lahan subur sepanjang 530 kilometer dan selebar 190 kilometer, yang dikitari oleh kanal air yang digunakan untuk mengumpulkan air dari sungai-sungai dan aliran air dari pegunungan. Iklimnya memungkinkan mereka dapat dua kali panenan dalam setahun. Pada saat musim penghujan, lahan disirami oleh air hujan dan pada musim kemarau lahan akan diariri oleh irigasi dari kanal-kanal air yang ada. Di samping hasil panenan, kepulauan besar tersebut menyediakan semua jenis tanaman herbal, buah-buahan, dan kacang-kacangan, serta sejumlah hewan termasuk gajah yang memenuhi kepulauan.

Dari generasi ke generasi orang-orang Atlantis hidup dengan sederhana, hidup penuh dengan kebaikan. Namun, lambat laun mereka mulai berubah. Keserakahan dan kekuasaan mulai mengorupsi mental mereka. Ketika Mahadewa Zeus melihat ketidakdapatmatian (immortality) pada penduduk Atlantis, dia mengumpulkan para dewa lainnya untuk menemukan sebuah hukuman yang layak bagi mereka ini. Lalu segera dalam sebuah bencana besar, mereka lenyap. Kepulauan Atlantis, penduduknya, dan ingatan-ingatannya musnah tersapu lautan.

Ringkasan cerita di atas dikisahkan oleh Plato sekitar tahun 360 SM dalam dialog “Timaeus and Critias“. Sebuah karya tulis yang informasinya ia dapatkan dari gurunya yaitu Socrates, juga dari jalur kakeknya yang bernama Critias. Critias adalah murid dari ahli filsafat Socrates. Critias mendengar kisah Atlantis dari Joepe yaitu moyang lelaki dari Critias. Sedangkan Joepe juga mendengar kisahnya dari seorang penyair Yunani bernama Solon (639-559 SM). Solon adalah seorang yang paling bijaksana di antara 7 mahabijak di Yunani kuno. Solon mengetahui legenda Atlantis ketika suatu waktu dia berkeliling Mesir Kuno. Dari tempat pemujaan makam leluhur dan dari para pendeta disana.

Sedangkan menurut penelitian Arysio Santos, para pendeta (rohaniawan) Mesir kuno ini mewarisi informasi tentang Atlantis ini dari para leluhurnya yang berasal dari Hindustan (India yang merupakan peradaban Atlantis ke-2), lalu orang-orang Hindustan ini mendapatkan informasi itu dari peradaban bangsa Atlantis pertama di SundaLand atau Nusantara. Arysio Santos juga menemukan banyak informasi yang mengarahkan kesimpulannya dari artefak-artefak dan situs bersejarah di Mesir dan berbagai situs purba peradaban besar lainnya. Dan yang mengejutkan adalah bahwa peradaban kuno Atlantis itu justru sudah sangat beradab (civilized) dan punya kemampuan sains dan teknologi. Mereka juga sudah punya sistem kemasyarakatan dan ketatanegaraan ideal yang cukup maju dan tak terbayangkan oleh kita sekarang, yang semua itu dapat terjadi pada sekitar 11.600 tahun silam.

Selain itu, di dalam buku Timeus diceritakan bahwa di hadapan Selat Mainstay Heigelisi terdapat sebuah pulau yang sangat besar. Dari pulau tersebut dapat pergi ke pulau lainnya. Dan di depan pulau-pulau tersebut ada daratan dan dikelilingi oleh laut Samudera. Itu adalah kerajaan Atlantis. Ketika Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena, namun diluar dugaan Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir. Tidak sampai sehari semalam, Atlantis tenggelam sama sekali ke dasar laut.

Karya tulis Plato ini adalah satu-satunya referensi eksplisit yang diketahui mengenai bangsa Atlantis. Karena itulah, ia telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan lebih dari 2.000 tahun lamanya. Namun dari fakta-fakta yang diungkapkan oleh Plato, maka penduduk Atlantis dapat diperkirakan jumlahnya. Pertama-tama kita memiliki besaran luas wilayah dari negara, dongeng kesuburannya, adanya dua musim panenan tanaman tahunan dan jaringan luas budaya irigasi lahan. Negeri Atlantis itu, kata Plato luasnya sekitar 600×400 Km2, dengan luas lahan garapan yang tersedia sekitar 530×190 Km2. Jika kita melihat produktivitas khas pertanian Asia yaitu beras, kita mendapatkan dua kali panenan tanaman tahunan di wilayah seperti itu sebanyak 10-20 juta ton beras, ditambah dengan sesuai keragaman dan produk pertanian pastoral lainnya. Bahkan walau dengan membiarkan sebagian besar lahan tetap kosong.

atlantis2

Sekarang, produksi beras ini cukup untuk memberi makan penduduk sejumlah 15-30 juta orang dan masih meninggalkan banyak surplus untuk ekspor. Ini adalah angka yang sama baik dengan yang benar-benar diamati di kawasan Asia Selatan. Jadi, kita lihat bahwa Plato sedang berbicara tentang realitas (kenyataan), bukan sedang mengarang apapun. Dalam semua kemungkinan, hasil panen tanaman ini sebagian di ekspor untuk mendapatkan uang tunai, yang memberi kekayaan Atlantis yang legendaris itu. Ekspor makanan ini dan kelimpahan sumber daya alam dari Kepulauan Blest (Atlantis) bahkan telah diperingati di banyak mitos dan tradisi yang ada di sepenjuru dunia hingga kini.

Kita juga dapat memperkirakan populasi Atlantis oleh data yang diberikan oleh Plato mengenai angkatan bersenjata Atlantis. Plato memberikan angka-angka ini secara terperinci, yaitu total tentara dari Atlantis adalah 1.160.000 orang. Jika kita asumsikan bahwa setengah dari penduduknya perempuan dan bahwa sekitar setengahnya adalah laki-laki, anak-anak atau orang tua, maka dalam segala kemungkinannya tidak lebih dari sekitar ¼ dari penduduknya adalah laki-laki dewasa yang kena wajib militer. Jadi, kira-kira jumlah penduduknya sekitar 20 juta orang, tentunya dalam kesepakatan yang adil dengan perkiraan jumlah di atas. Angka ini sangatlah besar untuk ukuran prasejarah Dunia Lama, terutama ketika kita mempertimbangkan bahwa Atlantis berkembang pada suatu masa yang mendahului Zaman Neolitikum. Oleh karena itu, sama seperti yang Plato nyatakan, tidak ada bangsa dari zaman ini yang mungkin bisa menentang Atlantis. Terutama seperti kasus Athena, yang jumlahnya tidak lebih dari 30-50 ribu orang, bahkan pada puncak kekuasaannya pada Zaman Pericles.

Dengan demikian, kami menyimpulkan bahwa populasi besar Atlantis ini sebagai poin unik ke Timur Jauh (Nusantara) – satu-satunya tempat pasukan yang besar seperti itu dapat dihimpun dalam zaman dahulu kala – karena alasan yang dikemukakan sebelumnya. Karena pada kenyataannya memang bangsa Yunani Kuno juga seperti bangsa-bangsa lainnya telah mengagumi ukuran jumlah raksasa dari tentara Timur, dan terutama yang dari Porus, raja dari salah satu wilayah di India yang seharusnya dapat ditaklukkan oleh Alexander Agung.

mitsubishi_atlantis

Selain itu, Plato juga menegaskan bahwa salah satu keistimewaan utama dari Atlantis adalah sifat dan intensitas dari perdagangan laut dengan bahkan bangsa yang paling jauh di dunia saat itu. Ibu kota kekaisaran Atlantis dilintasi oleh kanal-kanal maritim yang memungkinkan masuknya kapal-kapal terbesar. Di dalam Critias (114d) Plato bahkan menegaskan: “Karena kebesaran kerajaan mereka, banyak hal yang dibawa kepada mereka (penduduk Atlantis/Atlantean) dari negara asing, meski tanah mereka sendiri telah memberikan sebagian besar dari apa yang diperlukan bagi mereka untuk digunakan dalam kehidupan….”

Dalam Critias 117c, Plato juga menambahkan lebih jauh bahwa: “Kanal-kanal dan pelabuhan terbesar (di ibu kota) yang penuh dengan kapal dan para pedagang yang datang dari semua bagian dunia yang dari jumlahnya yang besar, menyimpan beraneka ragam desas-desus suara manusia dan bunyi dan segala macam hiruk pikuk siang dan malam hari”. Sehingga ini menunjukkan bahwa kehidupan perekonomian dari Atlantis sangat ramai dan sibuk. Dan tentunya ini merupakan indikasi bahwa peradabannya juga sudah sangat maju.

Selain itu, Plato juga menyampaikan fakta bahwa Atlantis itu sangat kaya dengan logam dan batu mulia, yang digunakan dengan boros oleh mereka untuk dekorasi kuil-kuil dan dinding bangunan. Dalam salah satu bagian dari Critias (114d), filusuf Yunani ini menulis tentang Atlantis bahwa: “Pulau mereka sendiri menghasilkan sebagian besar dari apa yang dibutuhkan oleh mereka untuk keperluan hidup. Pada tempat pertama mereka menggali dari bumi, berbagai logam dan batu mulia akan ditemukan disana. Mereka juga menghasilkan apa yang kini hanya tinggal sebuah nama (di zaman Plato) sebagai orichalcum. Tapi bagi mereka barang itu adalah suatu realitas yang digali dari bumi di banyak bagian benua, yang pada masa itu lebih berharga daripada logam lain selain emas”

Pada bagian lain (Critias 116b), Plato juga menceritakan bagaimana dinding kota Atlantis dilapisi dengan perunggu. Kotanya diliputi oleh benteng yang “menyala dengan cahaya merah orichalc“. Tapi memang sifat sejati dari orichalc tak henti-hentinya diperdebatkan oleh para ahli dari segala macam bidang ilmu sejak zaman dahulu. Namun yang paling relevan dengan hal ini adalah apa yang sekarang disebut dengan logam kuningan, yaitu campuran dari tembaga dan seng. Yang hanya bisa di lakukan oleh sebuah masyarakat yang memiliki teknologi yang maju, seperti halnya bangsa Atlantis ini.

Lalu, dari semua keterangan di atas, maka dapat disimpulkan berarti negeri Atlantis sangat kaya akan barang tambang seperti emas, perak dan timah. Yang dalam bahasa Yunani disebut dengan Argyre (pulau perak) atau Chryse (pulau emas) atau dalam bahasa Sanskerta disebut Swarnadwipa yang sekarang adalah pulau Sumatera. Pulau-pulau ini juga disebut Chryse Chersonesos (semenanjung Tin). Sebab, di zaman kuno dulu pulau-pulau dan semenanjung (dekat pulau) memiliki bentuk yang hampir sama. Penduduk di pulau-pulau yang berdekatan dengan semenanjung tersebut adalah orang-orang asli Nusantara. Karena memang bahkan sampai hari ini, Nusantara merupakan pemasok terbesar timah dan logam yang terkait, persis seperti di zaman dahulu. Dan dalam hal ini, bisa disimpulkan pula bahwa negeri Atlantis yang legendaris itu memang berada di Nusantara. Sebuah tempat yang sejak dulu kala selalu layak dan memenuhi syarat utama untuk bisa muncul dan bangkitnya sebuah peradaban yang besar.

Untuk itulah wahai saudaraku, mari kita tetap semangat dan percaya diri di hadapan bangsa-bangsa di dunia. Karena memang kita ini adalah keturunan dari bangsa yang besar dan perkasa, yang dahulu kala pernah membangun sebuah peradaban yang sangat besar dan menjadi sumber dari peradaban dunia kini. Tinggalkan rasa pesimis dengan menggantikannya dengan semangat yang membara, bahwa kita akan berusaha untuk kembali bangkit dan menunjukkan pada dunia bahwa bangsa Nusantara tetaplah bangsa yang agung, bisa bersaing dalam percaturan dunia dan terdepan di segala bidang kehidupan. Bahkan bisa mengubah peta dunia akan peradaban yang gemilang, yang sesuai dengan hajat hidup kita sebagai manusia yang mulia dan memiliki sifat kemanusiaan.

Yogyakarta, 14 Juli 2015
Mashudi Antoro (Oedi`)

Referensi:
* Buku “Peradaban Atlantis Nusantara”

6 respons untuk ‘Atlantis Ada di Nusantara

    […] Namun kini, meskipun berbagai bencana alam telah nampak jelas di depan matanya, maka tidak sedikit orang yang katanya “pintar” yang justru tidak peduli dan tetap saja bersikap yang seenaknya pada lingkungan hidup. Ketika mengetahui informasi tentang bencana alam yang kini kerap terjadi secara acak, banyak pula dari mereka yang justru tertawa dan bersikap acuh tak acuh. Hanya segelintir orang saja yang merespon ancaman besar “di akhir zaman ini” dengan mengerahkan para ilmuwan untuk mencari alternatif agar bisa menanggulangi kerusakan Bumi secara langsung. Padahal kehidupan di muka Bumi ini laksana roda pedati yang terus berputar. Dimana cepat atau lambatnya perputaran “roda” itu sangat tergantung dari sikap umat manusia terhadap alam. Segala yang terjadi sekarang – khususnya bencana alam – hanyalah pengulangan terhadap apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dan ini sudah bisa dibuktikan secara ilmiah, bahwa dulu memang keadaan daratan di muka Bumi ini sangat berbeda dari sekarang. Khususnya di wilayah Nusantara bagian barat, maka di sekitar ±15.000 tahun lalu saja masih bergabung dengan benua Asia dan menjadi satu daratan yang luas yang dikenal kini sebagai SundaLand. Artinya, dulu ada sebuah bencana dahsyat yang menyebabkan perubahan geografi yang luarbiasa di tanah Nusantara. Yang semuanya itu juga berkaitan erat dengan sikap buruk manusia pada saat itu. [Baca: Atlantis ada di Nusantara] […]

    […] Kesaksian Kota Wentira [Image Source] […]

    […] Kesaksian Kota Wentira [Picture Supply] […]

    […] Kesaksian Kota Wentira [Image Source] […]

    […] Kesaksian Kota Wentira [Image Source] […]

    […] Kesaksian Kota Wentira [Image Source] […]

Tinggalkan komentar