Hilangnya Catatan Penting Sejarah Nusantara

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Dalam catatan formal sejarah Nusantara saat ini, maka terjadilah 4 tahun kekosongan yang misterius. Sebab pada tahun 1396-1400 Saka (1474-1478 Masehi) tidak ada peristiwa besar/penting yang tercatat dalam buku-buku sejarah formal. Bahkan tidak pula ada yang tertulis dalam prasasti atau pun pada naskah kuno. Nah 4 tahun itu lalu disebut dengan istilah “Sirna ilang kretaning Bhumi“. Meskipun kalimat itu muncul dari angka-angka tahunnya, namun sebenarnya memiliki pemaknaan yang lain. Dan hal ini sangat berkaitan dengan apa yang sudah, sedang dan akan kita jalani nanti.

Catatan: Kalimat “Sirna ilang kretaning Bhumi” atau yang berarti hilang lenyap ketentraman dunia, adalah angka tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi, yang merupakan sengkalan untuk tahun keruntuhan dari kerajaan Majapahit. Memang sebenarnya kerajaan Majapahit secara formal tetap ada hingga tahun 1527 atau 1559 Masehi, namun begitu oleh sebagian kalangan dianggap telah runtuh sejak tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi, bertepatan dengan wafatnya Bhre Kertabumi alias Prabu Brawijaya V (1468-1478 Masehi). Dan ini memang terbukti dengan semakin melemahnya kejayaan Majapahit akibat terus digerogoti oleh pertentangan internal yang tak berkesudahan.

Singkatnya, pada masa itu (tahun 1396-1400 Saka/1474-1478 Masehi) sebenarnya ada peristiwa besar yang di lakukan oleh Sunan Kalijaga (1450-1586 Masehi) muda dan para pengikutnya. Dimana mereka sedang giat melakukan penimbunan dan penyembunyian berbagai artefak bersejarah milik bangsa Nusantara, khususnya yang ada di tanah Jawa. Alasannya karena Sunan Kalijaga sendiri pada waktu itu sudah memiliki tingkat kepekaan batin yang sangat tinggi dan waskita. Sehingga beliau pun sudah “ngerti sak durunge winarah: tahu sebelum kejadian” tentang apa yang akan terjadi di wilayah Nusantara, khususnya pulau Jawa. Jadi beliau sudah tahu bahwasannya nanti di masa depan akan ada bahaya yang datangnya dari arah barat (Eropa). Ancaman itu dibawa oleh bangsa serakah yang sangat licik dan bengis. Di kemudian hari mereka itu dikenal dengan nama Portugis, Spanyol, Netherlands (Belanda), Prancis, dan Britain (Inggris).

(Lukisan kapal-kapal bangsa Eropa yang datang ke Nusantara di abad 16-18 Masehi)

Catatan: Bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Nusantara adalah Portugis, yakni sekitar tahun 1512 Masehi. Mereka tiba dengan memanfaatkan kemampuan berlayar, ilmu geografi, dan navigasi. Awalnya mereka datang ke sini dengan kedok perdagangan, namun kemudian menjarah dan menjajah semua yang ada. Peristiwa itu terus berlangsung secara masif sampai di pertengahan abad ke 20 Masehi. Tak terhitung lagi harta kekayaan sangat berharga yang dimiliki oleh bangsa ini yang sudah di jarah dan di bawa ke negeri mereka. Dan untungnya jauh sebelum hal itu terjadi, Sunan Kalijaga dan pengikutnya sudah mengantisipasi-meminimalisirnya dengan melakukan penimbunan dan penyembunyian secara besar-besaran di berbagai tempat. Tujuannya agar tidak semua warisan agung leluhur Nusantara hilang dari negeri ini karena dirampok.

Jadi, selama 4 tahun itu di lakukanlah secara massal penimbunan dan penyembunyian berbagai tinggalan sejarah penting bangsa Nusantara, seperti gedung, candi, istana, petirtaan, dan harta kekayaan berupa emas-perhiasan dan pusaka lainnya dari beragam kerajaan leluhur di pulau Jawa. Tujuannya agar kelak tidak bisa dijarah atau dikuasai seluruhnya oleh para penjajah asing. Lebih dari itu, agar warisan yang adi luhung milik bangsa ini tetap berada di tanah pertiwi, tidak digondol ke luar negeri. Karena itulah, hingga kini banyak dari bukti primer keberadaan kerajaan-kerajaan besar di masa lalu, terutama istana Tumapel (Singhasari), Daha (Kadiri), dan Majapahit, yang tidak pernah bisa ditemukan. Sehingga ini menimbulkan persepsi yang buruk dari sebagian orang yang skeptis, bahwa kerajaan-kerajaan itu tak pernah ada, alias cuma sebatas legenda atau dongeng semata.

***

Berikut ini terjemahan dari kitab Nagarakretagama (karya Mpu Prapanca) pupuh 8-12; tentang deskripsi istana dan ibukota Majapahit, tepatnya pada masa Prabu Hayam Wuruk berkuasa (1350–1389 M). Yakni:

Pupuh 8:
Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus-menerus meronda, jaga paseban. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat, Di bagian utara, di selatan pekan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah, Di selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan Yang meluas ke empat arah; bagaian utara paseban pujangga dan menteri. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di sebelah tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat pintu, itulah pasukan. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga Lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam, di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela, Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar Tutur.
Pupuh 9:
Inilah para penghadap: pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang Nyu Gading Janggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang Jaya gung. Dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan, dan banyak lagi. Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak berbatas menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua, Di sebelah utara pintu istana, di selatan satria dan pujangga. Di bagian barat: beberapa balai memanjang sampai mercudesa, Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga, Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai, Tempat tinggal abdi Sri Narapati Paguhan, bertugas menghadap. Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri, rata dan luas, dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias, Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan, Itulah balai tempat terima tatamu Sri Nata di Wilwatikta.

(Ilustrasi komplek istana Majapahit)

Pupuh 10:
Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana, Wredamentri, tanda menteri pasangguhan dengan pengiring, Sang Panca Wilwatikta: Mapatih, Demung, Kanuruhan, Rangga, Tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana. Semua Patih, Demung negara bawahan dan pengalasan, Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh, Jika datang, berkumpul di kepatihan seluruh negara, lima menteri utama, yang mengawal urusan negara. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap, berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana, Begitu juga dua dharmadhyaksa dan tujuh pembantunya, bergelar Arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.”
Pupuh 11:
Itulah penghadap balai witana, tempat takhta, yang terhias serba bergas, Pantangan masuk ke dalam istana timur, agak jauh dari pintu pertama, ke Istana Selatan, tempat Singawardana, permaisuri, putra dan putrinya, Ke Istana Utara, tempat Kertawardana. Ketiganya bagai Kahyangan. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni, Kakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan, Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang, menarik perhatian, Bunga tanjung, kesara, campaka dan lain- lainnya terpencar di halaman.
Pupuh 12:
“Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja, selatan Buddha-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka barat tempat arya, menteri dan sanak-kadang adiraja. Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan Rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci, berdekatan dengan istana Raja Matahun dan Rani Lasem, tak jauh di sebelah selatan Raja Wilwatikta. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi, Di situ menetap Patih Daha, adinda Baginda di wengker, Batara Narapati, termashur sebagai tulang punggung praja, cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak. Di timur laut rumah Patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada, Menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada negara, fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas, cerdik lagi jujur, Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus, Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buddha, Terlangkahi rumah para menteri, para arya dan satria, Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang, menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama, Negara-negara di Nusantara, dengan Daha bagai pemuka, Tunduk menengadah, berlindung di bawah Wilwatika (Majapahit).”

***

Catatan: Masa hidup Sunan Kalijaga itu mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian beliau mengalami masa akhir dari Kerajaan Majapahit, Kasultanan Demak, dan Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 Masehi serta awal kehadiran Kadipaten Mataram (cikal bakal Kasultanan Mataram). Bahkan sang pendiri kerajaan Pajang (Jaka Tingkir) dan Mataram Islam (Panembahan Senopati) itu adalah juga muridnya sendiri. Dan selain sebagai anggota dari Walisongo, beliau ini masih berdarah ningrat dari raja-raja Singhasari dan Majapahit. Bahkan ayahnya yang bernama Raden Sahur atau Tumenggung Wilatikta menjabat sebagai Adipati Tuban. Ia masih keturunan langsung dari tokoh masyhur bernama Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka, seorang Adipati Sumenep yang tersohor sebagai ahli siasat dan merupakan sepupu dari Prabu Kertanagara (raja terakhir Singhasari).

Ya. Apa yang di lakukan oleh Sunan Kalijaga dan pengikutnya saat itu sejurus dengan apa yang di lakukan oleh Sunan Bonang (1465-1525 M) pada sekitar tahun 1470 Masehi, dimana beliau sampai melakukan kampanye “Apati Geni” alias perintah mematikan api alias menyembunyikan rahasia pengolahan logam (ilmu metalurgi) terbaik khas bangsa Nusantara. Alasannya karena beliau pun sudah tahu ancaman besar yang datangnya dari barat (Eropa). Dimana salah satu tujuan utama bangsa penjajah itu datang ke Nusantara adalah untuk bisa mencuri rahasia mengolah logam (metalurgi) yang terbaik di dunia. Mengapa hal ini penting? Sebab bangsa manapun yang menguasai teknologi pengolahan logam – saat itu dan seterusnya – akan dapat menguasai dunia. Itu pula yang menjadi tolak ukur peradaban dan bukti kemakmurannya. Dan memang itulah yang terjadi kemudian hingga sekarang. Sebagian besar teknologi yang menjadi fondasi peradaban maju kini adalah tentang rahasia dan teknik pengolahan logam.

Karena itulah, sejak Sunan Bonang mengajak penduduk untuk menyembunyikan rahasia pengolahan logam warisan leluhur, di negeri ini tidak lagi terlihat pesatnya kemajuan teknologi, khususnya persenjataan (bedil, meriam) dan pengolahan logam lainnya. Kalau pun masih ada, itu hanya seputar penempaan keris, perhiasan dan alat musiknya (gamelan) saja. Akibatnya bangsa kita, pada masa lalunya sering dianggap terbelakang, bahkan primitif. Padahal aslinya justru yang paling maju di zamannya.

Sungguh ini peristiwa masa lalu yang sangat penting untuk diketahui oleh generasi sekarang. Dan tidak perlu heran tentang semakin banyaknya penemuan situs kuno di pulau Jawa selama beberapa tahun belakangan ini. Sebab apa yang telah sengaja disembunyikan tersebut akan secara perlahan muncul kembali, baik karena memang sengaja dicari-digali atau justru muncul dengan sendirinya. Jadi tidak mungkin selamanya hanya terkubur, karena akan menjadi pertanda kebangkitan Nusantara lagi. Bahkan yang menjadi awal dari kejayaan yang paling gemilang dalam sejarah manusia.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 17 Maret 2024
Harunata-Ra

Bonus instrumental:

2 respons untuk ‘Hilangnya Catatan Penting Sejarah Nusantara

    Arya said:
    Maret 21, 2024 pukul 10:42 am

    kebanyakan istana-istana Kerajaan besar tanah jawa dighaibkan dan kelak akan muncul lagi beserta kekayaan alam di darat dan lautan. Semua atas ijinNya dan diperuntukan bagi Ratu Tanah Jawa berikutnya (tak akan lama lagi).

      Harunata-Ra responded:
      Maret 23, 2024 pukul 7:50 am

      Iya betul, seperti yg sudah disinggung pada tulisan di atas.. 🙂

Tinggalkan komentar