Kerusakan Demokrasi dan Kembalinya Ajaran Leluhur

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Menurut World Forum on Democracy, jumlah negara Demokrasi elektoral (pemilihan umum) mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan mencakup 58,2% penduduk Bumi. Dan tahun 2024 ini merupakan tahun terbesar dalam politik dunia, sebab ada 50 negara yang menyelenggarakan pemilu secara “Demokrasi”. Artinya, lebih dari separuh penduduk Bumi telah menyerahkan nasibnya pada sebuah pandangan ketatanegaraan ala Barat. Dan memang kata Demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu “Demos” dan “Kratos“. “Demos” berarti rakyat, dan “Kratos” berarti kekuasaan yang mutlak. Apabila digabungkan, maka secara harafiah, Demokrasi itu adalah kekuasaan yang mutlak oleh rakyat. Nah konsep Demokrasi ini sudah dikenal sebagai sistem politik di Yunani sejak abad ke-6 Sebelum Masehi. Konsep ini digunakan di beberapa kota, terutama di kota Athena.

Jadi, Demokrasi adalah sebuah sistem negara yang dipercayai pertama kali muncul di Yunani kuno, tepatnya di kota Athena, di bawah kekuasaan seorang negarawan bernama Solon (638-558 SM). Pemerintahan Solon digantikan oleh Peisistratus pada 546 SM. Pada pemerintahan Peisistratus, Athena tidak terlalu mengalami perkembangan berarti karena Peisistratus tidak melakukan penyempurnaan pada sistem yang telah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. Peisistratus kemudian digantikan oleh Cleisthenes. Cleisthenes yang mulai memerintah pada tahun 508 SM segera mempercepat proses pengalihan kekuasaan dari tangan sekelompok orang ke tangan banyak orang, sehingga ia dicatat sebagai Bapak Demokrasi. Pemerintahan Demokratis di Athena ini mencapai puncak kejayaan pada masa Pericles (463-429 SM). Hal ini disebabkan oleh adanya penyempurnaan pada sistem pemerintahan yang diterapkannya. Sedangkan Thucydides (460-395 SM) juga pernah mengatakan bahwa konstitusi negaranya disebut Demokrasi karena kekuatan ada di tangan seluruh rakyat, bukan di tangan minoritas, dimana masing-masing individu tak hanya mengurusi masalah pribadi mereka tetapi juga urusan negara.

(Ilustrasi penampakan kota Athena di masa lalu)

Catatan: Sistem pemerintahan Athena awalnya bersifat Oligarkis-Tiranis, tetapi sistem tersebut terus mengalami perubahan sehingga menjadi Demokrasi. Pemerintahan Demokratis ini dicetuskan oleh Solon (638-558 SM) pada sekitar tahun 592 Sebelum Masehi dengan tujuan untuk menghapuskan hutang-hutang rakyat dan menghapuskan hak istimewa (privilege) yang dimiliki oleh kaum aristokrat.

Ya. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dan pengambilan keputusan dilakukan oleh rakyat atau warga negara secara langsung atau melalui perwakilan yang mereka pilih. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Demokrasi itu adalah sistem pemerintahan di mana seluruh rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan mereka, yang dikenal sebagai pemerintahan rakyat. Selain itu, Demokrasi juga merupakan konsep yang menekankan kesetaraan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang “adil” bagi semua warga negara. Namun kekurangan-fatalnya di sini adalah bahwa semuanya dipukul rata, alias tanpa perbedaan sama sekali antara orang yang pintar dengan yang bodoh, orang baik dengan yang jahat. Setiap keputusan lalu diserahkan kepada mayoritas – atau suara terbanyak, meskipun itu dengan cara yang curang dan penuh tipu muslihat. Hal ini jelas sangat beresiko terjadinya kejahatan. Apalagi di sebuah negara yang penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan atau tingkat IQ (Intelligence Quotient)-nya masih rendah. Seperti halnya Indonesia yang menurut laporan dari World Population Review 2023, skor rata-rata IQ penduduknya adalah 78,49. Artinya secara global Indonesia berada di peringkat ke-126 dari 199 negara di dunia. Sangat rendah, bahkan di bawah standar rata-rata.

Catatan: Menurut Psych Central, kebanyakan orang di dunia mempunyai skor IQ rata-rata antara 85 hingga 115. Secara keseluruhan, sekitar 98 persen orang mempunyai skor di bawah 130, dan hanya 2 persen dari total populasi di dunia yang memiliki skor di atas 130. Skor IQ dapat menjadi cerminan tentang kualitas pendidikan dan sumber daya yang tersedia di suatu wilayah bagi masyarakatnya. Sehingga ini sangat berpengaruh dalam pengambilan sebuah keputusan atau dalam hal ini berjalannya Demokrasi secara tepat.

Karena itulah, seorang filsuf Yunani terkenal bernama Socrates (470-399 SM), gurunya Plato (sang pendiri konsep negara Republik), dengan terang-terangan menolak konsep Demokrasi ini. Socrates lalu mencoba membuatnya melihat kekurangan Demokrasi tersebut dan membandingkan masyarakat dengan kapal. “Jika Anda melakukan perjalanan melalui laut, siapa yang idealnya memutuskan siapakah yang bertanggung jawab atas kapal? Semua orang atau orang yang paham pelayaran?“, tanya Socrates. “Yang terakhir tentu saja,” kata Adeimantus. “Mengapa? Apakah kita terus berpikir bahwa hanya orang tua yang layak untuk menilai siapa yang harus menjadi penguasa suatu negara?” jawab Socrates. Dalam hal ini Socrates berargumen bahwa memberikan suara dalam pemilihan adalah keterampilan, bukanlah intuisi acak. Dan seperti keterampilan apa pun, itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang. Membiarkan rakyat memilih tanpa pendidikan, sama tidak bertanggung jawabnya dengan menempatkan mereka sebagai penanggung jawab atas “tiga kali pelayaran ke Samos dalam badai”. Hal ini jelas tidak baik untuk keberlangsungan hidup sebuah bangsa.

Catatan: Socrates merupakan salah satu tokoh yang mulai memperkenalkan istilah “filsafat” di lembaga pendidikan. Socrates menggunakan metode filsafat yang dikenal sebagai metode kebidanan yang menjadi awal pengembangan metode induktif secara de facto. Pemikiran Socrates mempengaruhi muridnya yaitu Plato dan kemudian ke Aristoteles yang merupakan murid dari Plato. Pengaruh pemikiran Socrates menyebar dari negaranya yaitu Athena hingga ke dunia Barat. Pemikirannya yang utama adalah mengenai filsafat moral atau etika. Makanya pemikiran filsafat Socrates bertujuan untuk mengenal manusia dengan memahami alam semesta melalui teori. Perhatian utama dalam pemikiran filsafat Socrates adalah mengenai hakikat dari kehidupan manusia. Ia mengubah perhatian filsafat dari filsafat alam menjadi filsafat manusia. Pendekatan yang digunakannya ialah rasionalisme. Ia mengkaji seluruh bidang pemikiran selama kajiannya dapat mempergunakan akal.

Socrates juga berargumen bahwa Demokrasi, meskipun tampaknya merupakan sistem pemerintahan oleh rakyat, bisa dengan mudahnya berubah menjadi tirani mayoritas. Di sini opini, emosi, dan prasangka populer lebih diutamakan daripada akal dan kebijaksanaan. Ia bahkan menyebutkan tipe pemimpin politik yang disebut demagog, yaitu pemimpin yang mengandalkan prasangka, janji palsu, dan kharisma (pencitraan) untuk memanipulasi pemilih agar memilih mereka. Socrates sendiri sangat khawatir format Demokrasi akan menimbulkan hasutan dan fitnah. Ia juga khawatir mereka yang mencalonkan diri tidak akan memiliki kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk memimpin dan sangat mungkin akan menggunakan jabatan yang mereka pilih untuk kepentingan pribadi dan bukan kepentingan umum. => Bukankah hal seperti ini yang sudah dan sedang terjadi di negeri ini? 

Di lain waktu, Socrates pun berpendapat bahwa dalam sistem Demokrasi, mayoritas dapat menggunakan kekuasaan sesukanya. Dengan cara menekan suara perbedaan pendapat dan melemahkan upaya mencapai kebenaran. Ia percaya bahwa keputusan yang diambil oleh mayoritas, didorong oleh bias pribadi, kepentingan jangka pendek, dan sentimen populer, belum tentu merupakan kepentingan terbaik masyarakat secara keseluruhan (hal seperti ini pun sudah dan sedang terjadi di negeri ini). Sebaliknya, Socrates percaya bahwa keadilan sejati membutuhkan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etika dan pengakuan terhadap tatanan moral yang lebih tinggi. Ia mengkritik fokus Demokrasi pada kebebasan pribadi dengan mengorbankan tanggung jawab kolektif dan berargumen bahwa Demokrasi memungkinkan berkembangnya kejahatan dan pengabaian kebajikan.

Untuk itulah, Socrates tidak setuju jika semua orang boleh memilih. Dia, bagaimanapun, bersikeras bahwa hanya mereka yang telah memikirkan masalah secara rasional dan mendalam yang harusnya mendekati tempat pemungutan suara. Untuk memunculkan kebenaran logis dan objektif, Socrates selalu mengajukan pertanyaan tetapi tidak memberikan jawaban dalam rangka untuk membantu orang-orang Athena menjadi bijak. Dia berkeliling kota dan mengajukan pertanyaan kepada mereka yang berkuasa misalnya para pendeta, pemimpin negara, jenderal militer dan lainnya. Tujuannya adalah untuk terus mengajukan pertanyaan sampai mereka kehabisan kebenaran subjektif dan untuk mendapatkan kebenaran objektif. Makanya orang-orang yang berkuasa takut pada Socrates karena hal ini, ia membuat banyak musuh yang kuat, yang menyebabkan kematiannya sendiri. Begitulah karakter kekuasaan Demokrasi sejak dulu, yakni menempatkan kebenaran sebagai musuh dan ancaman. Lebih dari itu, selalu memposisikan diri pada sisi abu-abu kehidupan dalam pandangan publik. Ini jelas membahayakan.

Catatan: Di setiap negara Demokrasi, yang terjadi kini adalah berbagai jenis manipulasi, sogok menyogok, korupsi, tipu muslihat, dan kemunafikan. Makanya tak heran pula jika sering terjadi salah pilih orang. Sebab mereka yang tak punya kapasitas dan bahkan seorang mavia-bajingan pun bisa menduduki jabatan tinggi di pemerintahan (eksekutif), legislatif, dan yudikatif, karena yang terpenting ia memiliki uang berlimpah dan mendapatkan suara terbanyak – dengan apapun caranya – atau yang sudah memenuhi syarat dalam undang-undang. Dan undang-undang itu pun bisa di rekayasa sesuai dengan pesanan atau kebutuhan mereka yang berkepentingan, khususnya bagi yang memiliki kursi terbanyak di parlemen. Sungguh miris keadaan ini, dan sialnya telah jamak pula terjadi dimana-mana, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dan amat disayangkan, Socrates pun harus mengalami langsung “bencana dari kebodohan pemilih.” Karena pada tahun 399 Sebelum Masehi, ia harus diadili atas tuduhan palsu dari seorang pemuda Athena. Juri yang terdiri dari 500 orang Athena saat itu diundang untuk mempertimbangkan kasus tersebut dan memutuskan dengan selisih tipis bahwa Socrates bersalah. Dia pun dihukum mati dengan hemlock (tanaman terkenal beracun yang menyerupai pakis berbunga) dalam sebuah proses yang tragis. Padahal Socrates telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengajarkan orang-orang tentang kebaikan (membentuk semua karakteristik dasar seseorang). Ia mempercayai bahwa seseorang harus berbudi luhur dengan cara harus memiliki tidak hanya satu tetapi kelima karakteristik yang utama, yakni: (1) Kebenaran, (2) Keberanian, (3) Keadilan, (4) Kebijaksanaan, dan (5) Kebahagiaan. Ia juga memiliki tiga aturan mendasar yang menjadikannya salah satu filosof paling terkenal, yaitu (1) Dia mengatakan tidak “dirimu sendiri” => tahu siapa kamu, (2) Kehidupan yang tidak diuji tidak layak untuk dijalani => mempertanyakan segalanya sepanjang waktu, dan (3) Yang saya tahu adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa => jangan berpikir Anda mengetahui semua jawaban.

Sungguh, dari sudut pandang ideologis, Demokrasi tidak mengakui Tuhan Sang Pencipta alam semesta dan juga mengingkari segala aturan-NYA. Semua keputusan diserahkan kepada rakyat, meskipun pada dasarnya mereka itu bodoh dan tertipu. Demokrasi pun tidak lagi mementingkan kebijaksanaan dan telah menempatkan nafsu sebagai tuhannya. Karena itu tidaklah mengherankan jika para pemuja Demokrasi menjadikan ambisi dan kepentingan pragmatisnya sebagai acuan. Segala macam cara akan dilakukan demi mencapai tujuan-keinginan, tak peduli halal atau haramnya. Sehingga tidak mengherankan pula jika di alam Demokrasi justru makin subur para penjilat kekuasaan, pelaku KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), penipu, penista agama, dan berbagai jenis tindakan amoral. Mereka yang berpegang teguh kepada Dharma (kebenaran sejati) yang asalnya dari Tuhan Sang Maha Suci akan menjadi sasaran-serangan oleh Demokrasi melalui para pemujanya.

Dan memang pada kenyataannya Demokrasi tidak selalu menghadirkan pemimpin yang baik – bahkan hampir semuanya munafik – seperti misalnya terbukti pada sosok Adolf Hitler atau Mussolini yang dipilih secara Demokratis oleh mayoritas rakyat Jerman dan Italia. Keduanya sangat jelas tampil sebagai penguasa yang diktator dan penyebab masalah pelik dimana-mana. Sementara sejarah telah membuktikan bahwa cukup banyak pemimpin kerajaan/monarki (raja dan ratu) yang tidak dipilih secara Demokratis seperti misalnya Prabu Dewawarman, Prabu Mulawarman, Prabu Purnawarman, Ratu Sri Kencana Wulan, Prabu Wretikandayun, Ratu Shima, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Prabu Balaputradewa, Prabu Sanjaya, Prabu Sindok, Prabu Airlangga, Prabu Jayabaya, Ratu Tribhuwana Wijaya Tunggadewi, Prabu Hayam Wuruk, Prabu Siliwangi, Panembahan Senopati, Rangkayo Hitam, Khalifah Al-Mansyur, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, Sultan Muhammad Al-Fatih, Basileus Leonidas, Kaisar Hadrian, King Arthur, dan Tang Taizong yang terbukti lebih mumpuni dalam memimpin rakyatnya ketimbang para pemimpin yang dipilih secara Demokratis.

Catatan: Dalam masa kepemimpinannya, para raja dan ratu yang disebutkan namanya di atas berhasil mengantarkan bangsanya ke puncak kejayaan. Kehidupan di dalam kerajaannya pun terbilang sangat aman dan tertib, sehingga menciptakan kesejahteraan. Kegemilangan peradabannya juga bisa sangat dibanggakan, dan tak ada negara lain di seluruh dunia yang menaruh sikap tidak hormat. Sebab para raja dan ratu tersebut menduduki tahtanya lewat jalan penobatan yang dilatar belakangi oleh petunjuk ruhani dan atau Wahyu Keprabon yang sudah mereka dapatkan sebelumnya. Bukan dengan pemilihan umum, apalagi yang melibatkan orang awam sebagai formalitas.

Lantas apakah sistem Demokrasi yang menguasai Nusantara kini masih tetap harus dipertahankan? Meskipun dengan nyata terlihat dan dirasakan oleh kita semua bahwa sudah terjadi banyak kecurangan dan kerusakan masif dimana-mana, masihkah sistem ala Barat yang cacat ini tetap harus diikuti? Tidakkah sebaiknya kita kembali lagi pada ajaran leluhur yang adi luhung, misalnya Sundayana, untuk dapat membangkitkan kejayaan bangsa ini? Bukankah sebaiknya kita kembali menerapkan sistem ke-Ratu-an atau ke-Datu-an yang dapat menciptakan fenomena “Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto raharjo?” Andalah yang bisa menjawabnya.

Segalanya tentu ada awal dan akhirnya. Patah tumbuh hilang berganti, demikianlah kodrat alam. Karena memang roda kehidupan itu haruslah tetap berputar. Selalu ada yang menggantikan mereka yang lama, yang telah usang dan merugikan.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi..  🙏

Jambi, 25 Maret 2024
Harunata-Ra

Catatan akhir: Tidak lama lagi apa yang pernah ada di Nusantara, bahkan dunia pada umumnya akan kembali lagi. Itulah sistem ketatanegaraan monarki (kerajaan) yang adi luhung dan berwibawa. Hal ini memang diperlukan untuk bisa menyelamatkan kehidupan manusia dan mengembalikan mereka pada tujuan yang sebenarnya di atas dunia ini. Setiap pemimpin itu harusnya terkoneksi dengan “Langit”, dipilih oleh kehendak “Langit”, dan bukannya dilantik karena suara terbanyak. Sebab yang banyak (mayoritas) itu belum tentu benar.

Bonus instrumental:

Tinggalkan komentar