Filosofi Hidup Dalam Angka Jawa

Posted on Updated on

angka bilangan jawaWahai saudaraku. Setelah membahas tentang makna dibalik bunyi nang, ning, nung, neng, gung, mari sekali lagi kita mengupas tentang keilmuan Jawa. Disini bukan berarti untuk menonjolkan salah satu suku yang ada di Nusantara, tetapi sekedar untuk bahan intropeksi dan motivasi diri, bahwa bangsa kita bukanlah bangsa pinggiran. Bangsa kita tetaplah bangsa yang besar, hebat dan memiliki peradaban yang tinggi. Dan itu bisa dibuktikan dengan pemahaman filosofi yang dimilikinya, khususnya pada masyarakat Jawa.

Untuk mempersingkat waktu, berikut ini saya ingin mengajak Anda sekalian untuk sedikit sinau (belajar) tentang angka dan bilangan Jawa. Mengapa begitu? Itu lantaran orang Jawa sudah mampu “menyelipkan” pesan moral dan tuntunan hidup yang baik bahkan pada bilangan angkanya. Untuk membuktikannya, mari ikuti penelusuran berikut ini:

Angka dan bilangan biasanya digunakan sebagai bahasa untuk menyebutkan tentang jumlah ukuran dan yang lainnya. Salah satu penyebutan angka dan bilangan yang tergolong unik adalah yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Kenapa unik? Itu karena ada beberapa misteri dan arti yang terkandung dalam cara penyebutannya, terutama tentang hubungannya dengan umur seseorang.

Wahai saudaraku. Dalam bahasa Jawa juga terdapat penyimpangan pola penamaan bilangan yang konon memiliki falsafah yang amat mendalam jika dikaitkan dengan usia seseorang. Dan jika dicermati dengan seksama, penyimpangan ini memang berbeda dari lazimnya penyebutan angka-angka di kepulauan Melayu khususnya atau Nusantara pada umumnya. Penyimpangan tersebut terjadi mulai dari beberapa angka belasan hingga sampai pada angka 60. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa penyebutan tersebut memang erat kaitannya dengan usia manusia, mengingat di usia 60-an merupakan rata-rata panjang usia seseorang.

1. Angka dan bilangan 1-10
Dalam bahasa Jawa angka itu terurut mulai dari 1-0 dengan deretan; 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0. Ke sepuluh angka tersebut lalu dilafalkan dengan istilah SIJI, LORO, TELU, PAPAT, LIMO, NEM, PITU, WOLU, SONGO, dan NUL. Deretan angka-angka ini memiliki makna yang mendalam, yang sejalan dengan makna kehidupan umat manusia.

angka jawa 1

Adapun makna dari setiap angka 1-0 Jawa adalah sebagai berikut:

1 (Siji/Setunggal) = Esa + Eka + Ika + Tunggal (Keagungan Tuhan), Manunggal (menyatu), Wiwitan+Kawitan (awal, pertama), Bhumi + Buana (Bumi), Surya (Matahari), Candra (Bulan), Ratu (pemimpin), Negoro (negara), dll.
2 (Loro/Roro/Kalih/Rwa) = Dwi (dua yang menyatu/keseimbangan), Tengen (tangan), Sikil (kaki), Kuping (telinga), Mripat (mata), Netra (penglihatan), Panembah (menghormati), Bekti (pengabdian), dll.
3 (Telu/Tigo/Tri) = Tri (tiga kehidupan; Alam Ruh/Kandungan, Duniawi, Akherat), Krida (olah, perbuatan, tindakan), Gebyar (semarak, meriah, gemerlapan, berarti), dll.
4 (Papat/Sekawan) = Catur (kreatifitas, kecerdasan), Kerta (kemenangan), dll.
5 (Limo/Gangsal) = Panca (kekuatan diri), Astra (kesaktian), Tumata (tertata, teratur), dll.
6 (Nem) = Rasa (empati, simpati), Sad (kesederhanaan), Bremana (arif, bijaksana), Anggata (terpelajar, berilmu), dll.
7 (Pitu) = Sapta (hukum), Sinangga (menjaga/menjunjung tinggi drajat dan kehormatan), dll.
8 (Wolu) = Asta (kebajikan), Manggala (terhormat, pembesar), Salira (bentuk, wujud), Naga (simbol kewibawaan), dll.
9 (Songo) = Nawa (semangat dan simbol kemuliaan), Hanggatra (kesempurnaan), Bunga (keindahan), dll.
0 (Nul) = Ilang (hilang), Sirna (musnah), Sonya (kosong), Hening (tidak ada apa-apa), Pungkasan (akhir) dll.

Selain angka-angka di atas, ada bilangan 10 yang biasa disebut dengan SEPULUH atau SEDOSO. Bilangan ini dalam bahasa Jawa juga memiliki makna yang mendalam. Bilangan ini pun terdiri dari gabungan angka 1 (SIJI) yang berarti awal, dan angka 0 (NUL) yang berarti akhir. Tidak ada angka lain sebelum angka 1 (SIJI) dan tidak ada angka lain pula sesudah angka 0 (NUL), karena sesudah itu akan kembali lagi ke 1 (SIJI), tidak ada angka yang baru lagi. Angka 1 (SIJI) berbicara tentang hakekat Tuhan, sedangkan angka 0 (NUL) berbicara tentang pengosongan diri.

Angka 10 ini adalah lambang dari segala kesempurnaan dan kehendak Tuhan. Dan sesungguhnya nilai daripada kesempurnaan itu pun adalah 10. Sehingga segala sesuatu yang ada dibawah kolong langit ini jika kita mampu menyebutkan semuanya, itu hanya akan berarti kosong, tidak akan berarti apa-apa dihadapan Tuhan. Sehingga bila kita berada didepan pribadi Tuhan yang disimbolkan dengan angka 0-1, maka kita tidak berarti apa-apa. Kita baru akan berarti saat kita mau menempatkan pribadi Tuhan itu didepan kita sebagai pemimpin (1-0). Dan dunia ini tidak akan berarti apa-apa pula jikalau dia menempatkan kedaulatan Tuhan itu dibelakang kehidupannya. Karena itulah orang Jawa yang sejati sudah meletakkan angka 0 (NUL) itu bukanlah di awal deretan angka, tetapi justru di urutan terakhir setelah angka 9 (SONGO). Artinya, orang Jawa sudah mengerti bahwa mereka hanyalah makhluk yang fana dan tidak berarti apa-apa bila tak mengikuti kehendak Tuhan. Mereka pun harus hidup dengan mengedepankan aturan Tuhan yang disimbolkan dalam angka 1 (SIJI) sebagai pemimpin dan pembimbing hidupnya. Sementara mereka hanyalah makhluk yang fana, tidak berarti apa-apa, bahkan sirna dihadapan Sang Maha Esa. Ini sangat berbeda dengan prinsip orang Barat yang justru kebalikannya. Mereka meletakkan angka 0 itu di depan angka 1. Secara tersirat artinya mereka meletakkan Tuhan itu dibelakang makhluk, begitupun dengan aturan-Nya bahkan tidak digunakan dalam menata kehidupan sehari-hari. Dan sayangnya lagi bangsa kita ini pun ikut-ikutan pola numerik bangsa Barat ini, yang jelas-jelas tidak sesuai lagi dengan prinsip keimanan dan ketauhidan yang sejati kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang sejak dahulu kala sudah diwariskan oleh para leluhur kita.

pesona nusantara

Sehingga sejak awal kehidupan hingga saat ini tetap tergantung kepada dunia juga tentunya umat manusia apakah mereka mau memiliki arti ataukah tidak dalam hidupnya. Dan hanya dengan menjadikan pribadi Tuhan itu sebagai yang no 1 sebagai Diri Pribadi yang terdepan saja, maka manusia pun akan memiliki arti di dalam kehidupan yang sesungguhnya kosong tidak berarti apa-apa ini. Sebaliknya, jika bangsa ini masih saja tidak mengikuti pakem (pedoman utama) yang bijak dari para leluhur – dengan tetap saja meletakkan urutan angka itu mulai dari 0-9 – maka hidup bangsa ini akan terus mengikuti aturan dan kehendak manusia yang jelas kelirunya, bukan Tuhan. Itu artinya, bangsa ini memang sejak awal sudah ingin hancur atau bahkan dihancurkan. Untuk bisa selamat, maka harus kembali menggunakan deretan angka yang sesuai dengan pakem Jawa (1,2,3,4,5,6,7,8,9,0). Ini memang terlihat sepele, tapi sadarlah bahwa menyepelekan sesuatu yang kecil tapi sebenarnya sangat penting akan mendatangkan malapetaka.

2. Angka dan bilangan 11-19
Dalam bahasa Jawa, angka 11 tidak disebut sebagai “sepuluh siji”, 12 bukan “sepuluh loro”, 13 pun bukan “sepuluh telu” dan seterusnya hingga angka 19 yang tidak disebut sebagai “sepuluh songo”. Namun, angka 11 disebut sebagai “SEWELAS“, 12 disebut sebagai “ROLAS” dan seterusnya hingga 19 yang disebut dengan “SONGOLAS” dan 20 disebut KALIHDOSO (kalih = dua, doso = sepuluh/puluh). Apa makna dibalik semua ini? Mengapa sepuluhan diganti dengan welasan?

Filosofinya adalah bahwa pada usia ke 11 tahun hingga 19 tahun adalah saat-saat berseminya rasa welas asih (kasih sayang) dan cinta pada jiwa seseorang, terutama terhadap lawan jenis. Itulah usia dimana seseorang telah memasuki masa akil baligh, masa remaja. Sementara dalam banyak bahasa, bilangan 11 hingga 19 memang diberi nama dengan pola yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan belasan. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan teen, sehingga para remaja pada usia tersebut disebut teenagers yang berarti remaja.

3. Angka dan bilangan 21-29
Setelah welasan, bilangan 21 hingga 29 dalam bahasa Jawa juga dinamakan berbeda dengan pola umum yang ada. Dalam bahasa lain biasanya sesuai pola. Misal dalam bahasa Indonesia diucapkan dua puluh satu, dua puluh dua, dan begitu seterusnya hingga dua puluh sembilan. Namun dalam bahasa Jawa tidak demikian, angka ke 21 tidak disebut sebagai “rongpuluh siji’, 22 tidak disebut “rongpuluh loro”, dst, melainkan 21 disebut SELIKUR, 22 disebut ROLIKUR, dan seterusnya hingga 29 yang disebut SONGGOLIKUR, kecuali angka 25 yang disebut sebagai SELAWE.

Di sini terdapat satuan “LIKUR” yang tidak lain merupakan singkatan dari “Lingguh kursi” (duduk di kursi). Karena itulah, makna yang bisa diambil disini adalah bahwa pada usia ke 21-29 itulah manusia umumnya mendapatkan “Tempat duduk/kedudukan”, pekerjaan, profesi yang akan ditekuni dalam kehidupannya sehari-hari. Sementara pesan moralnya adalah bahwa kita harus tetap semangat dan giat bekerja demi masa depan yang cemerlang. Selain itu, kita harus bisa memilah mana urusan/pekerjaan yang halal dan mana pula yang haram. Pilihlah yang halal saja, karena itu bisa membuat hidup kita menjadi tenang, bahagia dan selamat dunia akherat.

Jatiluwih3

Selanjutnya, yang lebih menarik adalah pada bilangan ke 25 yang disebut SELAWE. Ini adalah satu penyimpangan yang diambil dari singkatan; seneng-senenge lanang lan wedok (senang-senangnya pria dan wanita). Disini artinya adalah saat puncak asmara antara laki-laki dan wanita yang ditandai dengan pernikahan. Karena itu, pada usia tersebut umumnya orang akan dadi manten atau menikah dan berolah asmara. Memang tidak semua orang menikah pada usia tersebut, tapi jika dirata-ratakan, memang di antara usia 21-29 itulah orang banyak yang menikah. Pada saat kedudukan sudah diperoleh, pada saat itulah seseorang siap untuk menikah.

4. Angka dan bilangan 50
Dari angka 30 hingga 49, penamaan bilangan dibaca normal sesuai pola urutan, misalnya TELUNG PULUH, PATANG PULUH, dst. Tapi ada penyimpangan lagi nanti pada bilangan ke 50. Mestinya, bilangan ini disebut dengan “limang puluh”, namun sebutan populernya tidaklah demikian. Bilangan 50 itu dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah SEKET.

Apa makna dibalik semua ini? Konon SEKET itu merupakan singkatan dari kalimat “Seneng kethunan” (suka memakai kethu/peci/kopiah/tutup kepala). Hal ini menandakan usia seseorang semakin lanjut, dan tutup kepala merupakan lambang dari semua itu. Disisi lain bisa juga sebagai simbol orang yang seharusnya sudah lebih taat beribadah. Dan pada usia ke 50-an tahun mestinya seseorang itu sudah lebih banyak beribadah dan senang berbagi untuk bekal dalam memasuki kehidupan yang abadi nanti (akherat).

5. Angka dan bilangan 60
Selanjutnya, ada satu bilangan lagi yaitu 60 yang penyebutannya juga menyimpang dari pola. Itu terbukti karena disini bukan disebut “nem puluh”, melainkan SEWIDAK atau SUWIDAK. SEWIDAK ini berarti “Sejatine wis wayahe tindak (sesungguhnya sudah sepantasnya pergi). Jadi pesan moral yang bisa diambil dari bilangan ke 60 Jawa ini adalah bahwa di usia ke 60-an seseorang itu sudah memasuki usia lanjut yang semestinya sudah matang, lebih berhati-hati dalam hidup dan tentu saja semakin banyaklah bersyukur, karena usia selebihnya hanyalah bonus dari Yang Maha Kuasa. Dan yang terakhir, diusia yang ke 60-an ini, seseorang itu sudah harus bersiap-siap untuk pergi meninggalkan dunia fana ini – tentunya sudah lebih dulu mengumpulkan bekal untuk perjalanan di akherat. Karena memang biasanya manusia itu wafat diusia ke 60-an tahun.

Wahai saudaraku. Demikianlah sekilas tentang makna dan filosofi dibalik deretan angka dan bilangan dalam bahasa Jawa. Jika kita cermati secara seksama, maka sekali lagi kita bisa mendapatkan pengetahuan bahwa leluhur kita dulu memanglah orang-orang yang hebat. Mereka adalah pribadi yang cerdas, sangat arif dan bijaksana, karena demi kebaikan dan keselamatan anak cucunya, mereka telah sudi menurunkan pesan moral yang berharga di dalam setiap angka dan bilangan yang ada. Mereka tidak sembarangan dalam hal ini, karena tentunya sudah melalui banyak renungan, pengalaman dan bimbingan dari Yang Maha Kuasa.

Semoga tulisan ini bisa mendatangkan manfaat untuk kita semua. Salam Rahayu.

Jambi, 27 April 2016
Mashudi Antoro (Oedi`)

(Disarikan dari berbagai sumber dan diskusi)

27 respons untuk ‘Filosofi Hidup Dalam Angka Jawa

    lazione budy said:
    April 27, 2016 pukul 5:47 am

    memang keren filosifis Jawa, tak sembarangan terbentuk kata itu

      oedi responded:
      April 29, 2016 pukul 1:21 am

      Iya mas, tak sembarangan falsafah itu dibuat oleh para leluhur.. semua tentu melalui berbagai renungan, pengalaman dan bimbingan Tuhan.. Tinggal sekarang bagaimana kita – khususnya orang Jawa – untuk mau segera sadar diri dan kembali pada kultur dan karakter bangsa sendiri… Niscaya akan ada kebangkitan Nusantara lagi..
      Oke, terimakasih atas kunjungan dan dukungannya, semoga bermanfaat.. 🙂

    Sri Nuryati said:
    April 27, 2016 pukul 10:19 pm

    Jika boleh saya memilih seharusnya bhs jawalah yg jadi bhs Internasional bkn bhs Inggris,krn bhs Jawa itu terlengkap dan tiada tandingannya di bumi ini, di samping peradaban budaya dan nilai intelektualitasnya yg tak tertandingi,bangga terlahir dari sbg suku Jawa meskipun tdk njawani 😉 he…he
    Seeep mas Oedi lanjutkan !!

      oedi responded:
      April 29, 2016 pukul 1:23 am

      Siaaap.. makasih juga mbak, karena masih mau berkunjung di blog ini, moga tetap bermanfaat.. 🙂
      Benar juga tuh mbak, saya sih setuju aja kalau seandainya nanti bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa internasional.. wah perlu sinau lebih banyak neh, biar gak malu-maluin kalo ditanya orang asing.. hehe.. 🙂

    Iwan Setiawan (Garut - Pameungpeuk) said:
    April 28, 2016 pukul 6:40 am

    Leres Pisan Kang,,,,

      oedi responded:
      April 29, 2016 pukul 1:24 am

      Syukurlah kalau gitu kang, terimakasih atas kunjungan dan dukungannya, semoga bermanfaat.. 🙂

        nuhjaistone said:
        Februari 25, 2017 pukul 9:08 am

        Izin baca bang….luar biasa filsafat hidup ini….

        oedi responded:
        Februari 26, 2017 pukul 11:18 am

        Wah silahkan mas/mbak Nuhjaistone, saya malah yang seharusnya berterimakasih karena sampeyan mau berkunjung… Semoga bermanfaat.. 🙂

    Basyiruddin {udin} said:
    Mei 14, 2017 pukul 9:14 am

    Kenapa postingan arti tersirat dari “angka”…digerakkan oleh Tuhan melalui tangan kadang sutresna “oedi”..yg berada di “Jam-bi”…??…kok bukan dimunculkan oleh mereka yg domisili di “jantung”kebudayaan jawa….salut buat mas “oedi”..salam kenal dari saya..thanks

      oedi responded:
      Mei 18, 2017 pukul 10:39 am

      Salam kenal juga kang Udin, terimakasih atas kunjungan dan dukungannya, semoga bermanfaat.. 🙂
      Wah jangan berlebihan gitu kang, kebetulan saja saya berkesempatan nulis dan upload tentang filosofi angka Jawa itu di blog ini.. di luar sana tentu ada yang juga telah menuliskannya, lebih bagus malah.. hanya mungkin kang Udin aja yang blm pernah membaca dari situs tetangga.. 🙂

    Makna Angka Jawa 1 Sampai 10 said:
    Oktober 20, 2017 pukul 7:30 am

    […] Angka Jawa  1 hingga 10 memiliki makna atau arti, misalnya  bilangan 10 yang biasa disebut dengan Sedoso . […]

    Filosofi Jawa : Bilangan 21 Hingga 29 said:
    Oktober 20, 2017 pukul 7:35 am

    […] Bilangan tidak hanya 1 hingga 10 saja tetapi setelah ada welasan atau 11 hingga 20 masih ada tingkatan lagi yaitu bilangan 21 hingga 29 dalam bahasa Jawa juga dinamakan berbeda dengan pola umum yang ada. […]

    Filosofi Jawa : Bilangan 50 said:
    Oktober 20, 2017 pukul 7:36 am

    […] Budaya Jawa memiliki keunikan dan memiliki ciri khas yang di gunakan untuk membedakan dengan bahasa yang lainnya, selain itu dalam budaya Jawa juga terdapat berbagai macam keanekaragaman yang itu jarang di miliki oleh daerah yang lainnya. Biasanya dalam hal ini yaitu penyebutan dan makna angka yang ada di  bahasa Jawa. […]

    Filosofi Jawa : Angka 60 said:
    Oktober 20, 2017 pukul 7:38 am

    […] Kata SEWIDAK ini berarti “Sejatine wis wayahe tindak atau sesungguhnya sudah sepantasnya pergi. […]

    Umbar MaspUendek Ayambakar said:
    Januari 18, 2018 pukul 5:52 pm

    Biungalah… Maos tulisannya panjenengan klepek klepek kawula…

      oedi responded:
      Januari 19, 2018 pukul 8:25 am

      Syukurlah kalo suka dengan tulisan ini… Nuwun untuk kunjungannya mas Umbar, semoga bermanfaat.. 🙂

    Lampung Jobs said:
    Februari 20, 2018 pukul 2:54 pm

    kerenbahwakitatidakakanmendapathukumandaripihaklaintanpapersetujuandaripihaklaintanpaharusmenjual

      oedi responded:
      Februari 28, 2018 pukul 6:11 am

      Terima kasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat.. 🙂

    JAGADDIRI MATARAM GOLONG GILIG said:
    September 10, 2018 pukul 7:28 am

    Amanat 5 September 1945
    Berdasarkan Amanat 5 September 1945 ini, maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII menerima penetapan dari Presiden Sukarno sebagai kepala daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta,Oleh karena fakta sejarah inilah, pemerintahan Yogyakarta tidak dapat diganggugugat, pemerintahan dipegang penuh oleh Sri Sultan Hamengku Buwono dan KGPAA Paku Alam. https://keistimewaanyogyakarta.wordpress.com/2012/09/15/amanat-5-september-1945/
    UNDANGAN EXCLUSIVE ( Mengenal Indonesia sejati )
    11 September 2018,jam.21.00-03.00 KIRAB BETENG KRATON KASULTANAN YOGYAKARTA dan KADIPATEN PURO PAKUALAMAN https://www.instagram.com/p/Bndmfz1FMMy/?tagged=kadipatenpakualaman
    WA.konsultasi acara WA.082313812983 Gus NANANG 08122962959 BUNDA ARUM
    2 Oktober 2018 MENCUCI semua PUSAKA KERAMAT milik Kerajaan 09.00
    14 November 2018 GAMELAN KERAMAT di keluarkan jam 21.00
    20 November 2018 GAMELAN KERAMAT dikembalikan ke Kerajaan jam 21.00
    21 November 2018 KIRAB GUNUNGAN 09.00-15.00
    yang mau ikut ACARA di JOGJA silahkan
    NB. Yang mau menikmati malam EXCLUSIVE 24 jam di Yogyakarta silahkan @kopi_margomulyo #kedaikopimargomulyo #wisataspiritual #spiritual #wisatamalamjogja #visitnesia #omahkecebong
    BUKU SEJARAH DAN INFO di : https://mataramgolonggilig.wordpress.com
    NGOPI INDONESIA BHINEKA TUNGGAL IKA FESTIVAL KOPI DUNIA ” Ngopi Bareng KAI #2″ di 12 Kota 15 Stasiun di seluruh pulau jawa 10 – 11 September 2018
    YANG BUTUH KOPI JAWA BARAT ARABICA ROBUSTA hubungi WA : ROBY 08999690505

      Harunata-Ra responded:
      September 16, 2018 pukul 4:40 am

      Matur nuwun atas informasinya.. 🙂

    hafeeza chan said:
    April 15, 2019 pukul 10:41 pm

    Wah, leres pisan kang. Matur nuwun kulo tansah dadi makin paham.

      Harunata-Ra responded:
      April 17, 2019 pukul 1:18 pm

      Nggih sami2lah mas Hafeeza Chan, nuwun juga utk kunjungannya, semoga bermanfaat.. 🙂

    Abhiseka Ceraka Nusantara said:
    Juni 30, 2019 pukul 6:51 am

    Reblogged this on ABHISEKA CARAKA NUSANTARA.

    saryana said:
    Juli 31, 2019 pukul 8:29 am

    weh, ini suatu yang luar biasa, dari manapun sumbernya saya meyakini bahwa ini hasil perenungan yang sangat mendalam.

      Harunata-Ra responded:
      Agustus 1, 2019 pukul 7:57 am

      Syukurlah kalo gitu mas Saryana, terima kasih karena sudah mau berkunjung, semoga bermanfaat.. 🙂

    Herlin Widianingrum said:
    September 30, 2020 pukul 2:31 am

    terima kasih telah menulis ini kak,saya suka sangat bemanfaat,setidknya saya tau sedikit tntg filosofi hdup angkat jawa. semngatt terus kak,smga kakak dan kluarga slalu dlm lndungan gusti allah,aamiin
    slm manis dari Herlin Widianingrum dari ISB Atma Luhur

      Harunata-Ra responded:
      Oktober 1, 2020 pukul 7:05 am

      Iya mbak Herlin sama2lah.. Syukurlah kalo bermanfaat.. terima kasih juga utk kunjungan dan doanya.. 🙂

Tinggalkan Balasan ke oedi Batalkan balasan