Makrifat Jawa

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Dalam kesempatan ini kita akan membahas tentang hal-hal yang mungkin tidak lagi diketahui atau disadari oleh banyak orang. Padahal apa yang ada didalamnya sangatlah penting bagi kehidupan ini. Karena pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan yang tinggi untuk memahami yang hakiki, hanya saja mereka sudah terkontaminasi oleh lingkungan sosial – yang kekinian – sehingga perlu eling alias ber-dzikir (mengingat kembali). Tentunya dengan terus belajar dan menyimak dalam kesungguhan.

Ya. Di dunia ini, ketika Tuhan menurunkan ilmu-NYA ke Bumi, maka selalu ada dua sisi yang saling melengkapi. Seperti halnya pria dan wanita, maka ilmu pengetahuan juga terdiri dari dua bentuk namun sama. Artinya, jika kita melihat kepada ajaran Islam yang disebarkan dari tanah Arab, maka ada ajaran leluhur tanah Jawa yang sudah ada jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang bisa kita simpulkan dari kedua ajaran tersebut, yang sepertinya terlihat berbeda arah dan tempatnya?

Nah untuk lebih jelasnya, mari ikuti uraian berikut ini:

Di dalam ajaran Islam telah dikenal apa yang disebut ilmu hushuli (akal pikiran) dan ilmu hudhuri (hati; rasa dan rahsa)[1]. Ilmu hushuli adalah ilmu yang diperoleh melalui proses belajar formal dan usaha akal pikiran, sedangkan ilmu hudhuri didapatkan melalui pemberian langsung dari Yang Ilahi. Artinya jika ilmu hushuli diperoleh melalui pemisahan antara subjek ilmu (‘alim) dan objek ilmu (malum), alias subjek ilmu pengetahuan harus berusaha membuat jarak dengan objek ilmu pengetahuan agar ilmu yang diperolehnya lebih objektif dan tidak bias, maka ilmu hudhuri diperoleh melalui penyatuan (taqabul) antara subjek ilmu dan objek ilmu pengetahuan – semakin utuh penyatuan keduanya semakin valid pula ilmu pengetahuan itu. Karena itulah jika ilmu hushuli lebih mengedepankan pendidikan yang formal (ta’lim) – seperti yang selama ini kita lakukan terhadap anak-anak kita, maka ilmu hudhuri lebih fokus dengan usaha dalam mengenal diri sejati dengan cara berusaha membangkitkan apa yang tersembunyi dalam diri sendiri.

[1] Rasa dan rahsa itu berbeda. Rasa berkaitan dengan pikiran, sedangkan rahsa itu berasal dari sesuatu yang lebih dalam. Mungkin bisa dikaitkan dengan kata Bhava dalam bahasa Sanskerta yang artinya rasa terdalam. Karena itulah rasa berarti sesuatu yang dirasakan atau perasaan dari seseorang, sedangkan rahsa itu adalah inti dari perasaan atau perasaan mendalam yang menunjukkan kebenaran.

Untuk itu, disaat hendak mempelajari ilmu makrifat, harus terlebih dulu memahami dua perkara ilmu di atas secara jelas. Sebab apa-apa yang ada di dalam makrifat itu tak cukup bisa dipahami hanya lewat akal pikiran saja (ilmu hushuli). Perlu adanya pendekatan ilmu hudhuri dengan melalui setidaknya dua cara berikut:

1. Membayangkan Tuhan itu jauh (transcendence), sehingga perlu upaya pendekatan diri secara lebih (ekstra-maksimal).
2. Membayangkan Tuhan lebih dekat (immanen), seperti dalam istilah Al-Qur’an yang berbunyi: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ : “Dan KAMI lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qof [50] ayat 16)

Dan yang jelas bagi siapapun yang termasuk dalam kelompok ini (pecinta ilmu hudhuri), maka ia lebih mengedepankan pengenalan diri sejati dalam bentuk tadzkirah, tadzkiyah, tashwir, dan tasawuf[2] untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekali-NYA sejak lahir. Sehingga disebutlah sebagai orang yang arif atau dalam artian bijaksana (bentuk jamaknya adalah arifin). Karena itulah mereka pun selalu menggunakan hati sebagai standar dalam setiap perilaku hidupnya. Sementara kelompok yang satunya lagi (pecinta ilmu hushuli) lebih memfokuskan dirinya pada mata pelajaran formal (ta’lim), mengobservasi, dan meneliti – hanya dengan akal pikirannya saja – sehingga disebut sebagai orang yang ‘alim (bentuk jamaknya adalah ulama).

[2] Tadzkirah itu berarti peringatan atau memperingatkan diri sendiri. Tadzkiyah berarti suci atau penyucian diri. Tashwir berarti tidak sesempit yang dibayangkan atau mencakup segala hal yang memiliki gambaran, bentuk, dan sifat. Sedangkan tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana caranya menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin, serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.

Karena itulah, sehubungan makrifat tidak bisa lagi dicapai hanya dengan akal pikiran – lantaran harus dengan hati; rasa dan rahsa, maka saat mempelajari atau mengamalkan ilmu makrifat, siapapun tak diperbolehkan lagi bertanya. Alasannya, karena jika masih bertanya maka dia masih saja menggunakan akal pikirannya. Hal yang sebenarnya justru bertentangan dengan jalan ilmu makrifat itu sendiri.

Catatan: Makrifat itu berarti mengetahui dan mengenal lebih dekat, yang dalam pembahasan ini adalah Tuhan. Dan makrifat itu tidak lantas berarti tak masuk akal atau tidak bisa lagi dijelaskan dengan akal pikiran. Setiap perkara ada penjelasannya sendiri, satu persatu. Karena itulah, jika sudah ngaji (membaca dan mempelajari) kitab Matsnawi atau Al-Hikam[3] misalnya, itu tidak lantas berarti sudah ber-makrifat. Bahkan tidak bisa juga disebut sudah ber-tasawuf, karena tasawuf dan makrifat itu lebih kepada pemahaman dan praktek nyata secara mendalam. Akal pikiran pun sudah “tidak lagi dipakai”, tetapi hati (rasa dan rahsa) yang digunakan seluruhnya.

[3] Kitab Mastnawi adalah karya fenomenal dari Syekh Jalaluddin Rumi, yang menjadi rujukan ilmu tasawuf selama berabad-abad hingga kini – dengan daya tariknya yang mampu melintasi antar bangsa dan agama. Sedangkan kitab Al-Hikam adalah karya dari Syekh Ibnu ‘Atha’illah yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad sampai hari ini. Buku ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Makanya, dalam tradisi Islam terdapat istilah suluk dan salik. Suluk itu berarti jalan spiritual atau tata laku (perjuangan) hidup yang selalu menggunakan hati (rasa dan rahsa), sementara salik adalah orang yang melakukan suluk. Nah, seorang salik adalah dia yang sehari-harinya mengamalkan tasawuf dengan benar dan konsisten. Atau dalam artian menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya. Sehingga kini banyak orang yang keliru dengan menganggap bahwa tasawuf itu sama dengan filsafat. Padahal berbeda, karena jika tasawuf itu menggunakan hati (rasa dan rahsa), maka filsafat lebih menggunakan akal pikirannya saja.

Catatan: Sebagai tambahan, kita perlu kritis dengan doktrin yang mengatakan bahwa orang yang buta huruf itu adalah orang yang bodoh dan primitif. Sebab kenyataannya tidak begitu. Contoh, filsuf termasyhur Yunani yang bernama Socrates adalah sosok yang buta huruf meskipun dia sangat cerdas dan menjadi gurunya Plato – dan Plato kemudian menjadi gurunya Aristoteles. Begitu pula Nabi Muhammad SAW adalah juga buta huruf meskipun beliau sangat cerdas, bijaksana, dan menguasai banyak ilmu pengetahuan – darinya lalu bermunculan tokoh-tokoh besar dunia dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan Jenggis Khan (sang penguasa Mongol yang termayshur), juga seorang buta huruf walaupun dialah yang menemukan senjata meriam dan sebagai raja yang sangat pintar dalam stategi dan kekuatan perang. Dan masih banyak lagi tokoh besar dunia yang dirinya itu seorang buta huruf. Lantas apa yang menjadi alasannya? Kenapa mereka buta huruf namun bisa sangat cerdas dan kharismatik? Jawabannya karena mereka semua telah menggunakan hatinya untuk melakukan apapun, tidak hanya dengan akal pikiran saja.

Lalu, kedua pandangan ilmu dalam ajaran Islam itu (ilmu hushuli dan ilmu hudhuri) kemudian dibawa masuk ke Nusantara, khususnya tanah Jawa, oleh para Wali Songo (sejak angkatan ke-1 sampai yang ke-8). Namun ternyata di Jawa sudah ada pembagian ilmunya sendiri yang terdiri dari dua jenis, yaitu lalar (nalar) dan kaweruh. Nalar adalah ilmu yang menggunakan akal pikiran, sedangkan kaweruh itu ilmu yang menggunakan rasa dan rahsa (hati) – makanya dalam ajaran Islam di tanah Jawa orang yang kaweruh, atau kemudian disebut waskita, bisa dimaknai sebagai orang yang sudah makrifat. Sehingga pada dasarnya antara ajaran Islam dan Jawa itu sama – mirip seperti kedua sisi mata uang. Hanya istilah dan teknisnya saja yang sedikit berbeda. Namun yang jelas keduanya bisa saling melengkapi dan memudahkan.

Catatan: Pada awalnya, selama ratusan tahun ajaran Islam justru sulit berkembang di tanah Jawa. Penyebabnya adalah karena cara pendekatannya yang masih keliru. Makanya oleh para Wali Songo ajaran Islam yang mereka sampaikan tidak langsung bertujuan untuk menghilangkan apa yang sudah ada sebelumnya di tanah Jawa. Karena memang itu tidak bertentangan dengan syariat yang ada. Contoh mudahnya adalah cerita-cerita yang terdapat dalam kisah pewayangan. Ini adalah karya dari para Wali Songo, khususnya Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri untuk syiar agama. Dimana isinya adalah akulturasi dari ajaran Islam dan Jawa. Karena itulah akhirnya ajaran Islam pun bisa diterima dengan baik dan secara luas, khususnya orang Jawa hingga kini.

Dan perlu diketahui juga bahwa pada era Majapahit dan kerajaan sebelumnya tidak ada Wayang Kulit, karena yang ada pada masa itu adalah Krebet atau Wayang Beber. Dimana itu adalah kertas yang digambar lalu digelar (semacam pertunjukan seni) dan ada seorang yang bercerita (dalang). Lalu cerita yang umum pada saat itu adalah tentang kisah Panji Asmoro Bangun. Nah oleh para Wali Songo, seni pertunjukan itu sedikit diubah, karena dalam ajaran Islam tidak diperkenankan menggambar bentuk makhluk hidup, khususnya manusia, dalam wujud yang sama persis atau seperti yang ada pada Wayang Beber. Makanya Wayang Kulit itu bukanlah berwujud asli manusia, melainkan sekedar bayangannya saja – namun orang bisa mengasumsikan bahwa itu adalah manusia. Artinya, hal ini tidak melanggar aturan syariat namun tetap bisa dinikmati sebagai pertunjukan dan syiar agama. 

Inilah penjelasan mudahnya, dimana pada saat tidak diperbolehkan menggambar makhluk hidup, maka di Timur Tengah lahirlah beragam jenis kaligrafi dan bentuk-bentuk diagonal atau yang lainnya untuk bisa memenuhi kebutuhan peradaban di sana. Sementara itu di tanah Jawa, maka lahirlah Wayang Kulit yang bertujuan untuk syiar agama dan sekaligus untuk seni dan keindahan. Ini sesuai dengan karakter orang Jawa dan sebagai bukti akan tingginya kreativitas para Wali Songo, khususnya seniman Jawa pada masa lalu.

Dan selanjutnya, Wayang Kulit tersebut menceritakan kisah-kisah yang sebelumnya hanya ada di lingkungan keraton. Seperti kisah Ramayana dan Mahabharata, maka di lingkup keraton sudah lama mengenalnya namun ditulis dalam bentuk Kakawin yang hanya bisa dipahami oleh pihak keraton saja (maklum bahasa yang digunakan adalah Sanskerta, bahasa yang teramat sulit dipahami oleh rakyat biasa). Makanya oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Giri, kedua kisah tersebut lalu diturunkan ke dalam bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat, yaitu bahasa Kawi (bahasa Jawa kuno) – dan selanjutnya bahasa Jawa baru – agar masyarakat awam pun bisa menikmatinya dengan mudah. Beberapa alur ceritanya di format ulang untuk bisa menyesuaikan dengan tujuan dakwah dan agar tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sungguh hebatnya para leluhur kita dulu. 

***

Tambahan: Pada masa lalu, khususnya di era Majapahit dan kerajaan-kerajaan sebelumnya, tidak sembarangan orang yang boleh menjadi pengajar apalagi guru – terlebih guru agama. Selain harus berkasta Brahmana (kasta tertinggi dalam masyarakat), maka seseorang tentunya sudah menguasai berbagai disiplin ilmu nalar dan kaweruh. Sehingga pada masa itu dikenal para tokoh yang bergelar Resi, Begawan, Mpu dan Ki. Orang yang mendapat gelar tersebut berarti sudah berilmu tinggi dan punya kelebihan di atas rata-rata manusia. Bahkan ia pun sudah tidak berurusan lagi dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, sehingga bisa membimbing murid-muridnya dengan hati yang bersih, tanpa pamrih dan tedheng aling-aling. Dan para muridnya pun bisa menjadi sosok yang berguna dan terhormat pada masanya.

Lalu pada era kesultanan Demak, Pajang dan Mataram, gelar-gelar kehormatan itu memudar dan hanya menyisakan gelar Ki saja. Dan ini bertahan cukup lama, sampai akhirnya mengalami perubahan makna dan tujuannya menjadi Kiyai. Semula hanya untuk manusia yang memiliki kelebihan dan sangat terhormat di masyarakat, lalu bertambah untuk menamai benda-benda pusaka dan lainnya. Hingga sekarang gelar Kiyai ini masih melekat pada kultur masyarakat Jawa namun terus mengalami penyempitan makna dan fungsinya. Bahkan khusus untuk manusia, maka gelar Kiyai ini sekarang hanya untuk orang yang menguasai ilmu agama saja, terutama guru Pesantren.

Dan kenapa akhirnya muncul Pesantren? Itu juga merupakan upaya dari para Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Pesantren itu adalah untuk mengambil alih sistem pendidikan Siwa-Buddha yang pada waktu itu bernama Dukuh. Jadi sebelumnya ada sistem pendidikan untuk para calon Pandita Siwa-Buddha yang bernama Dukuh, atau yang dalam satu kitab bernama Sila Kramaning Wiku (aturan untuk menjadi Wiku), ada di sana. Nah beberapa aturan di tempat itu hampir sama dengan ajaran Islam, khususnya tentang berbagai larangan yang harus dipatuhi oleh para murid. Itulah sebabnya pada masa Sunan Ampel sistem pendidikan yang ada masih bernama Dukuh. Barulah setelah itu para Wali Songo berikutnya mengubah nama Dukuh menjadi Pesantren. Nah istilah Pesantren sendiri berasal dari kata pe-santri-an, dimana “santri” itu berarti murid padepokan (tempat pendidikan). 

Selain itu, perlu diketahui bahwa sastra utama di era Majapahit ada dua, yaitu Kakawin dan Kidung. Dimana keduanya menggunakan bahasa Sanskerta dan aturan-aturannya amat sulit. Nah, Wali Songo menilai bahwa itu adalah sastranya orang keraton, masyarakat biasa takkan mampu untuk memahaminya. Sehingga diturunkanlah sastra tersebut menjadi yang dibawah itu – dengan bahasa yang lebih umum di masyarakat – atau yang disebut dengan sastra Tembang. Yang isinya sama-sama tentang kisah masa lalu, juga pesan dan nasehat kehidupan. Dengan begitu dakwah Islam di tanah Jawa cepat berkembang, karena rakyat jelata pun dapat memahaminya dengan mudah.

***

Ya. Antara tasawuf dan makrifat itu satu kesatuan yang utuh. Dan keduanya pun tak bisa dipahami atau bahkan dicapai hanya dengan akal pikiran. Harus menggunakan hati; rasa dan rahsa yang mendalam. Sehingga inilah yang melandasi perilaku orang Jawa pada masa lalu ketika mereka senang ber-olah kebatinan (spiritual). Tujuannya adalah untuk bisa menajamkan rasa dan rahsa-nya (hati) demi mencapai kaweruh alias makrifat. Sedangkan makrifat sendiri berarti mengetahui dan mengenal lebih jelas tentang hakikat dari Tuhan Sang Pencipta.

Lalu apa yang menjadi alasannya? Karena orang Jawa pada masa lalu telah mengetahui tentang prinsip dari Sangkan Paraning Dumadi, atau yang bisa dimaknai telah mengetahui tentang asal usul manusia dan kemanakah seharusnya ia kembali – dalam ajaran Islam, sesungguhnya prinsip ini sama dengan “Innalillaahi wa inna ilaihi rojiuun“. Nah dengan jalan menguasai ilmu kaweruh (makrifat) tersebut, maka tujuan utama hidup ini baru akan tercapai. Hasilnya bisa mendapatkan keselamatan dan kemuliaan yang sesungguhnya.

“Tidak semua orang dapat mencapai makrifat. Namun setiap orang perlu berusaha untuk bisa makrifat. Itulah sikap yang mulia dan bisa memuliakan dirinya”

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 17 Desember 2020
Harunata-Ra

Bonus instrumental:

5 respons untuk ‘Makrifat Jawa

    Gemi18 said:
    Desember 17, 2020 pukul 2:02 pm

    Subhanallah luar biasa ,matur suwun kagem ilmu pengetahuannya yg terbaru ini enggih mas ,mugi2 kita semua generasi akhir ini bisa mngikuti jejak para leluhur kita yg super luar biasa dalam kehidupan ini enggih mas ,

      Harunata-Ra responded:
      Desember 18, 2020 pukul 2:29 am

      Iya mbak sama2lah ya.. Aamiin semoga aja gitu, karena memang sebaiknya mengikuti jejak para leluhur yg terbukti keunggulannya.. 🙂

    […] Menuju pada kesejatian, Peradaban semesta, 5 pilar berbangsa dan bernegara : Dharma Bhakti Bhuwana, Makrifat Jawa, dan Eonda : kemampuan tersembunyi manusia. Silahkan dibaca dengan seksama, karena itu akan sangat […]

      Gemi8 said:
      Februari 9, 2021 pukul 10:28 am

      Enggih mas, matur suwun kagem sarannya enggih

    Perjuangan Cinta Dari Sang Murid Setia « Perjalanan Cinta said:
    September 15, 2021 pukul 4:56 am

    […] temukanlah yang sejati dalam hidup ini dengan jalan ber-Makrifat [1] yang sungguh-sungguh. Sebab Makrifat itu adalah mutiara berkilauan yang tersimpan di dalam […]

Tinggalkan komentar