Prinsip Hidup Raja Mataram Kuno (Medang)

Posted on Updated on

Raja JawaWahai saudaraku. Dalam kesempatan ini, sekali lagi mari kita belajar dari sejarah kehidupan masa lalu. Dan di dalam tulisan ini, sengaja saya ajak Anda sekalian untuk lebih jauh mengetahui tentang kerajaan besar yang bernama Mataram atau Medang, khususnya tentang prinsip yang dimiliki oleh para rajanya. Dimana prinsip itulah yang kemudian menyebabkan kehidupan di dalam wilayah kerajaan mereka menjadi aman, damai dan makmur.

Untuk mempersingkap waktu, mari ikuti penelusuran berikut ini:

1. Pendahuluan
Kerajaan Mataram kuno atau Mataram Hindu (atau sering juga disebut Medang) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada sekitar abad ke-8 Masehi, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Namun kerajaan Medang ini akhirnya runtuh pada awal abad ke-11 Masehi karena beberapa sebab, seperti perang dan bencana alam.

Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah satu daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16 Masehi, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

2. Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat disana.

peta kerajaan mataram kuno

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain yaitu:

1. Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
2. Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
3. Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
4. Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
5. Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
6. Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
7. Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)

Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

3. Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 masehi atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Mataram atau Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Prasasti Metyasih ini ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 Masehi. Prasasti Metyasih yang diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya di abad ke-9 Masehi) terbuat dari tembaga. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang Patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar terhadap Kerajaan serta memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.

Prabu Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732 Masehi, namun tidak menyebutkan dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sanna juga dikenal dengan nama Sena atau Bratasenawa, yang merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 – 716 Masehi).

prasasti canggal

Prabu Sanjaya memiliki nama asli yaitu Harisdarma. Ia berasal dari Kerajaan Sunda. Ia juga merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama Sanna alias Bratasenawa yang merupakan raja ketiga Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan Bratasenawa pada tahun 716 Masehi, Kerajaan Galuh dikudeta oleh Purbasora. Purbasora dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah. Bratasenawa beserta keluarga lalu melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta bantuan pada Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik dari Sanna/Bratasenawa. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa menjadikan Harisdarma sebagai menantunya, dengan cara menikahkan cucunya dengan anak Sanna yang bernama Harisdarma alias Sanjaya.

Karena masalah kudeta dari Purbasora terhadap tahta ayahnya, Harisdarma yang merupakan penerus Kerajaan Galuh lalu menyerang Purbasora yang saat itu menguasai Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil melengserkannya. Singkat cerita, sepeninggalan Sanna dan atas dukungan ibunya yaitu Sannaha, Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda dan Galuh. Prabu Harisdarma yang juga ahli waris dari kerajaan Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bhumi Mataram. Disana ia lalu dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732 Masehi. Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.

Ratu Sanjaya atau Prabu Harisdarma, adalah raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M) yang memerintah atas nama istrinya. Ia juga menjadi raja dari kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Kemudian dalam tahun 732 Masehi, Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya, yaitu Sanna. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Kerajaan Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja. Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16 Masehi.

Perlu diketahui bahwa prasasti Canggal ini adalah sebuah prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal, berangka Tahun 732 Masehi, dalam bentuk Candrasangkala, menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) yang merupakan simbol agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna atau Bratasenawa atau Sena yang kemudian digantikan oleh Sanjaya.

4. Sistem Pemerintahan Kerajaan Mataram
Di dalam kerajaan Mataram, raja merupakan pemimpin tertingginya. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti “pemimpin”. Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih i Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Jabatan Rakryan Mapatih i Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Mataram kuno selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Jadi, di dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja (Ratu atau Sri Maharaja) ialah penguasa tertinggi. Dan sesuai dengan landasan kosmogonis, raja ialah penjelmaan dewa di dunia. Hal itu ternyata sangat terlihat dari gelar abhiseka dan pujian-pujian kepada raja di dalam berbagai prasasti dan kitab-kitab susastra Jawa kuno sejak raja Airlangga.

Dari zaman Mataram kuno hanya ada dua orang raja yang bergelar abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayotunggadewa di dalam prasasti dari Candi Plaosan Lor dan Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatungadewa. Di dalam kerajaan Mataram secara khusus menganut suatu landasan kosmogonis yaitu kepercayaan akan harus adanya suatu keserasian antara dunia manusia ini (mikrokosmos) dengan alam semesta (mikrokosmos).

5. Kehidupan sosial dan keadaan masyarakat
Kehidupan sosial di Kerajaan Mataram ditafsirkan telah sangat teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong royong. Begitu pula dari segi budaya Kerajaan juga banyak meninggalkan bangunan-bangunan megah dan bernilai sangat tinggi. Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Mataram/Medang pada masa pemerintahan Wangsa Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Wangsa Sailendra berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Agar lebih jelas disini akan disajikan gambaran singkat tentang kediaman dari golongan elite di tingkat pusat. Di ibu kota kerajaan, yang menurut berita-berita China dikelilingi oleh dinding, baik dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, dan terdapat istana raja yang juga dikelilingi oleh dinding. Di dalam istana itulah berdiam raja dan keluarganya, yaitu permaisuri, selir selir, dan anak-anaknya yang belum dewasa, dan para hamba istana (hulun haji, watek I jro). Diluar istana, masih di dalam lingkungan dinding kota, terdapat kediaman putra mahkota (rakai i hino), dan tiga orang adiknya (rakai hulu, rakai sirikan dan rakai wra), dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan.

Di lingkungan tembok ibu kota kerajaan tinggal kelompok elite dan non-elite, raja dan keluarganya mengambil tempat tersendiri. Hubungan antara raja secara langsung dengan kelompok non-elite sulit terlaksana – lantaran adanya protokoler kerajaan, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali, sedangkan dengan kelompok elite birokrasi maka hubungan itu hanya terjadi secara formal – ini juga dikarenakan protokoler kerajaan yang dibuat demikian. Di luar aturan protokoler, hubungan antara raja dan rakyatnya terjalin baik dan saling menghormati, alias tidak ada unsur tirani, otoriter atau diktator.

Di bidang ekonomi penduduk Mataram/Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Mataram/Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Di beberapa prasasti telah memberi keterangan akan adanya masyarakat yang makmur dan mengenal sistem ekonomi di wilayah kerajaan, di pedesaan pertama-tama sudah mengenal hasil bumi seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil industri rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, perhiasan dari emas dan perak, pakaian, payung, keranjang dan barang-barang anyaman, kejang kepis, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik dan ayam serta telurnya juga diperjualbelikan.

Tapi belum ditemukan prasasti yang menyebutkan komoditas ekspor, dan hanya ada satu barang yang mungkin diimpor yaitu kain buatan India (wdihan buat kling). Akan tetapi, data tentang masalah ekspor-impor itu diperoleh dari berita-berita China. Ekspor dari pelabuhan–pelabuhan di Jawa terdiri atas hasil bumi dan hutan Pulau Jawa sendiri dan dari Pulau-pulau yang lain, terutama dari Kalimantan dan Indonesia bagian timur. Komoditas ekspor itu antara lain garam yang di hasilkan di pantai utara Pulau Jawa, terutama di daerah Rembang dan Tuban, kain katun dan kapuk, sutra tipis dan sutra kuning, damas, kain brokat berwarna-warni, kulit penyu, pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus, cula badak, mutiara, belerang, gaharu, kayu sepang, kayu cendana, cengkeh, pala, marica, damar, kapur barus dan lain-lainnya.

6. Prinsip hidup yang dijalani oleh para raja Mataram kuno (Medang)
Pada masa kerajaan Mataram atau Medang, maka dengan singkat dapat dikatakan bahwa seorang raja harus berpegang teguh kepada Dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa (wnang wgraha anugraha), bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak dikalangan rakyatnya, berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.

Karena itulah, tentu menjadi satu hal yang umum bila para raja Mataram kuno dulu mempunyai beberapa prinsip hidup yang bagus. Semua itu demi kemaslahatan bersama. Dan untuk lebih jelasnya, terlebih bila dikaitkan dengan judul tulisan di atas, berikut ini diberikan beberapa prinsip yang dimiliki oleh beberapa raja Mataram kuno (Medang) selama ia memimpin kerajaannya. Di antaranya yaitu:

1. Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
Ratu Sanjaya adalah pendiri kerajaan Mataram kuno (Medang). Pada masa Sanjaya berkuasa bertepatan dengan masa-masa pendirian candi-candi Siwa di Gunung Dieng. Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh kalangan umum, terlebih bagi kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat. Prabu Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Katanya: “Apabila sang Raja yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati dalam tingkah laku, hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila melihat gerak lirik raja, tenangkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan harus menangkap isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran menangkap tindakan, lebih baik duduk terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan gentar dihadapan sang raja”

Prabu Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan prajurit kerajaannya. Menurutnya, maka ada empat macam perbuatan luhur untuk bisa mencapai kehidupan yang sempurna, yaitu:

1. Tresna (cinta kasih)
2. Gumbira (bahagia)
3. Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
4. Mitra (kawan, sahabat, teman atau saudara)

2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi wilayahnya, telah berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya; Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, dengan mengambangkan potensi wilayahnya. Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia adalah sebagai berikut:

1. Kasuran (kesaktian)
2. Kagunan (kepandaian)
3. Kabegjan (kekayaan)
4. Kabrayan (banyak anak cucu)
5. Kasinggihan (keluhuran)
6. Kasyuwan (panjang umur)
7. Kawidagdan (keselamatan)

Menurut prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangunlah sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Propinsi Yogyakarta, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.

3. Sri Maharaja Rakai Panaggalan (780-800 M)
Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu, telah berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana kata-katanya berikut ini: “Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup”

Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat, dan Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Adapun Catur Guru itu adalah sebagai berikut:

1. Guru Swadaya, Tuhan.
2. Guru Sudarma, orang tua yang melahirkan manusia.
3. Guru Surasa, bapak dan ibu guru di sekolah.
4. Guru Wisesa, pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama.

Oleh sebab itu, karena telah adanya pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran hukum dan pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan dengan sangat baik.

4. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)
Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan pesat. Berbagai macam senjata diciptakan. Rakai Warak sangat mengutamakan ketertiban yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa, ada tiga pesan yang diberikan, yaitu :

1. Kewajiban raja adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti, memeriksa dan melindungi.
2. Pakaian raja adalah menjalankan dengan adil dalam memberi hukuman dan ganjaran kepada yang bersalah dan berjasa.
3. Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi anugerah.

5. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M)
Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Karena itu, demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya untuk mengharapkan keselamatan dunia raya yang diagungkan dalam ajarannya. Dalam menjalankan pemerintahannya, Rakai Garung memiliki prinsip Tri Kaya Parasada yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Adapun Tri Kaya Parasada yang dimaksud, yaitu :

1. Manacika, yang berarti berfikir yang baik dan benar.
2. Wacika, yang berarti berkata yang baik dan benar.
3. Kayika, yang berarti berbuat yang baik dan benar.

6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840 – 856 M)
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan. Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang. Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha yang berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan konsep Wasesa Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Adapun di antaranya yaitu:

1. Pendidikan dan pengajaran.
2. Penelitian dan pengembangan.
3. Pengabdian pada masyarakat.

7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856 – 882 M)
Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya. Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada enam alat untuk mencari ilmu, yaitu:

1. Bersungguh-sungguh dan tidak gentar.
Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu.
2. Bertenggang rasa.
Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan kebenaran.
3. Olah pikiran.
Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan yang diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.
4. Penerapan ajaran.
Dalam setiap melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk diketahui.
5. Kemauan sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri.
Dalam kata lain, tekad dan niat harus dilakukan dan tidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan.
6. Menguasai berbagai bahasa.
Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu mengakrabi siapa saja.

8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882 – 899 M)
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah Tri Parama Arta yang berarti tiga perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Adapun Tri Parama Arta itu terdiri dari:

1. Walas asih (cinta kasih)
Menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.
2. Punian
Perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.
3. Bhakti
Perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud kepada Tuhan, orang tua, guru dan pemerintah.

12. Sri Maharaja Dyah Wawa (921 – 928 M)
Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 Masehi. Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional. Roda perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam menjalankan pemerintahannya, Dyah Wawa memiliki visi Tri Rena Tata yang berarti tiga hutang yang dimiliki manusia. Yaitu:

1. Hutang kepada Tuhan yang menciptakannya.
2. Hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya.
3. Hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.

Demikianlah beberapa prinsip yang dimiliki dan terus dilaksanakan oleh para raja Mataran/Medang semasa mereka memimpin kerajaannya. Dari dulu hingga sekarang dan masa depan, kesemua prinsip itu tetap relevan dan patut diikuti. Dan ini jelas menunjukkan bahwa pemimpin bangsa kita dulu adalah orang-orang yang hebat, berkharisma dan penuh kewibawaan. Berbeda sekali dengan pemimpin di masa sekarang, karena mereka bahkan jauh dari kata layak.

7. Keruntuhan kerajaan Mataram kuno (Medang)
Pada masa akhir abad ke-10 Masehi, tepatnya sekitar tahun 929-930 Masehi, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Mpu Sindok yang memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Mpu Sindok (yang pada akhirnya menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Rakai Mpu Sindok) yang memegang pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Mpu Sindok yang terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan, kejujuran dan kecakapannya, manajemen dan akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan, lalu memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung Merapi yang ada di Jawa Tengah.

Maka perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur itulah yang menandakan keruntuhan kerajaan Mataram/Medang periode Jawa Tengah. Karena kemudian tetap di lanjutkan oleh Mpu Sindok namun sudah di wilayah Jawa Timur dan dengan wangsa yang baru, yaitu Wangsa Isana. Dan kerajaan ini benar-benar mengalami keruntuhan pada abad ke 11 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh (1006 atau 1016 Masehi). Dimana pada masa itu ada sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan Mahapralaya. Peristiwa yang dimaksudkan itu adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut pada tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik China dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa Teguh mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik tahta pada tahun 991 Masehi. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu. Dan pada tahun 1006 Masehi (atau 1016) Dharmawangsa Teguh lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas. Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa-Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan dari Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

8. Penutup
Wahai saudaraku sekalian. Jika kita perhatikan dengan seksama tentang kehebatan dan kemegahan dari kerajaan Mataram alias Medang di atas, terlebih dengan adanya prinsip hidup yang dimiliki oleh para rajanya, khususnya selama ia memimpin kerajaan, maka tidaklah heran jika nenek moyang kita dulu bisa hidup dalam keamanan, kedamaian dan kemakmuran. Mereka mampu membangun sebuah peradaban yang hebat dan terkenal dimana-mana. Dan itu bisa terjadi karena mereka telah hidup dengan mengedepankan suatu landasan kosmogonis; yaitu kepercayaan akan harus adanya suatu keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos) juga tentang keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah.

Kerajaan Mataram atau Medang itu bahkan hanyalah sebagian kecil gambaran dari hebatnya leluhur bangsa Nusantara. Ada banyak lagi kerajaan yang lain, yang semuanya tetap dalam garis besar yang sama, yaitu tetap mengedepankan keseimbangan unsur lahiriah dan batiah. Mereka juga tidak ikut-ikutan pada bangsa lain – karena justru bangsa lainlah yang mengikuti mereka – dan selalu bangga dengan tradisi, budaya, karakter dan kultur mereka sendiri. Dan ternyata dengan begitulah mereka memang sangat bisa mandiri dan tidak tergantung dengan bangsa lain, karena justru bangsa lainlah yang sangat tergantung dengan mereka. Tapi memang harus diakui pula bahwa tidak jarang di dalam kehidupan mereka terjadi kerusuhan dan pertikaian yang pada akhirnya menimbulkan kehancuran dalam peradaban mereka. Dan semua itu bisa terjadi karena prinsip dasar hidup yang mengacu pada keselarasan mikrokosmos dan makrokosmos atau keseimbangan unsur lahiriah dan batiniah tidak terjaga dengan baik dan orang-orang hanya senang mengikuti nafsu keserakahan, iri, dengki, dendam dan angkara murka. Sehingga disini, sebagai generasi penerus bangsa Nusantara, kita harus mengambil pelajaran dan tidak mau lagi mengulangi kesalahan leluhur kita itu dengan terus menjaga keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah serta memenuhi keselarasan antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos).

Jadi, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa dibutuhkan sebuah sistem yang sangat nasionalis alias yang benar-benar mengakar pada karakter, kultur, tradisi dan budaya Nusantara untuk bisa membangkitkan kejayaan pada bangsa ini. Bukan yang hanya sekedar meng-copy paste atau ikut-ikutan bangsa lain biar dianggap setara. Karena tanpa hal itu, ibarat membangun sebuah rumah namun tanpa pondasi yang sesuai, sehingga akan cepat runtuh. Selain itu, harus ada pula pemimpin yang memiliki prinsip hidup yang kuat dan mapan, yang ia pegang dan laksanakan setiap hari. Dimana prinsip itu adalah yang ia ambil dari hasil renungan, tafakur, meditasi, semedhi atau tapa brata yang sudah ia lakukan dengan sungguh-sungguh. Yang setiap point-nya adalah untuk kebaikan bersama dan tanpa tedeng aling-aling, riya` dan kemunafikan. Karena pemimpin yang sejati adalah dia yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan sudah tidak lagi terikat dengan kepentingan golongan atau bahkan duniawi. Dialah pemimpin yang merdeka, sehingga bisa memerdekakan orang lain dan mampu mensejahterakan kehidupan mereka. [baca: Wahyu keprabon untuk pemimpin besar nusantara]

Semoga kedepannya bangsa ini mendapatkan pemimpin yang telah merdeka jiwanya dan tenang hatinya. Atau sosok yang tidak lagi terikat dengan apapun karena telah mengenal kesejatian hidupnya; yaitu telah mengenal siapa dirinya dan siapa pula Tuhan yang sesungguhnya. Karena hanya dengan begitulah bangsa ini akan segera bangkit dan menata kembali peradaban yang gemilang. Sebaliknya, tanpa hal itu, maka bangsa ini akan mengulangi kehancuran yang pernah di alami oleh kerajaan-kerajaan besar di masa lalu. Dan pada akhirnya hanya bisa meninggalkan sejarah, bahkan tidak dikenal oleh catatan sejarah.

Jambi, 21 Nopember 2015
Mashudi Antoro (Oedi`)

Referensi:
* http://oldtimejava.blogspot.co.id/2014/10/situs-medang-kamulan.html?m=1
* https://mataramjava.wordpress.com/category/babat-tanah-jawa/
* https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Medang/

Satu respons untuk “Prinsip Hidup Raja Mataram Kuno (Medang)

    Kerajaan Salakanagara dan Keturunannya – Perjalanan Cinta said:
    Desember 30, 2017 pukul 11:15 am

    […] raja-raja di kerajaan Tarumanagara, Bakulapura (Kutai Martadipura), Indraprahasta, Kendan-Galuh, Medang (Mataram), Sriwijaya, Malayu, Dharmasraya, Kalingga, Jenggala-Kahuripan, Daha-Kadiri, Singhasari, Pajajaran […]

Tinggalkan komentar