Kesunyian Diri Untuk Kedamaian Yang Sejati

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Ada banyak jenis dan bentuk suara di dunia ini. Sebagian ada yang keras, dan sebagian lainnya justru pelan atau sangat pelan. Dan menurut penelitian, suara itu adalah hal yang konstan. Bahkan sebuah rumah yang kosong dan sepi memiliki suara dengan frekuensi 40 desibel. Sedangkan di frekuensi 0 desibel saja, Manusia mulai bisa mendeteksi suara. Sungguh hal yang menakjubkan.

Makanya, para ilmuwan sampai berpendapat bahwa keheningan yang mutlak itu tidak ada. Otak dan telinga manusia bahkan dapat bereaksi jika keheningan itu kita alami. Dan pengalaman “sonic” yang sulit dijelaskan secara awam tersebut akan terjadi di tubuh kita, hanya karena kita tak bisa mengalami keheningan. Dalam hal ini, menurut kami sebenarnya indra telinga kita saja yang tak bisa menangkapnya.

Lalu, dalam beberapa kasus, saat dalam kesunyian seseorang bisa mendengar degup jantungnya sendiri secara detail. Mereka bahkan bisa mendengar aliran darah di tubuhnya. Di kasus lain, di kesunyian seseorang bisa mendengar suara perutnya mencerna. Dan menurut ilmuwan, hal ini telah dialami 5-15 % populasi Manusia secara global. Sehingga terdapat kemungkinan lain yang masih belum dapat dijelaskan secara gamblang mengenai sebab dan akibatnya. Terlebih memang ada banyak hal yang belum dapat dijelaskan secara ilmiah.

Jadi, ternyata otak Manusia “terbiasa” untuk menemukan suara baru di tempat sesunyi apapun. Baik itu suara asli, atau suara yang cuma halusinasi. Sebab di kasus lain, seseorang bisa mendengar suara musik yang entah datang dari mana, suara ambulan atau suara kereta api melintas dimana jalan raya dan rel kereta api terdekat letaknya sangatlah jauh. Hal ini membuat ilmuwan berteori bahwa lingkungan memang bisa sunyi, tapi kepala kita tidak.

Nah, dari semua uraian di atas, maka sebenarnya ada banyak jenis dan bentuk suara meskipun tidak serta merta bisa langsung didengar oleh telinga. Bahkan pada dasarnya lebih banyak suara yang tersembunyi, dan baru akan terdengar lewat cara-cara yang khusus. Di antaranya dengan me-nyepi (berada di tempat sepi dan melakukan tirakat khusus), atau ber-meditasi pada waktu dan atau di tepat yang khusus. Dan itulah yang sering di lakukan oleh para leluhur kita sebab ada banyak manfaatnya, terutama untuk urusan kebatinan (spiritual).

Untuk itu, mungkin saja keheningan yang mutlak memang tidak ada, atau sebenarnya ada namun begitu sulitnya untuk bisa dirasakan. Sehingga pilihannya adalah mencari kesunyian terlebih dulu dengan cara menyelaminya secara bertahap. Karena untuk bisa mencapai keheningan itu, maka ada 4 tahapan yang harus dilalui, yaitu:

1. Nirvana (pembebasan diri/moksa)
Ini berarti seseorang telah berhasil melepaskan dirinya dari keterikatan yang sangat pada hal-hal yang bersifat materi dan keduniawian. Ia lebih fokus terhadap apapun yang non-materi dan metafisika. Namun di sini artinya ia tidak harus selamanya menghindari materi atau keduniawian, karena tetap bisa dalam keadaan hidup normal di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Hanya saja, semua materi dan keduniawian tak lagi menjadi fokus dan tujuan hidupnya. Cukup sekedarnya saja dan itu pun cuma sebatas untuk “kendaraan”.

Catatan: Karena telah berhasil melepaskan diri dari keterikatan yang sangat pada materi dan keduniawian, maka barulah seseorang itu dapat merasakan kemerdekaan dan kebebasan yang sejati. Inilah yang disebut dengan moksa. Dan cobalah perhatikan kehidupan dari para Nabi, dimana mereka semua terus menjauhi materi dan keduniawian – seolah-olah tidak membutuhkannya. Bahkan meskipun ia juga bertugas sebagai seorang raja, bangsawan, pejabat negara, atau pun saudagar yang kaya raya, tetap saja mereka hidup dalam kesederhanaan, tidak ada yang bermewah-mewahan. Inilah bukti nyata akan pentingnya menjadi sosok yang bebas dan merdeka, yang dalam hal ini adalah dari ikatan materi dan keduniawian. Sebab tanpa hal tersebut, bahkan sekelas Nabi pun takkan bisa mencapai hakikat dan tujuan dari Islam yang sejati.

Dan perlu dipahami bahwa sebenarnya moksa itu ada dua jenis. Pertama, yang bisa dirasakan ketika masih di alam nyata (di Bumi). Ini bisa dialami ketika sedang melakukan uzlah (mengasingkan diri dari keramaian dunia untuk masuk ke dalam kesendirian) dengan benar. Jenis yang pertama ini lalu disebut juga dengan pembebasan diri atau bisa pula disepandankan dengan telah mencapai Nirwana – dalam hal ini Nirwana-nya bisa dicapai ketika seseorang masih hidup di Bumi (Sa-upadisesa Nirvana). Karena sejatinya Nirwana itu adalah hasil baik yang diperoleh akibat dari perbuatan mulia yang di lakukan oleh seseorang selama hidupnya. Tanpa perbuatan yang mulia, bisa dipastikan siapapun tidak akan pernah meraih Nirwana. Kedua, baru akan dirasakan setelah berpindah dimensi kehidupan. Ini bisa terjadi setelah yang bersangkutan terbiasa dengan ber-uzlah, khalwat (berdua-duaan dengan Sang Kekasih sejati), tahannuts (menyendiri/tapa brata), dan berhasil mencapai Nirwana (keadaan yang terbebas dari semua kekotoran batin). Jenis kedua inilah yang disebut dengan berhasil melakukan pelepasan jiwa. Sedangkan Nirwana-nya lalu disebut An-upadisesa Nirvana. Artinya ia telah melalui jalan moksa (pelepasan jiwa) dengan cara berpindah dimensi kehidupan setelah meninggalkan semua urusan duniawinya.

Jadi, khusus untuk moksa jenis pertama (pembebasan diri/Sa-upadisesa Nirvana), maka itulah yang dalam kebudayaan Jawa disebut dengan Topo Ngrame, atau orang yang menjalani tapa brata di tengah keramaian – tidak seperti pada umumnya di tempat sepi di alam bebas. Dan uniknya, orang lain sampai tidak mengetahui jika yang bersangkutan sedang menjalankan tapa brata yang teramat sulit. Semua itu karena ia memang terkesan tidak sedang melakukan olah batin khusus (tapa brata) seperti pada umumnya. Begitu hebatnya dia menyembunyikan tirakat dan lelaku-nya.

Catatan: Di tahap Nirvana (pembebasan diri/moksa) ini seseorang telah meningkatkan daya tangkap frekuensi batinnya secara sadar alias bukan karena tidak sengaja atau faktor kebetulan saja, sehingga bisa mendengarkan suara-suara yang berasal dari sesuatu yang tak terlihat oleh mata dengan jelas (tidak samar-samar). Bisa dari jarak dekat, jauh atau bahkan yang berada di dimensi lain. Jika terus dilatih dengan serius, maka indra keenamnya (sixth sense) pun bisa dibangkitkan dengan sempurna untuk tujuan yang positif. Bukan hanya sekedar ingin tahu keberadaan makhluk halus atau hal-hal goib saja, namun untuk bisa lebih memahami arti sebenarnya dari setiap penciptaan. Tentunya juga agar dapat mengerti tentang hakikat hidup dan kehidupan serta inti dari kesejatian.

2. Niraswa (kesepian)
Ini adalah keadaan orang yang bisa merasakan kesepian lantaran berada di tempat yang sepi dan jauh dari peradaban. Atau masih ada peradaban namun di lingkup pedesaan kecil yang permai. Atau dalam kasus tertentu justru masih berada di tengah keramaian penduduk tetapi bisa merasakan sepi lantaran sudah terbiasa dalam ber-dhyana (meditasi) dan mengendalikan hati dan pikirannya. Tentunya di sini ia sudah berhasil melepaskan keterikatan yang sangat pada materi dan keduniawian (lantaran sudah mencapai Nirvana/pembebasan diri/moksa). Cuma sekedarnya saja, karena memang tetap diperlukan untuk hidupnya.

Catatan: Di tahap ini kemampuan indra keenamnya semakin tinggi dan sempurna. Apa yang masih tidak diketahui atau kurang jelas oleh seseorang ketika di tahap pertama (Nirvana/pembebasan diri/moksa), menjadi sangat jelas saat berada di level kedua ini. Ia pun bisa semakin memahami tentang hakikat yang sejati.

Selamilah kesepian, niscaya kau akan mendengar kata yang tak terhitung. Kesepian adalah nada-nada yang tersembunyi dan menunggu untuk kau temukan sendiri dalam kesadaran. Kesepian bisa membuatmu merasa ringan, yang dengannya pula akan terbukalah cakrawala kebahagiaan.

3. Baruswa (kesunyian)
Ini tidak sama dengan perasaan hampa, sebab yang dirasakan bukanlah tidak ada apa-apa (kekosongan) atau justru sudah hilang rasa. Kesunyian yang dimaksudkan di sini artinya telah mencapai kemerdekaan batin atas suara dan kebendaan karena berhasil merasakan tahapan Nirvana (pembebasan diri) dan Niraswa (kesepian) secara benar dan lebih murni.

Makanya, di tahap ini seseorang justru mulai tidak merasakan apapun yang biasanya dirasakan oleh panca indra atau bahkan indra keenamnya (sixth sense), walau tetap ada “sesuatu”-nya itu. Ia pun dapat menghilangkan pemikiran, bahkan hasrat keinginannya setelah mampu berserah diri secara total demi meningkatkan level kesadaran pribadinya. Di tahap ini pula ia baru mulai dapat merasakan ketenangan yang sesungguhnya.

4. Khariswa (ketenangan)
Dengan bermodalkan pembebasan diri, kesepian, dan kesunyian yang sebenarnya, barulah seseorang dapat merasakan ketenangan yang sebenarnya. Di tahap ini, siapapun merasa tak perlu lagi mengejar sesuatu yang tak seharusnya dikejar-kejar. Ia telah sadar diri sehingga takkan ambisius dalam urusan apapun – khususnya harta, tahta, dan popularitas, juga masalah dosa dan pahala, surga dan neraka, hina dan mulia, suka atau tidak suka, bahkan tentang pencapaian apapun itu selain menuju kepada Hyang Aruta (Tuhan Yang Maha Esa). Semuanya tak lagi menarik baginya, sebab ada yang sifatnya kekal abadi dan berdaya supranatural tertinggi yang sangat mengagumkan. Ia pun jadi terpesona dengan itu, hanya itu saja. Dan jika bisa sukses menemukan atau mengenali-NYA dengan jelas, maka disitulah ketenangan yang sejati bisa dirasakan dalam kepastian. 

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ (٢٧) ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ(٢٨)

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang ridho dan diridhoi-NYA!” (QS. Al-Fajr [89] ayat 27-28)

Catatan: Bisa dikatakan bahwa ketika berhasil mencapai tahap Khariswa (ketenangan) ini, maka barulah seseorang itu bisa sukses dalam menghilangkan ke-aku-an dirinya. Sebab ia pun sudah berhasil menjadikan dirinya dalam keadaan “0”, atau dalam artian sudah mencapai kefanaan yang hakiki. Dan inilah makna dari ber-tauhid yang sesungguhnya, yaitu meniadakan apa dan siapapun kecuali DIRI-NYA. Makanya ada peluang untuk bisa kembali kepada-NYA dalam keadaan ridho dan diridhoi-NYA pula. Sebab telah bersih, suci dan murni dari yang lain kecuali DIA saja.

***

Ya. Ada empat hal yang perlu dirasakan terlebih dulu – dalam artian yang sesungguhnya – sebelum akhirnya bisa merasakan Quriaswa (keheningan). Oleh sebab itu, bagi mereka yang terbiasa atau sudah terlatih dalam olah kebatinan (spiritual) akan bisa merasakan Baruswa (kesunyian) meskipun sedang berada di tengah keramaian. Ia juga seperti orang yang tuli meskipun tetap bisa mendengarkan banyak hal. Bahkan ia pun dapat memisahkan diri tanpa harus terpisah – sehingga suara apapun dalam frekuensi seberapapun takkan lagi mempengaruhinya. Tubuh fisiknya memang ada di sekitar lingkungan atau orang banyak, tetapi hati dan pikirannya telah pergi jauh. Mengasingkan diri, karena terus berada di “alam yang sunyi” dan itu bisa membuatnya tetap merasakan bahagia. Dan setelah bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya itu, ia pun dapat mencapai Khariswa (ketenangan).

Catatan: Rasa sunyi di sini setidaknya memiliki dua makna. Pertama, memang adanya perasaan sunyi karena sedang nyepi (uzlah/mengasingkan diri) atau fokus dalam mengolah batin (dhyana/meditasi, semedhi, tapa brata), dan yang kedua merupakan sebuah pertanda baik atau pun buruk yang didapatkan oleh seseorang – tidak harus untuknya, karena bisa saja untuk orang lain dan lingkungan sekitar. Sebab ia dapat merasakan sunyi “yang mistis” itu – tentunya karena sudah rajin olah batin – meskipun kondisi dan posisinya tidaklah sunyi atau sedang tidak berada di tempat yang sepi. Hati dan pikirannya bisa merasakan sunyi pada waktu bersamaan tanpa harus ada penyebabnya. Semua itu lantaran semesta tengah berbicara (secara simbolik) kepadanya tentang sesuatu yang sedang dan akan terjadi. Ini mirip dengan insting yang dimiliki oleh hewan sebelum terjadinya bencana alam.

Lalu, dengan bermodalkan rasa tenang dan bahagia itulah seseorang baru akan bisa merasakan Quriaswa (keheningan) yang sesungguhnya. Itulah kepuasan yang sebenarnya. Bahkan jika ia dapat mempertahankan rasa hening tersebut, maka ia pun dapat meraih Hiraswa (kedamaian) yang sejati. Satu tahapan yang istimewa, karena bahkan tak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata mengenai keindahannya. Hanya bisa dirasakan sendiri oleh siapapun yang berhasil mencapainya. Karena ini bukan lagi menurut katanya atau sekedar berdasarkan dalil agama saja.

Catatan: Mencapai Hiraswa (kedamaian) seperti penjelasan di ataslah yang sesungguhnya ada di dalam ajaran Islam yang sejati. Karena semua bentuk syariatnya memang bertujuan untuk bisa mengantarkan seseorang pada kedamaian yang hakiki. Dan jika ditinjau dari aspek bahasanya – yang dihubungkan dengan asal katanya, maka Islam itu sendiri berasal dari kata Salm ( ْالسَّلْم) yang bermakna damai atau kedamaian. Bahkan secara lebih detail Islam itu juga berasal dari kata Aslama (أَسْلَمَ) yang berarti menyerah (berserah diri kepada-NYA), Saliim (سَلِيْمْ) yang berarti bersih dan suci, atau Salam ( ْسَلَم) yang berarti selamat dan sejahtera. Dimana ketiganya itu bermuara pada kedamaian yang ingin dicapai oleh siapapun.

Lalu, setelah berhasil mencapai Hiraswa (kedamaian) yang sejati, maka barulah seseorang itu akan bisa mencapai Nurraswa (cahaya) yang sebenarnya. Dimana ia akan merasakan sesuatu yang luar biasa lantaran sudah berhasil menemukan pencerahan batin yang sesungguhnya. Kemudian, satu tahap lagi ia akan menemukan hakikat dari Hurraswa (KE-ILAHIAN). Setelah itu, satu tahapan lagi ia pun dapat menemukan hakikat dari Sirraswa (KERAHASIAAN) yang sejati. Dan itulah yang menjadi tujuan utama hidup ini, karena bisa sampai kepada-NYA dengan selamat dan diridhoi. Dan ini pula yang terkandung di dalam ajaran Islam yang sempurna dan telah diridhoi-NYA.

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

“….Pada hari ini telah AKU sempurnakan agamamu untukmu, dan telah AKU cukupkan nikmat-KU bagimu, dan telah AKU ridhoi Islam sebagai agamamu…” (QS. Al-Maidah [5] ayat 3)

Untuk itulah, sepanjang kehidupan Manusia di Bumi ini, hanya ada satu ajaran suci yang Tuhan berikan. Dialah Islam yang telah dibawa oleh 124.000 orang Nabi dan 315 orang Rosul di ketujuh periode zaman yang ada (Purwa Duksina-Ra, Purwa Naga-Ra, Dirganta-Ra, Swarganta-Ra, Dwipanta-Ra, Nusanta-Ra, dan Rupanta-Ra). Sifatnya universal dan berlaku untuk siapapun. Dan semua yang terdapat didalamnya adalah cara untuk bisa menemukan Hiraswa (kedamaian) dan Nurraswa (cahaya) yang sejati. Dua bekal utama untuk bisa menemukan hakikat dari Hurraswa (KE-ILAHIAN) dan Sirraswa (KERAHASIAAN) yang sejati.

Hanya saja memang tak semua orang yang bisa memahami dan juga menjelaskannya secara detail serta mendalam. Tak semuanya pula berkenan untuk menerimanya, lantaran oleh penganutnya sendiri Islam ini sering terlanjur dijadikan sebagai ajaran yang eksklusif untuk golongannya saja. Tak jarang pula Islam itu dipandang dengan cara yang terlalu sempit dan kolot (terlalu kaku). Sangat disayangkan.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 25 Juni 2021
Harunata-Ra

Bonus instrumental:

4 respons untuk ‘Kesunyian Diri Untuk Kedamaian Yang Sejati

    Nur asika himaya8 said:
    Juli 5, 2021 pukul 3:41 am

    MasyaAllooh …super luar biasa ilmu terbaru panjenengan mas,jujur kulo merasa bahagia banget diizinin ikut mmbc mmplajari ilmu yg terbaru dn super tinggi ini enggih mas

    Mugi2 berkah kagem sulurh alam semesta dan seluruh isinya khususnya kagem panjenengan piyambak dn mugi2 dngn diturunkan ilmu yg terbaru ini poro sedulur2 bnyak yg ikut mmbc ,mmpelajari dn sadar dn mengetahui akan kekeliruan2 yg slama ini sdh mnjamur ..Aaamiiiin ya robbal alamiin

    Kang Nuddin said:
    Juli 22, 2021 pukul 10:49 am

    Terimakasih sudah berbagi “kenikmatan” yang tak semua orang bisa menikmatinya.

      Harunata-Ra responded:
      Agustus 9, 2021 pukul 11:58 am

      Iya sama2lah kang Nuddin, terima kasih juga udah mau berkunjung, semoga bermanfaat.. 🙂

    […] paripurna. Dengan sabar dan sistematik, maka hal-hal yang ia sampaikan adalah untuk menuju pada Hiraswa (kedamaian hidup). Yang dengan itu pula bisa mengantarkan diri siapapun untuk bisa mencapai Nurraswa (cahaya) yang […]

Tinggalkan komentar