Islam Yang Sejati (1)

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Jumlah pemeluk Islam di seluruh dunia saat ini diperkirakan mencapai 2,02 miliar orang atau sekitar 25% dari total penduduk Bumi. Sebuah angka yang sangat besar, namun apakah semuanya itu telah memenuhi harapan yang semestinya? Apakah sebanyak itu orang, mereka sudah benar-benar memahami hakikat dari ajaran Islam itu sendiri? Atau justru sebaliknya, hanya sebatas identitas belaka? Sungguh perlu direnungkan dengan seksama karena ini mengenai sebuah prinsip dan nilai dari kehidupan.

Sebab, kata اِسْلاَمْ (Islam) terbentuk dari empat huruf, yaitu Alif (ا : A), Sin (س : S), Lam (ل : L), dan Mim (م : M) yang bermakna dasar “سَلَمَ : Salama” (selamat). Lalu dari pengertian Islam secara huruf ini, maka dapat disimpulkan bahwasanya Islam itu adalah tata aturan hidup (agama) yang membawa keselamatan di dunia dan di akhirat nanti (alam kehidupan setelah kiamat). Islam juga agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum Muslimin) untuk menebarkan keselamatan, dan hal ini tercermin langsung dalam bacaan akhir sholat – sebagai ibadah utama – yakni ucapan: ٱلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ ٱللَّٰهُ : Assalamu’alaikum warahmatulloh : semoga keselamatan dan kasih sayang Alloh dilimpahkan kepadamu” sebagai penutup dari ibadah sholat itu sendiri dan merupakan doa keselamatan.

Lalu, berdasarkan ilmu bahasa (etimologi), istilah “اِسْلاَمْ : Islam” ini juga berasal dari kata “سَلِمَ : Salima” yang berarti selamat, sentosa dan damai. Dari kata itu terbentuklah kata  ًإَسَّلاَماْ – یُسْلِمُ – أَسْلَمَ – اِلسْلاَم (as-salam – yuslimu – aslama – islaman) yang berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Bahkan lebih dari itu, kata Islam juga memiliki beberapa pengertian yang mendalam, sebagai berikut:

1. Islam berasal dari kata ” سَلَمْ : Salam
Kata “سَلَمْ : Salam” atau “اَسَّلَمُ : As-Salamu” berarti damai atau kedamaian. Sehingga makna dari kata “اِسْلاَمْ : Islam” di sini adalah mengajak dan atau bisa mengantarkan seseorang menuju pada kedamaian hidup. Sedangkan di dalam kitab suci Al-Qur’an sendiri telah dijelaskan bahwa: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian (lis salam), maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Alloh. Sesungguhnya DIA-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8] ayat 61).

Nah kata “سَلَمْ : Salam” pada ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini merupakan salah satu makna dan ciri khas dari ajaran Islam, yaitu bahwa Islam itu merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai dan senantiasa memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik dan kekacauan. Sebagaimana keterangan dari ayat berikut:

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱقْتَتَلُوا۟ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنۢ بَغَتْ إِحْدَىٰهُمَا عَلَى ٱلْأُخْرَىٰ فَقَٰتِلُوا۟ ٱلَّتِى تَبْغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمْرِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَهُمَا بِٱلْعَدْلِ وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Alloh; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Alloh), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujarat [49] ayat 9)

Selanjutnya, dikarenakan ajaran Islam itu berlaku untuk semua orang dan memuat konsep kedamaian, maka terdapat sebuah metode yang bisa mewujudkan rasa damai pada diri seseorang, yakni ber-tafakur. Adapun tafakur ini bisa disamakan dengan dhyana (meditasi). Sebab keduanya merupakan praktik kebatinan (spiritual) untuk mengheningkan cipta, rasa dan karsa. Tujuannya adalah untuk bisa lebih memahami tentang hakikat segala sesuatu demi mengenal diri sendiri dan pada akhirnya mengenali Hyang Aruta (Tuhan YME). Sehingga jika hal ini tak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka sulit bagi seorang Muslim untuk bisa merasakan kedamaian yang sejati. Dan sayangnya fakta di lapangan telah membuktikan bahwasanya tafakur (dhyana : meditasi) ini tak lagi digemari oleh mayoritas umat Islam. Bahkan sampai ada yang menuduhnya sesat dan tak berguna. Sungguh pemikiran yang dangkal dan keliru. 

Catatan: Cipta bersinggungan dengan kekuatan pikiran untuk merancang atau membuat sesuatu. Rasa bersinggungan dengan kekuatan hati manusia untuk menanggapi sesuatu, sedangkan Karsa adalah semangat atau dorongan dalam diri manusia untuk berbuat sesuatu. Apabila dalam tahap cipta dan rasa, keinginan-keinginan itu masih tak kasat mata, maka dalam tahap selanjutnya (karsa) keinginan itu harus diupayakan maujud sehingga dapat dilihat, disentuh dan dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Makanya Karsa juga berarti kekuatan untuk mewujudkan keinginan tersebut menjadi nyata. Namun persoalannya adalah dengan cara bagaimana mewujudkannya? Nah tugas kita sebenarnya bukanlah menemukan bagaimana caranya. Sebab cara itu akan muncul dengan sendirinya dari komitmen dan keyakinan pada apa yang diinginkan. Cara adalah urusan Tuhan. Dengan kata lain, Tuhanlah yang selalu tahu cara tersingkat, tercepat dan terharmonis dalam mewujudkan keinginan kita. Jadi yang perlu dilakukan adalah bekerja (apapun pekerjaan itu) dengan perasaan sungguh-sungguh dan ikhlas dalam menjalaninya.

2. Islam berasal dari kata “سَلَمَ : Salama
Kata “سَلَمَ : Salama” berarti selamat atau keselamatan. Dan sebagaimana yang sudah diterangkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya Islam itu adalah tata aturan hidup (agama) yang membawa keselamatan di dunia dan di akhirat nanti (alam kehidupan setelah kiamat). Islam juga agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum Muslimin) untuk menebarkan keselamatan di mana pun ia berada. Sedangkan untuk bisa mewujudkannya, maka diperlukanlah kecerdasan diri. Adapun di antara bentuk nyata dari kecerdasan diri itu adalah mampu mengendalikan dirinya sendiri dan suka beramal untuk akhiratnya. Seperti yang termaktub dalam Hadits berikut:

Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR. At-Tirmidzi)

Dalam Hadits lain, Rosululloh ditanya oleh salah seorang Anshor yang dibawa Ibnu Umar menemuinya; “Wahai Nabi siapakah orang yang paling cerdas dan mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak dalam mengingat mati dan dan paling siap menghadapinya. Merekalah yang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi)

Nah, agar kecerdasan tersebut bisa dimiliki oleh seseorang, maka diperlukanlah semangat untuk tekun dalam ber-iqro’ (membaca, memikirkan, merenungkan, bertanya, musyawarah, diskusi). Itulah kenapa ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad bukanlah mengenai urusan tauhid (ke-Tuhan-an) dan fiqih (hukum dan aturan), melainkan kalimat “Iqro’” ini, dan itu merupakan perintah yang sangat tegas dan utama. Tujuannya agar para hamba-NYA tidak menjadi orang yang jahil (bodoh) dan hidup dalam kekacau-balauan. Sedangkan untuk bisa mengamalkan perintah Iqro’ ini, maka perlu adanya sikap yang tekun dalam ber-muhasabah (instrospeksi diri), tadabbur (terus menambah ilmu pengetahuan), dan tafakur (merenungi segalanya). Bahkan jika perlu sampai harus melakukan khalwat (berdua-duaan dengan Sang Kekasih sejati), uzlah (mengasingkan diri), dan tahannuts (menyendiri). Dengan itu semua maka harapan untuk bisa “سَلَمَ : Salama (selamat) akan terbuka. Karena sebelumnya ia akan bisa menjadi sosok yang pandai bersyukur (tasyakur), terus berserah diri (tawakal), dan tetap bersikap rendah hati (tawadhuk) dalam hidupnya. Modal utama yang harus dicapai oleh seorang hamba Tuhan. 

3. Islam berasal dari kata “أَسْلَمَ : Aslama
Kata “أَسْلَمَ : Aslama” itu artinya berserah diri atau pasrah, yakni berserah diri kepada aturan Tuhan. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam (Muslim) merupakan sosok pribadi yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa pun yang Tuhan perintahkan serta menjauhi segala Larangan-NYA meskipun terasa berat. Karena itulah, dalam kesehariannya kaum Muslimin itu seharusnya bersikap tenang dan penuh kebijaksanaan.

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Alloh, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Alloh mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-NYA.” (QS. An-Nisa [4] ayat 125)

Jadi sebagai seorang penganut ajaran Islam (Muslim), siapapun itu sesungguhnya diperintahkan untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya Kepada-NYA. Inilah inti ajaran mulia ini, yang sayangnya justru sering kali diabaikan, bahkan tak diketahui lagi sekarang ini oleh banyak kalangan. Mereka hanya berlomba-lomba dalam urusan kemegahan semu duniawi, sehingga lupa dengan SANG PENCIPTA dunia.

أَفَغَيْرَ دِينِ ٱللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُۥٓ أَسْلَمَ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Alloh, padahal Kepada-NYA-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Alloh-lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali-‘Imran [3] ayat 83)

….ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا….

“….. Pada hari ini telah KU sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah KU cukupkan kepadamu Nikmat-KU, dan telah KU ridhoi Islam itu jadi agama bagimu…..” (QS. Al-Ma’idah [5] ayat 3)

 

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6] ayat 162)

4. Islam berasal dari kata “اِسْتَسْلَمَ – مُسْتَسْلِمُوْنَ (istaslama–mustaslimun)”
Kata “اِسْتَسْلَمَ – مُسْتَسْلِمُوْنَ (istaslama–mustaslimun) itu artinya penyerahan total kepada Alloh ﷻ . Dalam Al-Qur’an dijelaskan berikut ini: “Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS. As-Saffat [37] ayat 26). Sehingga makna ini sebenarnya sebagai penguat dari makna yang terdapat di poin ketiga (أَسْلَمَ : Aslama). Karena seorang Muslim atau pemeluk agama Islam itu diperintahkan secara total untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta hartanya atau apa pun yang dimiliki hanya kepada Alloh ﷻ . Inilah yang disebut dengan tawakal. Dan siapapun yang tak memilikinya, tidak termasuk dalam bagian dari umat-NYA.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhannya), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 208).

Makanya, apabila seseorang telah memeluk Islam dengan baik, maka ia akan mendapatkan kedamaian dan memberikan kedamaian kepada orang lain disekitarnya. Sebab huruf triliteral semitik “س – ل – م (S – L – M)” menurunkan beberapa istilah penting dalam pemahaman keislaman, yaitu “اِسْلاَمْ : Islam” dan “مُسْلاِمْ : Muslim“. Semuanya berakar dari kata “سَلَمْ : Salam” yang berarti kedamaian. Dengan demikian, siapa pun yang memeluk Islam, dia akan selamat dan damai, baik untuk dirinya sendiri maupun menyelamatkan serta menebarkan kedamaian untuk pihak lain. Sedangkan Nabi Muhammad  ﷺ  dalam khutbah Haji Wada’ (Haji perpisahan) telah bersabda; “al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi : seorang Muslim adalah di mana orang lain selamat dari lisan dan kekuasaannya.”

Kemudian dalam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits juga ditegaskan tentang misi dari ajaran Islam yang membawa prinsip kedamaian (as-salam), keselamatan (as-salamah), kasih sayang (ar-rahmah), dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia (mashalih al-‘ibad). Hal ini dinyatakan oleh Alloh ﷻ dengan kalimat: “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin : dan tidak Kami utus Engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta.” (QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 107).

Untuk itu, seorang yang baik, terlebih kaum Muslimin sejati, adalah pribadi yang telah damai dalam dirinya dan selalu menebarkan kedamaian untuk siapapun yang lain agar terwujudlah kehidupan yang adil, tenteram, sejahtera dan penuh dengan kebahagiaan. Ia pun telah selesai dengan dirinya sendiri, dan hanya mengabdikan diri sepenuhnya kepada Hyang Aruta (Tuhan YME). Tak ada lagi kepura-puraan dan hasrat untuk mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya itu. Semuanya ia serahkan Untuk-NYA saja, karena dirinya sendiri telah fana dan sirna. Sedangkan jika hal ini tak dimiliki oleh seseorang, maka perlu dipertanyakan tentang ke-Islam-an dirinya. Jangan-jangan ia justru sudah kafir (ingkar, menolak, keluar barisan) namun tak menyadarinya karena terlihat masih sebagai orang Islam – karena tetap mengerjakan sholat, zakat, puasa, dan haji-umroh namun penuh dengan riya’ (pamrih) dan tedheng aling-aling. Ia pun telah menjadi sosok yang munafik, lantaran apapun kebaikan yang dikerjakannya hanya demi keuntungan pribadinya saja (harta, jabatan, popularitas), bukan demi kebenaran yang sejati (dharma).

Setialah pada pencarian dan prosesnya. Jangan mudah puas atas hasil yang didapatkan sekarang. Dengan begitu, prinsip dan konsep Islam (kedamaian dan keselamatan) yang sejati akan ditemui.

Sedangkan untuk bagaimana itu bisa terwujud, maka hendaknya seseorang mempraktikkan ajaran Islam yang hakiki. Artinya, dengan kesadaran diri ia sudah menyadari bahwasannya ketika memutuskan untuk memeluk ajaran Islam maka yang harus dipahami adalah tidak lagi menjadi kafir dan kufur. Adapun kafir dan kufur yang dimaksudkan di sini adalah makhluk yang sekehendak hatinya mengikuti apa pun yang ia inginkan saja. Dan ketahuilah, bagi orang kafir dan kufur itu sungguh tak ada lagi aturan atau tuntunan baginya, dan Tuhan pun memberikan kebebasan baginya di dunia ini sepuasnya – makanya dia bisa sukses, populer, dan kaya raya melebihi yang lain. Sebaliknya, orang Islam itu adalah hamba yang selalu terbelenggu. Artinya, ia telah sepenuhnya bersedia mengikuti hukum dan aturan Tuhan meskipun terasa berat. Tak ada lagi kebebasan yang mutlak, dan tak ada pula akal-ukil atau kreativitas nyeleneh dalam menjalankan syariat agama. Tak ada juga pertanyaan dan sikap yang mengeluh, sebab ia pun memahami bahwa apa saja yang Tuhan perintahkan atau larangkan adalah yang terbaik baginya. Tugasnya hanya sebatas patuh mengikuti dan berserah diri Kepada-NYA saja.

Islam itu tak pernah ada masalah dengan ajaran-ajaran lainnya, itu terserah mereka. Karena yang terpenting adalah tentang bagaimana kaum Muslimin itu bisa mengikuti hakikat ajaran Islam yang sejati, yang penuh dengan kedamaian dan keselamatan.”

Sebab, Islam itu adalah tuntunan yang universal dan kehadirannya sudah ada sejak awal kehidupan manusia di atas Bumi ini. Seiring zaman berganti, maka detail-rincian hukum dan aturannya (syariat) dapat berubah, namun esensi dan inti ajarannya tetaplah sama. Yakni sebagai jalan untuk mengantarkan seseorang menuju pada kedamaian dan keselamatan hidup. Hanya saja perlu dengan catatan bahwasanya Islam itu bukanlah sebatas mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan sholat, puasa, zakat dan ibadah haji semata, melainkan penyerahan diri sepenuhnya kepada SANG KHALIK dengan tanpa pamrih dan tedheng aling-aling. Harus dengan penuh kesadaran untuk melakukan semuanya atas dasar pengabdian dan cinta Kepada-NYA. Karena jika hanya sebatas ritual-seremonial belaka – apalagi diiringi pamrih dan tedheng aling-aling, maka tak ada artinya semua itu. Bukannya mendatangkan kebaikan atau pahala, karena dapat berujung pada masalah dan dosa.

Catatan: Tidak bisa dipungkiri, bahwa seiring waktu sejak kepergian Nabi Muhammad  ﷺ , praktik dan pemahaman ajaran Islam telah jauh bergeser. Kini semuanya hanya diukur lewat materi dan untung rugi semata. Sebagian besar umat pun tak sudi menjalankan syariat agama yang sesuai dengan semestinya, di tambah lagi dengan adanya banyak oknum yang memanfaatkan dalil agama untuk kepentingan pribadinya, khususnya ekonomi dan popularitas. Mereka gemar memperjual belikan agama selayaknya barang dagangan di pasar. Hal inilah yang terus menimbulkan persoalan di banyak tempat selama berabad-abad. Bahkan lantaran itu pula sering terjadi pertikaian dan pertumpahan darah yang menyedihkan. Sehingga di dalam Al-Qur’an sampai terdapat larangannya:

وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

Janganlah kamu menukarkan (memperjualbelikan) ayat-ayat-KU dengan harga yang rendah (murah), dan hanya kepada AKU-lah kamu harus bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 41)

Lebih dari itu, hidup ini tidak berakhir sampai pada kesuksesan atau kebahagiaan duniawi semata, bukan pula demi pangkat-derajat dan popularitas. Kenikmatan materi-duniawi pun bukanlah tujuan utama yang harus dipenuhi – secara mati-matian atau berlebihan – selama hidup di atas dunia ini. Bahkan sebenarnya Surga pun tidak pula menjadi tujuan bagi setiap hamba yang beriman. Hanya dengan bisa kembali Kepada-NYA sajalah hidup ini akan benar dan menyelamatkan. Itulah kebahagiaan yang sejati, yang terpenuhi hanya dengan ber-Islam secara kaffah (menyeluruh, totalitas).

Untuk itu perhatiankanlah di sekitar kita saat ini, di seluruh dunia, berapa banyakkah orang Islam yang sesuai dengan semestinya? Berdasarkan uraian di atas, sejauh manakah kaum Muslimin sudah menyadari dan kekeh menjalankan hakikat Islam dalam kehidupan sehari-harinya? Sebab hanya dengan mengikuti hukum dan aturan Islam secara kaffah (menyeluruh, totalitas) barulah mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan. Terlebih nanti akan datang masa pemurnian total di seluruh dunia ini, maka yang bisa selamat atau diselamatkan hanya bagi yang sudah ber-Islam secara murni. Bukanlah Islam yang berujung hanya pada materi dan ritual ibadah yang tanpa arti.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 14 Mei 2024
Harunata-Ra

(Cuplikan dari buku “Diri Sejati”, karya: Harunata-Ra)

Bonus instrumental:

Tinggalkan komentar