Istidraj : Pintu Datangnya Azab Besar

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Berhati-hatilah dalam hidup ini, teruslah bersikap waspada! Sebab orang kafir, musyrik, ahli maksiat, orang zalim, munafik, dan lain-lain seumpama mereka, dalam kehidupan dunia ini selalu mendapatkan berbagai kemewahan. Merekalah yang memiliki sebagian besar kekayaan dunia ini. Mereka juga memiliki ilmu pengetahuan dan pengaruh yang menjadikan mereka berkuasa. Mereka juga menguasai bidang-bidang keahlian, kesenian, dan lain-lain. Kumpulan manusia yang beriman pula terdiri daripada mereka yang lemah, tidak berpendidikan tinggi, dan berkedudukan rendah dalam masyarakat. Kemewahan dan kesenangan yang dimiliki oleh mereka yang tidak beriman ini memesonakan sebagian orang-orang yang lemah imamnya. Mereka tidak dapat membedakan karunia yang mengandung nikmat (rahmat) dan karunia yang telah dicabut nikmat daripadanya.

Catatan: Kafir dan musyrik tidak hanya berlaku untuk orang non Muslim, tetapi juga yang katanya Islam namun cuma sebatas KTP nya saja. Mereka tidak mengerjakan kewajiban agama sebagaimana mestinya. Senang melanggar hukum dan aturan (syariat) namun seolah-olah ia tetap beriman. Sehingga mereka ini pun layak disebut golongan munafiqun.

Nah, karunia yang tidak mengandung nikmat itu dinamakan istidraj[1]. Istidraj bermakna karunia yang dihulur terus menerus kepada ahli maksiat. Karunia yang seperti ini membuat ahli maksiat bertambah lalai dan bertambah durhaka kepada Tuhan. Apabila kelalaian dan kedurhakaan mereka telah melampaui batas, maka Yang Maha Kuasa pun mendatangkan bala’ yang besar kepadanya. Mereka adalah umpama orang yang diangkat ke tempat yang tinggi sambil mereka menganggap bahwa pengangkatan itu sebagai satu kemuliaan, namun setelah mereka berada di tempat yang tinggi itu mereka pun dicampakkan ke bawah. Kejatuhan yang demikian memberi kesakitan yang teramat sangat dan memilukan.

[1] Istidraj artinya pembiaran. Yaitu pembiaran karena tidak mau berhenti melakukan hal-hal yang memalukan (maksiat). Istidraj ini sebenarnya merupakan peringatan keras dari Tuhan. Selain itu, istidraj juga merupakan pembiaran kenikmatan oleh Tuhan kepada hamba-NYA yang durhaka sebagai ujian atau hukuman.

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ

Kemudian apabila mereka melupakan apa yang telah diperingatkan mereka dengannya, Kami bukakan kepada mereka pintu-pintu segala kemewahan dan kesenangan, sehingga apabila mereka bergembira dan bersukaria dengan segala nikmat yang diberikan kepada mereka, Kami timpakan mereka secara mengejutkan (tiba-tiba dengan bala bencana yang membinasakan), maka saat itu mereka pun berputus asa.” (QS. Al-An’aam [6] ayat 44)

Nah, ayat di atas memberi peringatan kepada kita agar jangan terpedaya dengan karunia yang terus menerus kita peroleh sedangkan kita terus juga tidak berbuat taat kepada Sang Pencipta. Dan sebaliknya kita asyik dengan kemaksiatan dan kekufuran. Sekiranya karunia itu turun melalui saluran istidraj, kesudahannya kita akan mengalami kejatuhan dan penderitaan yang amat sangat. Sungguh ini adalah kerugian dan kecelakaan yang besar.

Gambar 1. Foto: Bencana tsunami Aceh tahun 2004 yang menelan korban jiwa sebanyak ±230.000 orang.

Untuk itu waspadalah! Karena Tuhan senantiasa mengirimkan peringatan untuk mengajak manusia kembali ke Jalan-NYA. Biasanya peringatan yang datang itu bersamaan dengan kesusahan yang menekan jiwa agar manusia insaf dan mau kembali kepada-NYA dengan merendahkan diri. Di dalam masa kesusahan itu biasanya manusia menjadi insaf dan suka berbakti di Jalan-NYA. Kemudian Tuhan pun menggantikan kesusahan itu dengan kesenangan sebagai ujian untuk memisahkan antara hamba yang benar-benar insaf dengan yang sekedar berpura-pura. Bila kesenangan sudah dirasakan kembali, orang yang tidak teguh imannya akan kembali pada kemaksiatan dan kemunkaran. Mereka memberi alasan bahwa kesenangan dan kesusahan adalah lumrah dalam kehidupan, sebagaimana yang pernah dirasakan oleh nenek moyang mereka, tidak terkait dengan soal beriman atau tidaknya seseorang itu kepada YANG ILAHI. Mereka kembali lalai dalam arus kesenangan duniawi. Dan ketika mereka sedang asyik dalam kenikmatan semu itulah Tuhan pun mendatangkan kebinasaan kepada mereka.

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَبِيٍّ إِلا أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ (94) ثُمَّ بَدَّلْنَا مَكَانَ السَّيِّئَةِ الْحَسَنَةَ حَتَّى عَفَوْا وَقَالُوا قَدْ مَسَّ آبَاءَنَا الضَّرَّاءُ وَالسَّرَّاءُ فَأَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ(95)

Dan Kami tidaklah mengutus seorang Nabi pun kepada suatu kota, (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri. Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta ini mereka bertambah banyak, dan mereka berkata; “Sesungguhnya nenek moyang kami pun telah merasakan penderitaan dan kesenangan.” Maka Kami timpakan siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-A’raaf [7] ayat 94-95)

Sungguh, apabila siksaan dan kebinasaan dari YANG KUASA datang, tidak ada siapapun yang dapat menolaknya dan tidak ada pula yang mampu menanggungnya. Orang yang menerimanya menjadi bingung, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka juga tidak diberitahu kepastian akan masa itu, bahkan yang dijanjikan itu akan datang kepada mereka secara mengejutkan (tiba-tiba), dan hal itu jelas sangat membingungkan mereka. Sehingga mereka tidak akan berdaya menolaknya, dan tidak akan diberi jalan untuk selamat dan bertobat.

Ya. Sudah banyak kaum-kaum yang dibinasakan melalui saluran istidraj. Lihatlah Fir’aun dan Namrud telah diberi waktu yang panjang untuk hidup di dalam kesenangan, kemewahan, dan keseruan. Kemudian Tuhan datangkan azab dengan singkat. Fir’aun ditenggelamkan di dalam laut dan Namrud dibinasakan oleh seekor nyamuk. Qorun juga dibinasakan ketika asyik dengan kekayaannya. Begitu juga dengan kaum-kaum Nabi Nuh عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ , Nabi Hud عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ , dan Nabi Luth عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ . Semuanya telah dibinasakan bersama dengan azab yang besar. Sebaliknya, orang-orang yang beriman senantiasa mengawasi diri mereka sendiri agar kesenangan dan kemewahan duniawi tidak sampai melalaikan dan menyebabkan mereka jatuh ke dalam suasana istidraj.

Gambar 2. Ilustrasi azab yang menimpa kaum Nabi Luth عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ (Sadum)

Namun sayang, kini bisa kita saksikan dimana-mana seseorang justru tidak menyadari sudah tenggelam di dalam istidraj. Contohnya, mereka memiliki adab yang buruk namun balasannya diperlambat, lalu dia pun menyangka sekiranya adabnya itu adalah buruk tentulah Tuhan sudah memutuskan anugerah dan pastilah dia akan dijauhkan. Padahal ketahuilah bahwa adakalanya rahmat Ilahi telah diputuskan tetapi seseorang tidak menyadarinya. Sekiranya tidak ada karunia baru itu pun merupakan putus anugerah. Ada kalanya seseorang telah dijauhkan tetapi dia sendiri tidak menyadarinya, meskipun hanya dijauhkan dengan cara membiarkannya menurut sangkaannya sendiri.

Tidak perlu heran jika nanti, tidak lama lagi, azab dan bencana yang maha dahsyat melanda Bumi ini. Semuanya akan dimurnikan secara total. Sebab dimana-mana sudah terjadi kerusakan yang nyata. Manusia yang seharusnya menjadi pemimpin yang patut untuk diikuti, justru berbuat yang tak sepatutnya. Duniawi telah sangat memperdayainya, menghilangkan akal pikiran hatinya.

Makanya seorang murid yang berjalan pada jalan keruhanian supaya menghilangkan gejala istidraj itu agar tidak menimpanya ketika dalam perjalanan. Bagi orang awam, maka tidak bersyukur dengan karunia Ilahi dapat menyebabkan tersingkirnya rasa nikmat yang mengiringi karunia tersebut. Namun bagi orang Mukmin, di samping bersyukur maka adalah penting baginya untuk memelihara adab (sopan santun, tata krama) kepada-NYA. Mungkin anjuran untuk beradab (sopan santun, tata krama) Kepada-NYA terdengar janggal bagi orang awam, tetapi bagi mereka yang terus mendekati-NYA, mereka dapat merasakan Kehadiran-NYA pada setiap masa dan di mana saja. Apabila seseorang itu meyakini bahwa Tuhan senantiasa bersamanya walau di mana pun dia berada, YANG ILAHI juga mendengar ucapan dan bisikan hatinya, maka dia berkewajiban memelihara adab (sopan santun, tata krama) sebagai hamba yang berdiri di hadapan Tuhannya. Bertambah hampir seseorang Dengan-NYA, bertambah pula tuntutan adab (sopan santun, tata krama) ke atasnya. Perjalanan menuju YANG ILAHI bukanlah perjalanan mencari kemuliaan yang sama dengan kemuliaan duniawi atau pun ukhrawi. Perjalanan ini adalah tindakan menghinakan diri di hadapan SANG PENCIPTA, karena hina, lemah dan jahil adalah sifatnya makhluk, hanya DIA-lah Yang Mulia, Yang Berkuasa dan Yang Mengetahui. Sekalian makhluk hanya mampu berkehendak kepada-NYA dan DIA Maha Kaya, tidak berkehendak kepada sesuatu apa pun.

Sehingga adab (sopan santun, tata krama) yang paling utama dijaga adalah yang menyentuh keyakinan bahwa DIA adalah Tuhan sekalian alam, Maha Bijaksana dan Maha Mengerti dalam urusan menghendaki dan mengurusi penghidupan sekalian makhluk yang diciptakan-NYA. Seorang hamba hendaklah yakin kepada kebijaksanaan Tuannya. Terserah kepada Tuannya untuk memilih layanan yang hendak diberikan kepada si hamba itu. Dan seorang yang mengaku sebagai hamba Tuhan tidak seharusnya membeberkan hajat keperluannya. Bukankah DIA Maha Mengerti dalam mengatur keperluan setiap hamba-NYA. Seorang hamba berdiri di hadapan Tuannya tanpa mengemukakan tuntutan, tanpa sembarang kehendak, cita-cita dan alasan. Ridho dengan perlakuan Tuannya itulah sifat dari hamba yang sejati.

Namun seorang murid yang sedang dalam perjalanan masih belum teguh sifat ridhonya terhadap takdir Ilahi. Karena itulah dia cenderung untuk membeberkan hajatnya kepada-NYA, seolah-olah DIA tidak pernah melihat keadaannya. Banyaklah permintaannya kepada SANG PENCIPTA tanpa rasa malu. Dia pun meminta agar YANG KUASA melepaskannya dari sesuatu yang tidak disenanginya tanpa berpikir bahwa yang tidak disenanginya itu mungkin mendatangkan kebaikan baginya. Dia juga meminta didekatkan kepada-NYA karena dia merasakan dirinya sudah layak didekatkan. Dia telah meminta kekeramatan agar orang banyak mengakui kebenarannya. Tuntutan-tuntutan yang demikian menunjukkan tiadanya adab (sopan santun, tata krama) seorang hamba kepada Tuhannya, yang sempurna Pengertian-NYA dan sempurna juga Pembagian-NYA.

O.. Walaupun si hamba itu sudah tidak beradab (sopan santun, tata krama) di hadapan YANG ILAHI, mungkin dia tidak dihukum dengan serta-merta. Ini membuat si hamba tadi justru menyangka bahwa tiada salah pada adabnya. Ini menandakan kejahilannya dan terjebak di dalam istidraj. Dia tidak sadar bahwa kurang beradab itu sudah merupakan balasan terhadapnya. Lebih buruk lagi dia tidak dikarunai pengalaman keruhanian (spiritual) yang lebih mendalam, sehingga kehidupannya pun menjadi hampa tak berarti. Apabila dia menghentikan sikap penyerahan diri secara total kepada Tuhan, maka putus juga perjalanannya mendekati-NYA. Tetapi lucunya dia masih menyangka bahwa dirinya masih terus mendekati-NYA. Apabila ia dibiarkan menurut sangkaannya itu, maka hal tersebut sama dengan sedang dijauhkan tanpa dia menyadarinya.

Gambar 3. Foto: Kerusakan akhlak bangsa Arab.

Ya. Begitulah hebatnya dampak dari tidak menjaga adab (sopan santun, tata krama) kepada YANG ILAHI. Jika seorang murid tidak mau putus adabnya dengan SANG PENCIPTA, maka hendaklah dia mendekati-NYA dengan kesabaran. Pintu kesabaran adalah pintu yang paling hampir untuk masuk ke Hadirat ILAHI. Sedangkan asahan yang paling kuat untuk mempertajamkan kesabaran ialah ucapan: “Wahai Tuhanku. ENGKAU berbuat sesuatu sebagaimana yang ENGKAU kehendaki.” Dan para hamba Tuhan yang sampai kepada ujung perjalanan mereka dikaruniai menetap dengan salah satu dari dua hal, yaitu berkhidmat kepada-NYA atau fana dalam mencintai-NYA.

Adapun para hamba yang ditentukan untuk berkhidmat kepada-NYA terdiri dari dua golongan. Golongan pertama adalah ahli akhirat yang mencapai maqom Mukmin dan golongan kedua adalah ahli ILAHI yang diserapkan oleh hal[2] Abid[3] dan Zahid[4]. Adapun para Mukmin adalah tentara-NYA yang berjuang menegakkan syariat dengan bersenjatakan kesabaran. Mereka tidak berhenti-henti ber-jihad di Jalan-NYA, menegakkan syariat-NYA dan memerangi nafsunya sendiri. Ahli jihad tersebut tidak takut mati, karena mereka telah melihat kematian dalam jihad adalah mati syahid, sementara keringat dan darahnya digantikan dengan kemuliaan yang maha indah. Para Mukmin, yakni ahli jihad yang teguh dalam kesabaran adalah para hamba pilihan yang didekatkan.

[2] Hal merupakan sebuah pemberian dari Tuhan. Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh usaha manusia. Selain itu, hal adalah keadaan-keadaan spiritual tertentu berupa perasaan kedekatan Dengan-NYA.
[3] Abid berasal dari kata bahasa Arab yaitu ‘abada yang artinya menyembah, merendahkan diri, khidmat, dan taat. Sehingga Abid itu berarti orang yang menyembah Tuhan dengan merendahkan diri dan berkhidmat serta taat kepada-NYA.
[4] Zahid adalah orang yang telah memalingkan dan meninggalkan sesuatu yang dicintai, yaitu kemewahan material atau duniawi, dengan harapan akan keberadaan atau kebahagiaan yang lebih baik dan spiritual di akhirat.

Adapun para Abid dan Zahid adalah hamba-hamba yang telah melampaui maqom sabar dan masuk kepada maqom ridho lalu menjadi hamba-hamba pilihan dan dimuliakan. Maqom Abid dan Zahid sangat mulia di Sisi-NYA karena mereka telah berada dalam posisi sabar dan tidak melakukan sembarang pekerjaan kecuali beribadah kepada-NYA secara murni, menaati sekalian Perintah-NYA dengan keikhlasan sejati tanpa mengharapkan balasan. Mereka tidak melihat kepada amal perbuatan mereka tetapi melihat ibadah itu sebagai karunia dari YANG ILAHI yang sangat berharga. Semakin banyak amal ibadah yang bisa mereka lakukan, maka semakin kuatlah rasa syukur (tasyakur), berserah diri (tawakal), dan sikap rendah hati (tawadhuk) mereka. Hati mereka tidak lagi diganggu oleh tarikan dunia dan rangsangan syahwat. Jika para Mukmin biasa diibaratkan sebagai orang yang menanam pohon karena mengetahui pohon tersebut akan mengeluarkan buah yang lezat rasanya, maka seorang Mukmin yang Abid dan Zahid diibaratkan sebagai orang yang teguh dan rajin menyirami pohon tersebut supaya ia bertambah subur.

Selain itu, ada pula dari kalangan Mukmin yang ditentukan untuk mencintai-NYA dengan sangat murni. Sedangkan Cinta-NYA adalah sesuatu yang sangat sulit untuk diuraikan. Terlalu sedikit para hamba yang dipilih untuk memilikinya. Nah golongan yang sedikit itu adalah para Anbiya (Nabi) dan Aulia (Wali) yang agung. Jika ingin memahami maksud dari Cinta-NYA, maka selamilah ucapan mereka yang sedang asyik dalam kecintaan tersebut. Dan pecinta-NYA yang paling agung, yaitu Nabi Muhammad  ﷺ  pernah mengucapkan:

Sekiranya diletakkan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku dengan menyuruh aku menghentikan dakwah yang aku lakukan, niscaya tidak akan aku berhenti, melainkan  Alloh ﷻ  membinasakan ku atau memenangkan ku!
Tidak aku hiraukan walaupun sekalian makhluk-MU memusuhiku asalkan ENGKAU tidak murka kepadaku“.

Ya. Cinta-NYA adalah pengalaman keruhanian yang sangat nyeni dan aneh. Para hamba yang dianugerahi pengalaman tersebut sudah terlebih dahulu melatihkan dirinya selama berpuluh tahun. Mereka berjuang tanpa henti dalam menentang nafsu dan cita-cita yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Mereka mencarinya dalam ketaatan dan sopan santun terhadap-NYA. Orang yang mencintai-NYA goib dalam melihat-NYA sehingga tidak sadar lagi terhadap apa saja yang selain-NYA. Fanalah dia dari dirinya sendiri dan sekalian alam maujud. Dia tidak dapat membedakan antara sakit dengan sehat,  senang dan sedih, emas dengan tanah kering.

Sungguh, orang yang dikuasai oleh Cinta-NYA tidak merasa apa-apa walaupun kepalanya dipancung. Seperti Abu Mansur al-Hallaj (858-922 M)[5] yang tersenyum dan tertawa ketika disalib. Kemudian kaki dan tangannya dipotong, matanya dicungkil, lidahnya dikerat, dan akhirnya kepalanya pun dipancung. Cinta-NYA yang menguasai dirinya menghilangkan ketakutan dan kesakitan. Saat kakinya dipotong, dia menyaksikan kaki ruhnya bebas berjalan menuju Tuhannya. Saat tangannya dipotong, dia menyaksikan tangan ruhnya bebas mencapai Tuhannya. Saat matanya dicungkil, dia menyaksikan mata ruhnya lebih terang memandang kepada Tuhannya. Saat lidahnya dikerat, dia menyaksikan lidah ruhnya semakin fasih berkata-kata dengan Tuhannya. Dan saat kepalanya dipancung, dia pun merdeka sepenuhnya untuk “bersanding” dengan Tuhannya.

[5] Abu Mansur al-Hallaj adalah seorang mistikus Persia, penyair, dan guru Sufisme. Ia terkenal karena perkataannya: “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Ḥaqq), yang dianggap oleh banyak orang sebagai klaim ke-Ilahi-an alias mengaku sebagai Tuhan, sementara yang lain menafsirkannya sebagai contoh dari penghancuran ego, membiarkan Tuhan berbicara melalui dia. Sosok Al-Hallaj memperoleh banyak pengikut sebagai seorang pengkhotbah sebelum ia terlibat dalam perebutan kekuasaan di istana Abbasiyah di kota Baghdad dan dieksekusi setelah lama dipenjara atas tuduhan agama dan politik. Meskipun sebagian besar guru sufi sezamannya tidak menyetujui tindakannya, Al-Hallaj kemudian menjadi tokoh utama dalam tradisi Sufi.

Golongan pencinta ILAHI adalah tetamu-NYA yang dimuliakan. Mereka disajikan dengan beragam hidangan yang tidak pernah dinikmati oleh golongan lain. Merekalah yang dapat merasakan buah dari pohon yang ditanam oleh golongan Mukmin dan dijaga oleh golongan Abid dan Zahid. Daya rasa mereka tidak lagi serupa dengan daya rasa manusia biasa.

Untuk itu, jika diselami benar-benar maka akan didapati bahwa Cinta ILAHI sebenarnya tidak dimiliki oleh siapa pun tetapi Cinta-NYA itulah yang menawan hati seseorang. Cinta-NYA itu menguasai bukannya dikuasai. Cinta-NYA menarik seseorang ke dalam kefanaan dari dirinya dan segala-galanya lalu masuk ke dalam tauhid hakiki. Adapun syarat bagi seseorang untuk layak menanggung Cinta-NYA adalah seandainya semua harta yang ada di dalam perut Bumi dikeluarkan dan diberikan kepadanya, dia menolak demi Wajah-NYA. Hati yang sanggup berbuat demikian akan layak menerima Cinta-NYA. Orang yang benar-benar mabuk dalam percintaan yang murni tidak ingat akan harta dan dunia ini, bahkan dirinya sendiri.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 08 Mei 2024
Harunata-Ra

(Cuplikan dari buku “Diri Sejati”, karya: Harunata-Ra)

Bonus intrumental:

Tinggalkan komentar