Mandito Ratu : Prinsip Utama Kehidupan

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Jika melihat kondisi saat ini, banyak orang yang mengincar jabatan, kehormatan, dan popularitas tanpa pandang bulu dan rasa malu. Mereka pun sampai menjadikannya sebagai tujuan utama dalam kehidupan ini. Bahkan segala cara bisa di lakukan untuk mencukupi hal-hal yang sifatnya keduniawian itu (semu, sementara) dan tidak menghiraukan sesuatu yang justru sifatnya lebih indah dan abadi.

Nah, di antara tahap kehidupan yang dimiliki oleh bangsa Nusantara, khususnya di tanah Jawa, adalah Mandito Ratu. Hanya saja tak banyak yang memahami arti sebenarnya dari prinsip utama tersebut. Alasannya karena memang tidak memiliki informasi yang cukup tentang hal itu, atau justru merasa tidak punya pertapaan-padepokan dan juga tak biasa ber-tapa brata. Juga tidak punya cantrik (asal kata santri yang berarti murid), apalagi kesatria yang di tengah malam datang menghadap untuk minta di-wejang seperti dalam kisah pewayangan. Dan juga berpikir masih harus tetap mencari sesuap nasi untuk keluarga. Bahkan dengan alasan belum pernah menjadi pemimpin.

Padahal, sesungguhnya Mandito itu artinya seorang pribadi yang tidak pernah meninggalkan Tuhannya dalam setiap gerak-gerik tubuh dan helaan nafasnya. Dia menjalankan perintah dan amanah kehidupan ini dengan ikhlas dan selalu meminta bimbingan dari Sang Penciptanya. Tidak pernah ada ego pribadi, karena semuanya telah ia serahkan kepada-NYA. Sementara Ratu itu merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang lantaran ia pantas menjadi pemimpin tertinggi. Nah gelar Ratu itu, awalnya digunakan di tanah Jawa pada masa kerajaan Gumpala yang berdiri pada tahun 2863-2420 sebelum Saka (2783-2342 SM). Istilah ini berasal dari kata “Ra” yang berarti cahaya Ilahi, dan “Tuh” yang artinya bijaksana. Sehingga gelar Ratuh itu bermakna pemimpin yang bijaksana karena menerima cahaya Ilahi (mendapatkan bimbingan Tuhan). Gelar ini lalu menjadi gelar yang dipakai secara resmi di tanah Jawa oleh para pemimpin di masa seterusnya, dengan sedikit perubahan (menjadi Ratu).

Catatan: Dari penjelasan di atas, bukankah makna dari Mandito dan Ratu itu merupakan bagian dari inti ajaran agama? Artinya, keduanya pun bisa dijalankan oleh setiap pribadi tanpa melihat latar belakangnya, bahkan memang seharusnya ditunaikan seumur hidup.

***

Tambahan info: Khusus untuk gelar Ratu, maka bisa kami tambahkan sedikit. Dimana gelar tersebut tidak berarti seorang wanita, karena kenyataannya justru lebih banyak laki-lakinya. Bahasa di zaman ini saja yang mempersempit maknanya. Tentang pelantikannya, maka para leluhur kita sudah menerapkan demokrasi kekuasaan yang khas dari bangsa sendiri. Contohnya dulu sudah ada sistem pemilihan tingkat desa untuk memilih seorang Rama. Ia dipilih oleh seluruh warga desa untuk menjadi kepala desa. Sedangkan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Rama adalah bahwa dia haruslah sosok yang cerdas, berwawasan luas, bijaksana, dan sakti mandraguna.

Lalu, para Rama yang ada di suatu wilayah akan memilih seorang kepala Wisaya atau setingkat kecamatan di masa sekarang. Kepala Wisaya ini bergelar Buyut. Selanjutnya, para Buyut yang ada akan memilih seorang kepala wilayah seluas satu kawedanan atau kabupaten yang disebut dengan ke-Raka-an. Dia yang terpilih disebut pula dengan gelar Raka atau Rakai. Nah selanjutnya ditingkat Raka ini maka tak ada lagi pemilihan. Seorang Raka akan dilihat tentang sebatas mana ia bisa menyatukan atau menaklukkan Raka-Raka yang lainnya. Jika ia bisa menyatukan wilayah-wilayah Raka yang lain, maka ia pun mendapatkan gelar baru yang disebut RA-TUH atau DHA-TUH (asal kata gelar Ratu dan Datu). Dialah pemimpin tertinggi di sebuah negara atau kerajaan yang berdaulat.

Catatan: Pada masa lalu seorang Rama itu haruslah sosok yang mempunyai daya kesaktian. Sehingga jika ia wafat, maka akan dimakamkan di ujung desa dan disebut dengan Punden Karamat (Ka-Rama-tan). Inilah asal kata “keramat” yang kita gunakan sekarang. Sementara jika Buyut yang wafat, maka dia pun akan dimakamkan di suatu tempat tertentu dan disebut sebagai Punden Kabuyutan (Ka-Buyut-an).

Dan dalam sejarah kita pun mengenal nama-nama tokoh besar seperti Rakai Panangkaran, Rakai Pikatan, dan Rakai Garung. Meskipun ia seorang raja, maka gelar Rakai sangat melekat pada dirinya. Itu disebabkan mereka dulu pernah sangat berprestasi selama masih menjadi seorang Raka. Makanya terkenal pula dalam sejarah kerajaan Medang dimana sang pendirinya sendiri memakai gelar abhiseka sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Gelar Rakai tetap dipakai karena ia dulunya memang seorang Raka yang berhasil menyatukan para Raka yang lainnya sehingga mendapat kedudukan sebagai Ratu dan mendirikan kerajaan Medang.

Selain itu, di tanah Jawa pada masa lalu,  setiap Ratu-nya bisa memimpin dan atau mendirikan kerajaan hanya setelah ia mendapatkan Wahyu Keprabon. Mustahil baginya untuk menduduki tahta jika tak memperoleh itu dulu. Dan setiap pribadi yang menerima Wahyu Keprabon, maka sudah pasti dialah yang terbaik karena telah sesuai dengan kehendak “Langit”. Terlebih ia pun sudah mendapatkan wahyu-wahyu yang lainnya sebagai modal kepemimpinan.

***

Untuk itu, jika sang Ratu adalah penguasa tertinggi sebuah negara dan berumah tinggal di kraton (ke-Ratu-an), maka dalam batas tertentu seorang Pandito (sosok yang Mandito) bisa menjadi siapa saja dan tinggal dimana saja namun tetap sangat dihormati. Makanya seorang Pandito itu sebenarnya merupakan Ratu (Raja) dalam bentuk dan struktur kekuasaan yang lain. Ia pun tak mau dikratonkan. Sebab, telah punya kratonnya sendiri, yakni kadewaguruan (padepokan) yang dihuni bersama para cantrik (murid) – itu pun kalau ada, dan bukanlah kewajiban.

Dengan kata lain, wilayah kekuasaan Pandito itu adalah dunia pendidikan-moral-spiritual. Dan sebagai sebuah sistem yang tersendiri, maka kadewaguruan (padepokan) itu punya otonomi penuh. Bagaimana strategi dan cara-cara sang Resi-Begawan-Pandito memerintah wilayahnya, maka Ratu tak bisa campur tangan. Pendek kata, sosok Pandito itu bebas merdeka. Bahkan untuk urusan pendidikan-moral-spiritual, ia adalah raja (panutan) bagi sang Ratu. Makanya bila kedaulatan Pandito sampai dilanggar, suara Pandito tak lagi didengarkan oleh sang Ratu, maka itu pertanda bahwa kraton-kerajaan sudah berada dalam ambang kehancuran. Dan hal ini pernah terjadi pada waktu menjelang keruntuhan kerajaan Kadiri. Dimana Raja Kertajaya sudah melecehkan kaum Brahmana dan para Wiku, dengan meminta mereka semua untuk memujanya sebagai Tuhan.

Catatan: Agar tidak bingung, maka Pandito itu adalah sosok pribadi orangnya atau gelar yang disematkan kepada seseorang. Sedangkan Mandito itu lebih kepada perilaku khusus yang sedang dijalankan seseorang untuk mencapai kesempurnaan.

Ya, dunia Pandito dan Ratu memang terlihat berbeda. Corak kekuasaan Pandito pun tidak sama dengan kekuasaan dari sang Ratu. Namun justru pemisahan kekuasaan Ratu dan Pandito adalah ibarat pemisahan antara badan dari ruhnya. Ratu adalah badan, sementara Pandito itu adalah ruh. Sehingga dalam kaitan ini, seseorang tak bisa mengatakan yang satu lebih penting dari pada yang lain, atau memiliki salah satunya saja cukup. Sebab akan pincang jalan hidupnya. Dan benar, bahwa peran dari Pandito-Ratu bisa saja hadir dalam satu sosok pribadi yang sama. Dialah yang terbaik dan memang terpilih.

Hanya saja itu takkan mudah, dan bisa terwujud ketika ada seorang yang telah Mandito Ratu sebelumnya, tanpa pamrih dan tedheng aling-aling. Bukannya justru seperti anggapan mayoritas selama ini, yaitu harus menjadi pejabat tinggi dulu barulah bisa Mandito Ratu. Dengan kata lain, Mandito Ratu ini merupakan sebuah laku batin ketika kebutuhan untuk hidup asketik (latihan dan praktek rohaniah dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa) dirasa telah tiba saatnya untuk dipenuhi. Sehingga bisa terjadi kapanpun juga, tak perlu menunggu waktu khusus dulu (pensiun, turun jabatan, dll). Dan laku batin seperti ini lebih merupakan kecenderungan pribadi. Artinya, ia tidak bisa diprogramkan, tidak bisa pula dimassalkan. Dengan kata lain, ini merupakan sebuah panggilan hati yang murni. Namun panggilan tersebut bisa muncul setelah memiliki kesadaran diri yang tinggi.

Catatan: Dalam kisah pewayangan, umumnya pergeseran itu dimulai dari Ratu ke Pandito. Sehingga yang ada ialah Ratu yang lengser kalenggahan (meninggalkan alam ramai) untuk Mandito (menjadi Pandito) dan ia tinggal di lereng-lereng gunung bersama para cantriknya. Hal ini seperti yang terjadi pada sosok Begawan Wiyasa, seorang Pandito sakti kenamaan yang membuat padepokan di Sapta Arga, dimana beliau itu dulunya seorang raja agung di kerajaan Hastinapura. Namun begitu, tak banyak yang tahu bahwasanya sebelum menjadi raja ia telah menjadi seorang Pandito selama puluhan tahun. Sehingga ketika memilih untuk kembali menjadi Pandito setelah puas menjadi raja, hal itu cuma sebagai peran kehidupan yang berputar dan telah disadarinya sejak awal. Sekali waktu Begawan Wiyasa harus menjadi Pandito, lalu menjadi Ratu, dan kembali lagi menjadi Pandito, hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk berpindah dimensi kehidupan dengan jalan moksa.

Hal yang serupa juga terjadi di Nusantara khususnya pada awal-awal tarikh Masehi. Dimana pendiri kerajaan besar seperti Tarumanagara yang bernama Maharesi Jayasingawarman, pendiri kerajaan Indraprahasta yang bernama Maharesi Sentanu, dan pendiri kerajaan Kendan-Galuh yang bernama Resiguru Manikmaya, terlebih dulu Mandito sebelum menjadi Ratu. Hal itu jelas terlihat dari pemakaian gelar Maharesi atau Resiguru pada nama depannya. Mereka bertiga itu awalnya seorang bangsawan di negeri asalnya di tanah India dan memutuskan untuk menjadi Pandito. Lalu karena banyak konflik dan peperangan di negerinya saat itu, mereka pun memutuskan untuk hijrah ke tanah Jawa. Di Jawa, ketiganya diterima sebagai mahaguru kerajaan, bahkan menikah dengan putri sang Raja. Hingga akhirnya bisa mendirikan kerajaannya sendiri. Dan setelah puas dengan jabatannya, ketiganya pun kembali lagi Mandito hingga akhirnya moksa. Begitulah siklus kehidupan yang terbaik.

Jadi intinya, sebelum menjadi pemimpin tertinggi, sebaiknyalah seseorang itu sudah menjalani laku Mandito selama beberapa waktu. Bahkan seharusnya tetaplah Mandito selama hidupnya karena itu bagian dari inti ajaran agama. Hal tersebut untuk tujuan agar dirinya siap lahir batin dalam menempuh jalan kebenaran sejati. Karena memang takkan mudah untuk menjalani tugas dan kewajiban sebagai pemimpin yang terhormat. Terlalu banyak godaan dan ujian yang harus dilalui. Dan bila tak pernah Mandito, maka takkan ada kemuliaan yang semestinya. Apapun itu akan sebatas fatamorgana, dan tak lebih dari sekedar kepura-puraan saja.

Jika seseorang telah meniatkan dalam hatinya untuk Mandito, maka ia pun harus membuang semua khayalannya, dan menanggalkan mimpi-mimpi duniawinya, untuk bisa masuk ke dalam wilayah ke-Tuhan-an yang jauh tetapi dekat, dekat namun sangat jauh. Dan selayaknya seorang pertapa, ia pun tak bisa lagi disamakan dengan masyarakat normal. Alasannya karena telah meninggalkan semuanya dan kembali menjadi diri yang fakir, kemudian bersatu dengan Jagat Raya. Mengapa begitu? Sebab keduanya itulah bapak dan ibu kita yang sesungguhnya. Yang dengan penuh kasih sayang dan kebijaksanaannya akan menuntun ke arah tujuan yang hakiki.

Jadi, pada dasarnya prinsip Mandito Ratu adalah hal yang harus di perhatikan, bahkan wajib di lakukan oleh setiap pribadi. Sebab dengannya pula akan mengantarkan diri menjadi individu yang sempurna dan paripurna. Dan jika itu bisa terwujud, maka tujuan utama hidup di Bumi ini, yaitu menjadi Khalifah, bisa terlaksana. Dampaknya akan jauh lebih baik dan menciptakan kemakmuran.

Catatan: Tulisan ini berkorelasi dengan tulisan sebelumnya yang berjudul Kadewaguruan : Sistem pendidikan leluhur yang gemilang dan 9 Mahaguru Majapahit. Dimana peran dan posisi dari para mahaguru tersebut sama dengan para Pandito yang dijelaskan pada tulisan ini. Mereka sangat dihormati dan hidup berdaulat, sehingga meskipun berada di dalam lingkup wilayah sebuah kerajaan, area tempat tinggalnya sampai tak dikenakan pajak. Biasanya disebut dengan istilah tanah Perdikan atau Sima.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 30 Desember 2022
Harunata-Ra

Bonus instrumental:

 

Tinggalkan komentar