Sahabi (Kesendirian) Yang Membahagiakan

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Banyak hal yang terjadi dalam hidup ini, dan semuanya merupakan bagian dari pilihan yang diambil. Dan setiap pilihan tersebut selalu mengandung konsekuensi yang mengikat walaupun tak langsung bisa dirasakan. Sedangkan dalam setiap lini kehidupan ini akan selalu ada warna-warninya, akan ada pasang surutnya, dan semua itu selalu menuntut kebijaksanaan jika ingin tetap selamat dan bahagia. Tak ada yang bisa menghindar dari hal ini, karena itu adalah bagian dari takdir kehidupan.

Makanya terdapat beberapa pola dan atau cara untuk menempuh jalan kehidupan ini agar sampai ke tujuan yang sejati. Salah satu yang terbaik adalah dengan melakukan sahabi (kesendirian) atau keadaan dalam pengasingan dan isolasi, yaitu kurangnya kontak dengan orang lain. Artinya, sahabi (kesendirian) itu sendiri adalah keadaan dimana seseorang terus mengurangi atau melepaskan dirinya dari ketergantungan atau interaksi dengan orang lain dalam maksud tertentu. Sehingga dengan melakukan sahabi (kesendirian), maka didapatlah sebuah pelajaran utama tentang kemandirian dan bertahan untuk hidup, karena hidup pun harus tetap bergerak, bukan seperti benda mati yang sekedar mengikuti arus air.

Ya. Sesungguhnya sahabi (kesendirian) itu bisa memberi kesempatan kepada siapapun yang mengalaminya untuk segera kembali kepada SANG PENCIPTA dan membangun kemesraan Dengan-NYA. Hal inilah yang terpenting dalam hidup ini, sehingga dilakukan oleh semua Nabi, khususnya sebelum mereka dilantik menjadi Utusan Tuhan. Karena dengan begitu akan terbukalah kesempatan untuk lebih fokus dalam setiap hal di kehidupan ini. Sementara itu, dalam perjalanan untuk kembali kepada-NYA, sahabi (kesendirian) ini akan menjaga diri seseorang dari dosa keji (fahisyah), yakni dosa yang kerap kali dikerjakan bersama-sama. Tidak hanya itu, bila khilaf berbuat dosa, maka dengan ber-sahabi (menyendiri), orang lain akan terhindar dari keburukan dan dosa yang diperbuat. Sebaliknya, ketika sahabi (kesendirian) digunakan sebagai kesempatan untuk kembali lagi kepada YANG ILAHI, maka segenap potensi diri lazimnya terpantik untuk berkarya dan beramal baik. Lalu pada kutub tersebut, kebanggaan terhadap diri – dalam artian positif – tidak akan runtuh, selalu bersemangat. Karena itulah kaum cendikiawan menarik benang merah dengan berkata; “Banyak karya besar yang lahir dari kesendirian“. Dan itu memang terbukti dengan terjilidnya kitab-kitab ilmu pengetahuan yang menakjubkan atau wasiat hidup yang sangat berharga.

Lebih baik sendirian ketimbang dibersamai oleh orang-orang yang secara perlahan mengajak pada sisi gelap dari kehidupan. Sendirilah jika itu bisa membuatmu lebih bahagia. Sendirilah bila itu menjadikanmu lebih bermakna.

Ya. Memang banyak orang yang tak suka dengan kesendirian, lantaran tak sedikit dari mereka itu yang melalui kesendiriannya dengan kesedihan atau kebingungan. Padahal kesendirian itu bisa dilakukan dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan atau bermanfaat. Kesendirian bisa diisi dengan rajin ber-iqro’ dan iqro’ lagi sehingga menambah wawasan dan kecerdasan. Kesendirian juga bisa dijadikan motivasi untuk melangkah jauh ke depan. Kesendirian pun bisa diartikan bahwa seseorang bebas untuk bangkit dan melakukan perubahan besar. Kesendirian juga memberikan ruang untuk bebas menentukan tujuan, berdasarkan apa yang diinginkan tanpa harus mengekor kepada orang lain. Karena saat dalam keadaan sendiri, kita tidak perlu lagi memikirkan orang lain, yang justru hanya menghambat perkembangan.

Selain itu, dengan ber-sahabi (menyendiri) seseorang akan lebih mengerti bahwa dunia ini begitu sempurna untuk dinikmati lewat berbagai cara, tidak hanya dalam satu bentuk yang mainstream (arus utama/umum). Terlebih dengan ber-sahabi (menyendiri) tidak berarti anti sosial, namun hanya menikmati kesendirian lantaran di luar sana terlalu banyak dusta, fitnah, kebencian, kemunafikan, dan angkara murka. Dan orang yang larut dalam kesendiriannya, sebenarnya ia tengah mencari kedamaian yang sudah makin langka. Apalagi kesendirian bukanlah sebuah cela, tetapi waktu yang diberikan Tuhan kepada para hamba-NYA untuk kembali menata hidupnya.

Untuk itu, bila seseorang telah memahami arti dari sahabi (kesendirian) yang sebenarnya dan ia tengah berada di dalamnya lebih lama, maka hidupnya pun terasa indah disaat keramaian tak mampu lagi memberikan kebahagiaan. Dan ketika seseorang asyik ber-sahabi (menyendiri) dengan khusyuk, itu bukan berarti tak ada lagi yang mendekat. Bisa jadi ada yang sengaja ia tunggu, atau ada yang ingin ia capai, atau ada pula sesuatu yang sedang dicarinya untuk bisa dipahami lebih detail dan mendalam. Sebab di antara kesendirian dan kehampaan, maka ada cahaya terang yang dapat menunjukkan arah. Itulah yang sangat berarti namun tak dihiraukan lagi oleh mayoritas penduduk Bumi.

Kesendirian bukanlah sendiri. Sebab di luar sana, banyak yang sudah berduaan namun tetap merasa sendirian.”

Makanya terdapat perbedaan antara sahabi (kesendirian) dan merasa sendiri. Jika ber-sahabi (menyendiri) dapat mengakibatkan seseorang bisa memperoleh banyak arti dalam kesadaran, maka merasa sendiri adalah waktu hidup yang diisi hanya dengan kesepian dan rasa bosan. Sehingga terkadang kesepian itu pun memerlukan kesendirian untuk bisa menemukan ketenangan dan pencerahan yang bermakna. Lebih dari itu, sahabi (kesendirian) pun dapat menjadi sarana yang efektif untuk lebih memurnikan energi kehidupan dan menguatkan daya cipta seseorang. Sebab kemapanan yang ditimbulkannya dapat menstimulasi pikiran kreatif dan membangkitkan gairah hidup yang tinggi.

Sehingga, ketika seseorang memilih jalan sahabi (kesendirian), maka itu adalah pertanda kecerdasannya memang ada. Karena pada saat yang sama Tuhan akan menjadi teman akrab dan pendampingnya dalam menjalani hari-hari keterasingan itu. Dan sadarilah bahwa jika tanpa memiliki sahabi (kesendirian) bersama Tuhan, maka sangatlah tidak mungkin untuk dapat hidup dalam kebatinan (suatu kehidupan yang bersifat ruhani) yang paripurna (lengkap). Sahabi (kesendirian) itu adalah untuk memberikan waktu dan tempat bagi YANG ILAHI berbicara kepada kita. Seterusnya, jika kita benar-benar percaya bahwa bukan hanya Tuhan itu Ada tetapi juga percaya bahwa DIA hadir secara aktif dalam kehidupan kita – menjaga, memelihara, mengajar, menyembuhkan, dan memimpin – maka kita perlu meluangkan waktu dan tempat secara khusus untuk memberikan perhatian penuh kepada-NYA. Hal ini bahkan wajib dilakukan jika memang menginginkan keistimewaan dan pencapaian hidup yang memuaskan.

Manusia memang makhluk sosial, tak bisa hidup tanpa orang lain, namun terkadang sahabi (kesendirian) itu perlu. Sebab kesendirian (sahabi) adalah sisi hidup yang sama pentingnya dengan kebersamaan.”

Oleh sebab itu, memberikan waktu untuk ber-sahabi (menyendiri) bersama Tuhan merupakan hal yang sangat penting, tetapi juga merupakan disiplin yang paling sulit. Meskipun kita memiliki kerinduan yang dalam untuk bersekutu secara pribadi bersama Tuhan, tetapi kita juga mengalami keprihatinan tertentu pada saat kita memasuki tempat dan waktu untuk menyendiri. Segera setelah kita sendirian bersama Tuhan, tanpa ada orang lain untuk bercakap-cakap, tanpa ada buku-buku untuk dibaca, tanpa adanya televisi dan internet untuk ditonton, atau tanpa adanya pembicaraan lewat handphone yang dilakukan, maka timbullah kegalauan di dalam hati kita. Kegalauan ini begitu mengganggu dan kadang membingungkan, sehingga kita tidak dapat bertahan untuk tidak melakukan kesibukan lagi, kita pun tak bisa melepasnya. Maka hilanglah niat kesendirian (sahabi) yang ingin dikerjakan.

Selanjutnya, pada saat kita telah menghentikan kebingungan kita di luar, kita sering mengalami bahwasannya kebingungan kita di bagian dalam itu menjadi lebih nyata. Kita pun sering menggunakan kebingungan kita di luar itu untuk melindungi diri kita dari kegalauan di bagian dalam. Karena itu tidaklah mengherankan jika sulit sekali bagi kita untuk memiliki waktu dalam menyendiri bersama dengan Tuhan. Konfrontasi atau pergumulan yang terjadi di dalam hati kita itu bisa sangat menyiksa apabila kita tetap bertahan. Sehingga hal ini menyebabkan disiplin untuk menyendiri bersama dengan Tuhan menjadi lebih penting namun sering kali diabaikan. Kesendirian (sahabi) bersama dengan Tuhan itu bukanlah suatu tanggapan (respon) yang spontan bagi kehidupan yang penuh dengan kesibukan dan keasyikan. Ada banyak sekali alasan untuk tidak menyendiri bersama dengan Tuhan. Karena itu kita pun harus dengan seksama merencanakan atau mengatur waktu khusus untuk menyendiri dengan Tuhan. Lima atau sepuluh menit saja dalam sehari, kita perlu melakukan duduk tafakur (meditasi, semedhi) dengan tenang dan mengheningkan cipta – terserah kapan waktunya dan dimanakah tempatnya. Meskipun sebaiknya lebih lama dari itu, yakni 15-30 menit hingga 1 jam atau bahkan lebih lama lagi.

Ya. Mungkin engkau harus menjadwalkan dalam agenda kegiatan harianmu sehingga tak seorang pun dapat mengambil waktu khusus tersebut. Dengan demikian kau akan bisa berkata kepada semua sahabat, tetangga, kenalan, murid, langganan, klien, atau pun orangtuamu dengan kalimat: “Maafkan saya, karena saya telah membuat sebuah janji pada saat itu dan tidak dapat diubah lagi. Ini adalah komitmen yang harus dipegang teguh.” Sehingga pada waktu engkau telah mengikat diri untuk menyediakan waktu secara pribadi bagi Tuhanmu, maka dirimu telah mengembangkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap Suara Ilahi yang muncul di dalam dirimu sendiri. Pada hari-hari, minggu-minggu, bahkan bulan-bulan pertama, barangkali engkau merasakan bahwa dirimu hanya membuang-buang waktu saja dengan melakukan hal tersebut. Pada awalnya waktu menyendiri bersama Tuhan itu mungkin sangat membosankan dan lebih sedikit artinya jika dibandingkan dengan saat engkau dibombardir oleh ribuan pikiran dan perasaan yang timbul dari tempat tersembunyi dalam pikiranmu. Namun jika engkau tetap bersabar dan terus bertahan, niscaya semuanya akan semakin berarti dan menuai hasil yang memuaskan. Engkau akan merasakan senang dan bahagia yang sesungguhnya.

Lepaskanlah keterikatan untuk bisa melihat jati diri yang sejati. Lepaskanlah semua tentangmu, niscaya kau akan bahagia karena telah melihat-NYA.

Artinya, persoalannya adalah kesetiaan dan ketekunan (istiqomah) yang diperlukan pada disiplin ini. Pada permulaannya, menyendiri bersama dengan Tuhan itu tampaknya sangat berlawanan dengan segala keinginan kita, sehingga kita terus-menerus digoda untuk melarikan diri dari hal tersebut. Salah satu cara untuk melarikan diri dari hal itu ialah mimpi di siang hari atau mudahnya kita tertidur. Tetapi apabila kita memegang disiplin itu erat-erat, dengan keyakinan penuh bahwa YANG ILAHI tetap bersama dengan kita sekalipun kita belum mendengar Suara-NYA, maka pelan-pelan kita mengerti bahwa kita tidak ingin kehilangan waktu kita untuk menyendiri Bersama-NYA. Walaupun kita tidak mengalami banyak kepuasan dalam kesendirian kita Dengan-NYA, kita menyadari bahwa satu hari tanpa menyendiri dengan YANG ILAHI adalah wujud dari kekurangan “batin/ruhani” dari pada satu hari dengan menyendiri Bersama-NYA.

Dan secara intuitif, kita tahu bahwa sangatlah penting bagi kita untuk menyediakan waktu dalam menyendiri bersama Tuhan. Kita bahkan mulai menghargai waktu yang tadinya terbuang dengan sia-sia. Sebab kerinduan untuk menyendiri Bersama-NYA seringkali merupakan pertanda awal dari pencerahan, dan juga tanda awal kehadiran Nur Ilahi yang tidak lagi tidak kita ketahui. Dan pada saat kita mengosongkan diri kita dari segala kekhawatiran kita, kita pun bisa tahu, bukan hanya dengan pikiran kita saja tetapi juga dengan hati kita, bahwa sebenarnya kita tidak pernah sendirian, bahwasannya YANG ILAHI selalu bersama dengan kita selama-lamanya untuk melindungi dan mengasihi.

O.. Sahabi (kesendirian) akan tetap menyenangkan jika seseorang bisa memanfaatkan waktu tersebut. Dengan menjalani sahabi (kesendirian), itu sama saja dengan melatih diri karena nanti, di akhirat, toh setiap dari kita tidak bisa lagi mengandalkan orang lain, harus mandiri. Sahabi (kesendirian) pun dapat melatih diri untuk berusaha membangkitkan kekuatan yang tersembunyi agar dapat menjalani hidup dengan sempurna. Karena sahabi (kesendirian) itu sendiri mengajarkan tentang ketenangan dan konsentrasi yang tinggi. Dalam sahabi (kesendirian) tak ada pertengkaran, tak ada dusta, tak ada pula aturan, doktrin-dogma, dan keterpaksaan. Semuanya dalam lingkup kesadaran diri sendiri.

Demikianlah tulisan ini berakhir. Mugia Rahayu Sagung Dumadi.. 🙏

Jambi, 26 Juni 2024
Harunata-Ra

(Cuplikan dari buku “Diri Sejati”, karya Harunata-Ra)

Bonus instrumental:

Tinggalkan komentar