Kosaddum: Perang Singkat Para Leluhur

Posted on Updated on

Wahai saudaraku. Ada begitu banyak tokoh besar dalam sejarah Manusia, ada banyak pula pertempuran dahsyat yang telah dilalui oleh para kesatria utama itu. Dan tentunya, untuk bisa menyelesaikan setiap tantangan dalam hidupnya, para tokoh tersebut tidak melaluinya dengan mudah. Semuanya butuh ketekunan dan kesabaran yang tinggi. Ujian demi ujian hidup yang berat pun kerap menemani. Karena itu adalah proses yang wajib dilalui oleh setiap Manusia pilihan.

Nah, dari sekian banyak kisah epik nan heroik di masa lalu, maka di antara yang terbaiknya adalah yang pernah terjadi pada seorang kesatria bernama Suwani. Sulit mencari perbandingannya, baik di masa lalu apalagi sekarang. Berikut ini adalah kisahnya:

1. Awal kisah
Semuanya bermula ketika ada tiga sosok penghuni Kahyangan yang mendapatkan petunjuk untuk turun ke Bumi dan menjalankan sebuah misi kehidupan. Mereka harus menyamar sebagai seorang Begawan dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada Manusia, khususnya para kesatria. Di antara para kesatria itu ada satu orang yang spesial. Dan setelah ia berhasil menguasai ilmu yang telah ditentukan, kepadanya ketiga Dewa itu harus memberikan sebuah benda pusaka. Tujuannya adalah untuk bekal perjuangannya di kemudian hari.

Adapun ketiga Dewa itu adalah Bhatara Anggara, Bhatara Kisadha, dan Bhatara Narutya. Di tempat yang berbeda mereka terus menyamar sebagai seorang Begawan yang waskita. Bhatara Anggara bertempat tinggal di Yatali (wilayah India), Bhatara Kisadha di sekitar Simurah (kawasan Timur Tengah), sedangkan Bhatara Narutya di wilayah Syiyanta (daratan China). Selama puluhan tahun mereka hidup sebagai orang bijak tanpa ada yang tahu bahwa mereka itu sebenarnya adalah para Dewa dari Kahyangan. Sesekali mereka pun menyamar sebagai sosok yang lain untuk sekedar mengamati negeri-negeri yang ada. Biasanya mereka itu akan tampil sebagai seorang pengembara atau fakir miskin yang terhina. Kepada yang membutuhkan pertolongan, ketiganya itu akan senang memberikan bantuan. Disini tentu masih dalam mode penyamaran.

Selanjutnya, setelah 35 tahun berlalu, maka tibalah saatnya bagi mereka bertiga untuk menjalankan tugas utamanya. Yaitu membimbing seorang kesatria utama yang akan menegakkan kebenaran dan keadilan dunia. Dan mereka tak perlu mencari-cari siapakah orangnya, karena kesatria yang dimaksudkan itu akan datang sendiri kepada mereka. Ia akan menjadi murid yang cerdas dan berbudi luhur.

Demikianlah model kehidupan pada masa periode zaman ke empat (Swarganta-Ra). Pada waktu itu, para Dewa-Dewi masih sering berinteraksi langsung dengan Manusia, khususnya para kesatria pilihan, untuk membantu mereka dalam menyelesaikan berbagai masalah. Salah satunya adalah seperti yang diceritakan dalam kisah ini. Mari kita lanjutkan.

2. Pemuda terpilih
Di masa pertengahan periode zaman ke empat (Swarganta-Ra) hiduplah seorang pemuda desa yang sering mengalami penderitaan batin. Di negerinya yang bernama Yusan, sang pemuda hidup amat sederhana. Ia pun selalu gagal dalam meraih cita-citanya dan hidup dengan penuh ejekan dari orang lain. Semua orang menjauhi dan memandangnya sebelah mata, karena merasa tak ada gunanya berkawan dengan sosok rendahan yang “bodoh” seperti dirinya. Sudahlah tidak memiliki harta yang berlimpah, bukan pula dari kalangan bangsawan yang terhormat. Begitulah orang-orang di desanya sering berkata.

Ini jelas menyakitkan hati, tapi sesuai dengan pesan dari orang tuanya, Suwani tak boleh marah apalagi sampai mendendam. Ia harus tetap sabar dan berlapang dada serta menyerahkan semua urusan hidupnya itu kepada Tuhan. Apapun yang terjadi tentu ada maksud dan tujuannya. Termasuk yang sedang ia alami itu sudah menjadi kehendak-Nya dan semuanya itu telah sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan bagi dirinya. Ia harus ikhlas, karena tentulah itu yang terbaik bagi dirinya sendiri, cepat atau lambat tujuannya akan terbukti. Dan Tuhan senantiasa “bekerja” dengan cara yang misterius.

Tapi sebagai Manusia biasa, akhirnya Suwani benar-benar tak bisa lagi menahan diri. Ia merasa jenuh dan hampir putus asa dengan jalan hidupnya yang selalu gagal dan tak bisa memiliki kemampuan apapun. Ini pun sangat membingungkan, karena lebih dari 30 tahun masa hidupnya ia tak pernah bisa menghasilkan karya cipta atau prestasi apapun yang membanggakan. Selalu pupus, padahal ia tak ingin punya jabatan tinggi atau harta yang berlimpah, karena yang ia butuhkan adalah mampu berkarya cipta yang positif bagi bangsa dan negaranya walaupun hidup dalam kesederhanaan. Untuk orang banyak ia pun ingin bisa sering membantu dalam menciptakan kemakmuran hidup mereka. Dengan karya cipta yang ia hasilkan itu, sungguh Suwani ingin bisa membahagiakan banyak orang. Namun apa daya, itu semua tak bisa terwujud karena ia hanyalah seorang pemuda desa biasa yang tak punya apa-apa. Sudahlah hidup miskin, ditambah lagi dengan tidak memiliki kelebihan apapun yang bisa dibanggakan.

Karena itulah ia merasa sangat bosan dengan kisah hidupnya di desa dan akhirnya memutuskan untuk pergi mengembara tak tentu arah. Tak ada tujuan yang pasti kemana ia akan pergi, kecuali berusaha menemukan jawaban atas kemalangan hidupnya. Di dalam hatinya Suwani tetap berharap agar Tuhan berkenan memberikan petunjuk tentang apa yang seharusnya ia lakukan. Karena sebagai seorang pemuda ia merasa sedih ketika tak memiliki kemampuan apapun, bahkan tak ada karya cipta yang bisa ia hasilkan sepanjang hidupnya. Apapun yang ia kerjakan selalu gagal dan mendapatkan ejekan. Belajar berkali-kali pun tetap saja tak mengerti dan selalu ketinggalan dari yang lainnya. Begitu sulitnya ia menguasai pelajaran, otaknya serasa beku, padahal Suwani ingin bisa menjadi orang yang berguna dan terus memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Sungguh Tuhan belum mengizinkan dirinya menjadi pintar dan berprestasi.

Sampai pada akhirnya setelah lebih dari tujuh tahun mengembara tak tentu arah, Suwani tiba di sebuah negeri yang bernama Safala. Negeri tersebut kini berada di sekitar wilayah India bagian tengah. Di sana hiduplah seorang Begawan yang terkenal sakti dan waskita. Mengetahui hal itu, ia langsung mencari kediaman sang Begawan untuk berguru kepadanya. Ternyata tempatnya berada di sebuah tebing yang ada di sekitar pegunungan Rutayi. Dan untuk bisa kesana, maka siapapun harus mendaki tinggi dan memanjat tebing yang curam. Tidak mudah untuk bisa sampai kesana, karena asrama milik sang Begawan berada tepat di puncak tebing itu. Salah-salah hanya akan tersesat dan celaka.

Ternyata sang Begawan yang dimaksudkan itu adalah Bhatara Anggara yang sedang menyamar. Karena sudah waktunya, oleh sang Bhatara sosok pemuda yang bernama Suwani itu langsung ia terima sebagai murid. Tak seperti biasanya, Suwani langsung diajari ilmu khusus di tempat yang tersembunyi. Murid-muridnya yang lain tak mendapatkan hal yang seperti itu. Dan meskipun Suwani adalah seorang yang “bodoh” dalam menerima pelajaran, tapi ditangan Bhatara Anggara ia berhasil menguasai berbagai keilmuwan hanya dalam waktu singkat. Teknik yang diterapkan oleh sang Bhatara memang khusus untuk dirinya. Ini jelas membantu Suwani untuk cepat menangkap pelajaran dan bisa menguasai apapun yang diberikan kepadanya. Lain orang maka akan lain pula cara belajarnya. Begitulah seharusnya ilmu itu disampaikan.

Catatan: Sebenarnya bisa saja sang Bhatara langsung menurunkan berbagai ilmu dan kesaktian kepada Suwani, cukup dalam hitungan detik malah. Hanya saja itu tak di lakukan agar lebih bermakna dan menjadi pelajaran yang berharga. Karena apapun yang diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh jauh lebih baik dari pada sesuatu yang instan. Seorang kesatria utama itu memang harus tetap berusaha dan sabar dalam melakukannya.

Selama lima tahun lebih Suwani berguru kepada Bhatara Anggara yang saat itu tengah menyamar sebagai Begawan Kiliyas. Apapun yang diajarkan telah dikuasai dengan sempurna. Hingga pada akhirnya tibalah saatnya bagi Suwani untuk melanjutkan pengembaraan. Oleh gurunya itu, ia lalu diperintahkan untuk menuju ke kawasan Simurah (penamaan Timur Tengah kala itu) untuk bertemu dengan seorang Begawan yang bernama Masiya. Kepadanya Suwani harus belajar tentang kebenaran dan kesalahan, serta kebajikan dan kejahatan. Sebelum kembali mengembara, oleh gurunya itu Suwani pun diberikan sebuah pedang pusaka yang bisa datang dan pergi sesuai keinginan dari pemiliknya. Dengan berbagai kemampuannya, pedang sakti itu akan membantunya dalam berjuang.

Singkat cerita, selang 3 hari berikutnya barulah Suwani memulai perjalanannya ke arah Simurah (kawasan Timur Tengah). Setelah beberapa tahun, di sekitar wilayah antara kota Madinah dan Makkah sekarang ia memasuki sebuah negeri yang bernama Napilata. Di sana Suwani mendapatkan informasi bahwa ada seorang Begawan yang terkenal bijak dan waskita. Tak lain ia bernama Masiya, sosok yang sesuai dengan petunjuk gurunya dulu. Karena itu tanpa pikir panjang, Suwani pun langsung mencari tempat tinggal sang Begawan yang ternyata berada di sebuah lembah yang menghijau. Di tengah rimbunan pepohonan, asrama sang Begawan itu berdiri sederhana. Tempat itu berada jauh dari pemukiman penduduk, sehingga tak banyak orang yang datang kesana.

Sesampainya di asrama Begawan Masiya, tiba-tiba suasana menjadi sunyi sekali, tak ada suara burung atau pun deru angin yang berhembus. Seolah-olah tak ada kehidupan disana. Dan tak lama kemudian Suwani langsung mendapatkan ujian ketangkasan dan kesaktian diri. Itu sengaja di lakukan oleh sang Begawan untuk mengetahui sebatas mana kemampuan yang sudah dimiliki oleh sang pemuda. Terlebih hal itu untuk menguji keteguhan hatinya, karena tantangan hidup yang harus dialami kedepannya akan terasa lebih sulit. Hanya pribadi yang tangguh saja yang mampu melaluinya dengan sukses.

Demikianlah akhirnya setelah lulus ujian dari sang Begawan yang ternyata adalah Bhatara Kisadha yang sedang menyamar, Suwani diterima sebagai murid. Sesuai dengan pesan dari gurunya, Begawan Kiliyas, ia pun memperdalam tentang apa itu kebenaran dan kesalahan, serta apa pula itu kebajikan dan kejahatan. Semuanya harus ia pahami lebih dalam untuk bisa mengetahui lebih luas tentang hikmah kehidupan ini. Selain itu, Begawan Masiya juga mengajarkan tentang berbagai keilmuan lainnya, termasuk sastra dan spiritual tingkat tinggi. Sehingga membuat Suwani kian unggul dari siapapun yang seumuran dengannya.

Ya, selama 5 tahun lebih Suwani berguru kepada Begawan Masiya. Selama itu, banyak yang sudah ia dapatkan dan membuat dirinya semakin dewasa dan berilmu. Meskipun begitu, hal ini tak pernah membuatnya merasa puas apalagi sombong. Karena justru menjadikan dirinya semakin rendah hati dan merasa tak berdaya, tak ada apa-apanya sama sekali. Sering pula ia menangis lantaran terharu dan merasa begitu banyak dosa yang telah ia lakukan dalam hidupnya. Hal ini sering diketahui pula oleh gurunya, dan Begawan Masiya sendiri merasa senang akan hal itu.

Oleh sebab itulah, suatu ketika sang Begawan me-wisuda muridnya itu dan memintanya untuk melanjutkan pendidikan. Sesuai dengan visi yang diterima sebelumnya, maka sebagai seorang utusan Kahyangan, sang Begawan meminta Suwani untuk mengembara ke kawasan Syiyanta (penamaan daratan China kala itu) dan menemui seorang Begawan yang bernama Hilasa. Kepadanya Suwani harus memperdalam tentang ilmu kesempurnaan. Demikianlah pesan dari sang Bhatara, dan sebelum muridnya pergi mengembara tak lupa pula ia memberikan sebuah busur panah pusaka. Sebagai pusakanya para Dewa, tentulah busur tersebut bisa muncul dan menghilang sesuai dengan keinginan Suwani. Jika diperlukan, busur sakti itu akan membantunya dalam perjuangan.

Waktu pun berlalu, tiga hari setelah di wisuda oleh gurunya itu Suwani mulai mengembara ke arah timur, menuju ke kawasan Syiyanta (daratan China). Meskipun ia bisa terbang, tapi sang pemuda hanya berjalan kaki selama berbulan-bulan. Banyak negeri dan peradaban yang dilalui, sampai akhirnya setelah 3 tahun ia pun tiba di sebuah negeri yang bernama Miuri. Di sana Suwani mendapatkan informasi tentang seorang Begawan yang sangat bijaksana bernama Hilasa. Dan ternyata sosok itulah yang sesuai dengan petunjuk dari gurunya dulu; Begawan Masiya.

Singkat cerita, ketika baru tiba di sekitar kediaman sang Begawan, Suwani bertemu dengan lima orang yang berbeda. Setiap bertemu dengan seorang dari mereka itu – di tempat yang berbeda, Suwani langsung diuji dengan berbagai tindakan, pertanyaan dan teka-teki yang sulit. Jika berhasil melaluinya, barulah ia bisa melanjutkan perjalanan. Di tempat yang lain ia bertemu dengan seorang lagi dan kembali mendapatkan pertanyaan dan teka-teki yang harus dijawab dengan benar. Begitulah yang terjadi berulang kali, dan Suwani berhasil melalui semua ujian pertanyaan dan teka-teki yang diberikan. Karena itulah, setelah menjawab dengan benar setiap pertanyaan dan teka-teki yang terakhir, barulah Suwani bisa melihat jalan menuju ke rumah Begawan Hilasa. Sekali lagi, ternyata letaknya berada di atas tebing yang sangat tinggi. Dan untuk bisa sampai kesana, Suwani pun harus mendaki dan memanjat tebing secara alami, tak boleh menggunakan kesaktian.

Begitulah yang harus dilalui oleh sang pemuda untuk bisa sampai ke rumah Begawan Hilasa. Dan ternyata ujiannya belum juga usai. Karena sang Begawan sedang tidak ada di rumahnya. Tak ada yang tahu kemanakah ia pergi, termasuk kelima orang yang pernah mengujinya. Sekian lama di tunggu tak kunjung tiba, bahkan sampai berhari-hari pun tetap juga tak kembali. Hingga akhirnya Suwani paham bahwa ia sedang diuji. Karena itulah, tak lama kemudian ia mengambil posisi duduk bersila dan mulai melakukan semedhi. Selama 40 hari ia terus ber-semedhi tanpa henti. Sampai akhirnya sang Begawan datang dan membangunkannya.

Melihat itu, Bhatara Narutya yang sedang menyamar sebagai Begawan Hilasa itu berkenan menerima Suwani sebagai muridnya. Terlebih ia pun sudah mengetahui bahwa sang pemuda adalah sosok yang terpilih dan selama ini telah ia nantikan. Oleh sebab itulah, tanpa menunggu waktu lagi sang Begawan mulai membimbing sang pemuda tentang berbagai hal, khususnya ilmu kesempurnaan. Selama lima tahun lebih belajar mengajar itu di lakukan. Sampai akhirnya tibalah waktunya bagi Suwani untuk di wisuda dan mendapatkan sebuah pusaka berupa mustika panca warna. Pusaka tersebut akan berguna ketika ia mulai menegakkan keadilan dunia.

Waktu pun terus beranjak dan sampailah akhirnya Suwani harus berpisah dengan gurunya itu; Begawan Hilasa. Sebelum mulai berjalan, oleh gurunya itu Suwani diperintahkan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Di kawasan Astapulaya itu (penamaan Nusantara kala itu), ia harus bisa bertemu dengan seorang yang istimewa, yang para Dewa-Dewi saja begitu menghormatinya. Hanya dengan kebersihan hati dan ketulusan niat sajalah Suwani baru akan bisa berjumpa dengan sosok tersebut. Dan setelah bertemu, kepadanya Suwani lalu diminta untuk bisa memperdalam tentang ilmu kebijaksanaan.

Catatan: Pada masa itu, seluruh kawasan Nusantara masih menyatu dengan Asia, Australia, Oseania, dan Polinesia. Membentuk satu daratan yang sangat luas. Karena itulah kehidupan yang ada di sana pun sangat berbeda dengan sekarang, baik flora maupun faunanya.

Singkat cerita, setelah mencari lebih dari 3 tahun barulah Suwani bisa menemukan titik terang. Hatinya mendapatkan bimbingan agar ia berjalan ke arah barat, ke tepi sebuah pantai – yang kini berada di sekitar lepas pantai barat pulau Sumatera. Dan benar, ketika ia sampai di tepi pantai yang berpasir putih itu, Suwani melihat ada seorang lelaki tua yang sedang duduk bersandar di sebatang pohon delus (sejenis kelapa karena pada masa itu pohon kelapa belum ada). Tanpa pikir panjang Suwani pun langsung mendekati sosok tersebut dan menyampaikan salam kepadanya.

Salam itu dijawab oleh sang kakek dengan sambutan yang ramah. Tapi sebelum bisa memperkenalkan dirinya, Suwani sudah mendapatkan pertanyaan beruntun dari sang kakek. Semuanya seputar urusan benar dan salah, lalu kebajikan dan kejahatan. Setelah itu seputar urusan kesempurnaan. Berbagai pertanyaan terus dilontarkan oleh si kakek yang ternyata memang sedang menguji Suwani atas apa yang sudah ia dapatkan selama ini, selama berguru dengan ketiga Begawan. Dan ketika semua pertanyaannya sudah dijawab dengan benar, tak menunggu waktu lagi si kakek langsung mengajak Suwani untuk ikut mengembara bersamanya. Banyak negeri yang telah mereka kunjungi, yang tinggi peradabannya ataupun yang masih tertinggal.

Ya. Ada lebih banyak pengalaman hidup yang bisa didapatkan oleh Suwani selama 5 tahun lebih mengikuti si kakek dalam mengembara. Semua ilmu yang telah ia dapatkan dari ketiga Begawan diterapkan langsung selama petualangan itu. Sengaja atau tidak, keadaan terus memancing diri Suwani untuk bertindak sesuai dengan apa yang telah ia kuasai dari para gurunya. Karena memang selama ±5 tahun itulah sebenarnya Suwani sedang memperdalam apa yang disebut dengan ilmu kebijaksanaan. Sang kakek hanya membimbing agar dirinya benar-benar memahami apa itu kesempurnaan dan kebijaksanaan hidup.

Tapi anehnya meskipun ia sangat dekat dengan sang kakek, selama ±5 tahun itu pula Suwani belum mengetahui siapakah sebenarnya sosok tersebut. Dan barulah pada suatu hari, ketika mereka sedang duduk santai di tepi sebuah sungai yang berada di sebuah lembah sang kakek memperkenalkan dirinya. Ternyata ia adalah sesepuh di Kahyangan yang bernama Nurrasa (dalam kisah pewayangan beliau ini dikenal sebagai Sang Hyang Nurrasa. Sosok yang lebih senior dari pada Sang Hyang Guru atau Sang Hyang Tunggal atau bahkan Sang Hyang Wenang). Dan kepada Suwani ia lalu menjelaskan bahwa ketiga Begawan yang telah menjadi gurunya itu sebenarnya adalah para Bhatara yang turun dari Kahyangan lantaran mendapatkan tugas dari Hyang Aruta (Tuhan YME). Setelah itu, ia pun memberikan sebuah kitab ilmu pengetahuan kepada Suwani untuk bekal hidupnya dalam membangun peradaban.

Catatan: Para Sang Hyang adalah sosok yang kedudukannya berada di atas para Bhatara-Bhatari. Di antara para Sang Hyang maka ada pula tingkatannya. Nah Sang Hyang Nurrasa itu termasuk di antara para Sang Hyang yang paling senior. Dan beliau memiliki Kahyangan-nya sendiri yang terpisah dari Kahyangan yang dipimpin oleh Bhatara Guru (rajanya para Dewa-Dewi). Karena itulah semua Bhatara-Bhatari dan Dewa-Dewi sangat menghormatinya.

Dan menurut Sang Hyang Nurrasa, diri Suwani itu mewarisi darah para raja agung di masa lalu. Baik dari jalur ayah maupun ibunya, keduanya sama-sama berasal dari trah pendiri kerajaan besar pada masanya dulu. Hanya saja informasi itu belum sempat di sampaikan oleh ayahnya lantaran ia sudah meninggal dunia. Ibunya pun tak sempat menjelaskan, karena Suwani telah pergi mengembara. Oleh sebab itulah kini ia pun harus merasa bangga dan bertanggungjawab untuk tetap menjaga nama baik leluhurnya. Yaitu menjadi seorang kesatria utama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Mendapatkan semua penjelasan itu, Suwani tak bisa menahan tangisnya. Dari kedua sudut matanya telah mengalir airmata yang deras, dan ia sampai terisak-isak karena tak menyangka hal yang semacam itu bisa terjadi pada dirinya. Ia pun teringat bahwa sebelumnya ia hanyalah seorang pemuda desa yang “bodoh” sehingga orang-orang terus meremehkan dan menjauhi dirinya. Atas kesabaran dan kecerdasan dari ketiga gurunya itulah, barulah ia bisa menguasai ilmu yang cukup. Suwani pun merasa rindu kepada ketiga gurunya itu. Terlebih mereka itu sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.

Dan ketika Suwani merasa begitu rindu kepada guru-gurunya itu, tanpa disangka tiba-tiba muncullah tiga sosok yang mempesona lengkap dengan kebesarannya. Ternyata mereka adalah Bhatara Anggara, Bhatara Kisadha, dan Bhatara Narutya. Mereka bertiga sengaja datang karena memang sudah waktunya untuk menunjukkan kesejatian dirinya dihadapan Suwani. Di hadapan Sang Hyang Nurrasa, ketiganya lalu memberi hormat sebagaimana mestinya. Dan tak lama kemudian mereka justru mengubah dirinya menjadi sosok yang dikenal lama oleh Suwani, yaitu para Begawan yang telah menjadi gurunya.

Mereka pun asyik berbincang-bincang tentang berbagai hal, terutama mengenai perjalanan Suwani mencari Sang Hyang Nurrasa dan selama ia ikut mengembara bersamanya. Sesekali mereka tertawa bahagia, karena ada yang lucu atau menggemaskan dalam kisah pengalaman yang disampaikan. Cukup lama mereka berbincang-bincang dan temu kangen, sampai akhirnya tiba-tiba muncullah seorang yang sangat berwibawa. Meskipun hanya mengenakan pakaian biasa yang serba putih, sosok tersebut memancarkan aura positif yang mengagumkan. Dan ternyata ia adalah seorang utusan Tuhan yang bernama Nabi Syis AS.

Melihat itu, Sang Hyang Nurrasa dan ketiga Bhatara yang sudah mengenalinya segera bangkit dan memberi hormat. Mereka menjawab salam yang diucapkan oleh Nabi Syis AS dengan sikap yang tersenyum. Suwani pun mengikutinya, meskipun ia belum tahu siapakah sosok yang agung itu. Barulah setelah dijelaskan oleh Sang Hyang Nurrasa ia bisa mengerti dan merasa semakin beruntung dalam hidupnya. Tidak semua orang bisa bertemu langsung dengan sosok mulia utusan Tuhan tersebut. Terlebih ia datang dengan tujuan menyampaikan Wahyu Ilahi kepada dirinya.

Ya. Nabi Syis AS datang untuk memberikan sebuah cincin pusaka bertahtakan permata biru. Pada cincin tersebut terukir motif yang unik dan bisa berubah-ubah bentuk dengan sendirinya. Sedangkan salah satu fungsi dari cincin tersebut adalah untuk memanggil pasukan dari Langit untuk membantu perjuangan. Siapapun yang memakai cincin pusaka itu adalah sosok yang terbaik dan terpilih untuk menegakkan keadilan dunia. Benda pusaka tersebut adalah simbol pengesahannya. Dan pada masa itu Suwani-lah orang yang terpilih untuk memilikinya.

Singkat cerita, setelah memberikan cincin pusaka tersebut, sang Nabi lalu menyampaikan beberapa pesan dan nasehat. Selain itu, beliau juga menyampaikan petunjuk agar Suwani mengabdikan hidupnya di negeri Niwaya. Apapun yang terjadi nanti, ia harus berjuang dalam segala hal demi kebaikan bersama. Atas izin Tuhan sang pemuda akan meraih kejayaan tertinggi. Begitulah pesan dari sang Nabi sebelum akhirnya ia raib dari pandangan. Tak lama kemudian, para Bhatara dan Sang Hyang Nurrasa pun ikutan raib dan mereka segera kembali ke Kahyangan. Tinggallah Suwani yang harus melanjutkan hidupnya dan mengikuti petunjuk dari Nabi Syis AS dengan kesungguhan.

3. Negeri Niwaya
Tersebutlah negeri yang gemah ripah bernama Niwaya. Selama lebih dari 10.000 tahun mereka telah hidup di pertengahan zaman ke empat (Swarganta-Ra), di sebuah wilayah yang kini berada di sekitar Nusantara bagian barat sekarang (di antara Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan). Dimasanya, kaum ini telah menjadi yang terhormat dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia. Tidak hanya dari kalangan Manusia, tetapi juga bangsa Peri, Ruwan, Cinturia, dan Karudasya. Tak ada yang berani macam-macam dengan mereka ini, karena siapapun lebih memilih bersahabat dan menjalin hubungan diplomasi yang akrab dengan mereka.

Catatan: Tentang detil lokasi dari negeri Niwaya tak bisa kami sampaikan disini. Ada protap yang harus dipatuhi, maaf.

Namun, karena kenikmatan yang diberikan secara berlimpah itulah penduduk negeri Niwaya akhirnya hidup dalam kelalaian dan kesesatan. Mereka terlalu menuhankan materi dan kedudukan duniawi. Mereka lupa bahwa hidup di atas dunia ini cuma sementara, dan apapun yang ia lakukan akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat nanti. Sudah banyak orang shalih yang berusaha memperbaiki keadaan di negeri tersebut, tapi belum ada yang berhasil. Kian lama kehidupan di sana semakin memilukan walaupun mereka hidup dalam kemewahan dan peradaban yang tinggi. Hal ini pun semakin diperparah dengan ketidakwaspadaan mereka terhadap ancaman dari luar negerinya. Kekuatan militer di negeri itu bahkan sampai dikurangi separuhnya dengan alasan bahwa mereka telah hidup aman dan sentosa.

Suatu ketika, akhirnya mereka pun tersandung masalah yang pelik. Ada satu kerajaan besar yang hendak menjajah negerinya. Dilihat dari kekuatan yang ada, kerajaan Niwaya takkan mampu menghadapi serangan dari kerajaan yang bernama Bursaka itu. Nah pada saat itulah, Suwani telah hidup selama dua tahun di negeri yang sedang di ambang kehancurannya. Dan sudah pernah terjadi satu kali pertempuran sengit yang menyebabkan rajanya gugur. Tinggal seorang putra mahkota kerajaan bernama Atsopali yang masih memimpin pasukannya untuk tetap bertahan. Jika ia dan pasukannya sampai kalah, maka negeri Niwaya akan jatuh dalam kekuasaan kerajaan Bursaka. Takkan ada lagi kedamaian di negeri yang terkenal makmur itu. Karena yang tertinggal nanti hanyalah kesedihan dan penderitaan saja.

Melihat keadaan seperti itu, sebagai seorang kesatria maka tak ada alasan bagi Suwani untuk berdiam diri. Ia pun segera menemui sang putra mahkota untuk menawarkan bantuan. Awalnya ia tak dipercaya lantaran pada saat itu dirinya hanyalah seorang tukang kebun istana. Tetapi setelah ia bisa membuktikan ketulusan hatinya dan sedikit kemampuannya barulah sang pangeran mau menerimannya sebagai penasehat. Dan karena tak ada jalan lagi untuk berunding, maka pertempuran terakhir harus di lakukan. Suwani maju di garis depan dan terus menyerang dengan kesaktian yang luar biasa. Belum pernah ada yang melihat kekuatan yang semacam itu. Karena hanya dalam waktu singkat saja Suwani bisa mengobrak-abrik formasi tempur milik kerajaan Bursaka.

Sungguh tak disangka, orang yang sebelumnya dipandang sebelah mata ternyata sosok kesatria yang gagah perkasa. Dibawah komandonya, lambat laun pasukan kerajaan Bursaka dapat dihancurkan. Bahkan pada akhirnya dalam sebuah duel pertarungan yang sengit, Sojanue, raja Bursaka yang terkenal sakti mandraguna itu sampai lumpuh tak berdaya. Ia lalu menjadi tawanan dengan syarat semua pasukannya itu segera kembali ke negerinya. Dengan tebusan yang tidak mudah, barulah Sojanue bisa dibebaskan.

Begitulah peristiwa yang akhirnya mengangkat nama Suwani menjadi yang termasyhur. Atas jasa-jasanya dalam menghadapi krisis di kerajaan Niwaya, ia pun diangkat menjadi panglima kerajaan. Tak lama kemudian, ia dilantik sebagai Kamaruh (setingkat Mahapatih atau Perdana Menteri). Jabatan itu ia pegang dengan penuh amanah, sehingga tak ada lagi kerajaan yang berani mengusik ketenteraman negeri Niwaya. Dan keadaan di negeri itu jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena pengaruhnya, Suwani bisa memberikan pengajaran hidup yang benar kepada penduduk negeri. Perlahan-lahan banyak yang mengikuti ajakannya, sehingga kehidupan di negeri Niwaya bisa semakin jauh dari kesan menuhankan materi dan jabatan. Mereka tetap hidup makmur tapi dengan sikap yang sudah kembali memahami dirinya yang sejati.

4. Pertempuran besar
Suatu ketika, setelah 7 tahun di negeri Niwaya, Suwani pernah diserang oleh para raksasa – dari dimensi lain dengan menggunakan berbagai senjata sakti – saat ia sedang berjalan di sebuah lembah. Terpaksa ia ladeni para raksasa yang berjumlah 10 orang itu sampai akhirnya menang. Dan ternyata ini barulah permulaan, karena ke 10 raksasa itu adalah para pengintai yang secara tidak sengaja diketahui niatnya oleh Suwani. Berikutnya, selang beberapa bulan kemudian, telah datang pasukan dari alam goib yang ingin menguasai Bumi. Mereka lalu menginvasi berbagai kerajaan, dari berbagai bangsa yang ada. Dan dalam setiap pertempuran, pasukan kegelapan itu selalu menang. Mereka seperti tak terbendung, bahkan bangsa Peri yang terkenal sakti itu pun tak mampu lagi menahan serangan mereka. Satu persatu kerajaan Peri yang ada di selatan mulai ditaklukkan oleh pasukan kegelapan itu. Dan hal ini terus berlangsung tanpa henti karena pasukan kegelapan itu tetap ingin menguasai semua kawasan di seluruh Bumi. Siapapun yang kalah atau menyerah hanya akan ditawan atau diperbudak, selebihnya dibantai tanpa belas kasihan.

Di lain waktu, sejak subuh, tengah hari dan sorenya keadaan terasa semakin memanas. Dan saat magrib tiba, suatu ketika Suwani kembali diserang oleh seorang kesatria kegelapan yang berpakaian tempur lengkap. Sosok mengerikan itu mengajaknya berduel tanpa senjata, alias adu kesaktian. Sebagai seorang perwira, tentangan itu di terima langsung oleh Suwani. Tapi ternyata ia tidak menghadapi seorang raksasa saja, tetapi ada banyak lagi yang lain yang terus berdatangan mengeroyok. Untuk menghadapi musuh yang seperti itu, Suwani lalu mengheningkan cipta dan tiba-tiba ia sudah mengenakan baju zirah perang lengkap. Hal itu di lakukan karena musuhnya kali ini jauh lebih sakti dari pada yang menyerang sebelumnya.

Melihat penampilan baru itu, musuhnya jadi ciut, tapi karena sudah dikuasai oleh kesombongan diri mereka terus saja menyerang Suwani. Kemampuan yang dikeluarkan oleh para kesatria kegelapan saat itu lebih hebat dari yang sebelumnya. Hanya saja lawan yang mereka hadapi bukanlah Suwani yang biasanya. Karena itulah, dalam waktu yang singkat satu persatu dari mereka itu harus tumbang meregang nyawa. Bahkan meskipun mereka bisa hidup kembali, maka pada akhirnya penapesan (kelemahan ilmu)-nya bisa diketahui oleh Suwani dan itu membuat mereka benar-benar mati.

Ya. Hal yang semacam itu pernah berulang kali dialami oleh Suwani. Dan suatu ketika Suwani juga pernah membantu pasukan Peri yang dipimpinan oleh Sir-Aurandel dalam pertempuran dahsyat melawan pasukan kegelapan. Saat itu, atas izin Tuhan ia bisa meminta bantuan dari Pasukan Langit yang dipimpin oleh seorang bernama Manwatasya. Pasukan luar biasa itu berjumlah 100 orang dan mengenakan pakaian perang serba putih. Jika dibutuhkan, mereka juga bisa mengeluarkan sayap untuk berbagai keperluan seperti untuk perisai diri dan terbang lebih cepat. Lalu ketika mereka sudah mengeluarkan sayapnya itu, pada saat itu juga akan terpancar cahaya yang terang dari dalam tubuh mereka. Siapapun akan terpana melihatnya.

Catatan: Suwani  juga bisa mengeluarkan sayap berbentuk cahaya untuk berbagai keperluan khusus. Itu bisa terjadi  karena ia telah diajari oleh Bhatara Anggara tentang salah satu ilmu dari para Dewa.

Hanya kesatria utama pilihan saja yang bisa meminta bantuan Pasukan Langit tersebut. Dan meskipun mereka dibawah komando Manwatasya, tapi ketika sedang berurusan dengan kehidupan di Bumi, justru pasukan luar biasa ini akan mengikuti perintah dari seorang kesatria dari golongan Manusia. Itu terjadi karena siapapun Manusia yang bisa memanggil mereka adalah sosok kesatria utama yang terpilih dan pasti telah mendapatkan petunjuk dari Hyang Aruta (Tuhan YME). Tanpa hal itu bisa dipastikan mereka tidak akan turun ke Bumi dan memberikan bantuan.

Oleh sebab itu, karena Suwani adalah sosok yang terpilih, maka komando tertinggi Pasukan Langit – yang turun ke Bumi saat itu – langsung berada ditangannya. Ia pun lantas memberikan instruksi, dan sesuai dengan petunjuk Ilahi yang didapatkan, maka tugas pun dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, menolong siapapun yang selamat dan mencari yang masih bisa bertahan. Kedua, membentengi wilayah basis perkumpulan atau kerajaan Peri yang terkena dampak pertempuran. Ketiga, bersiap menghadapi musuh dan akhirnya menyerang langsung ke markas mereka.

Singkat cerita, suara genderang perang pun sudah terdengar dan musuh terus saja mendekat. Mengetahui itu, Suwani memerintahkan Pasukan Langit untuk membentuk barisan dalam formasi 10 10 10 10 dengan posisi sejajar paling belakang. Berikutnya 10 10 untuk barisan didepannya, dan yang terakhir 10 orang sisanya dibarisan paling depan. Tiga barisan itu lalu membentuk segitiga mata panah. Sedangkan ke 30 pasukan lainnya membentuk barisan setengah lingkaran dari belakang. Lalu ketika pertempuran sudah dimulai, sebagai komandan pasukan, Manwatasya langsung memerintahkan agar pasukannya itu segera mengeluarkan busur Amuyasa dan melepaskan anak panahnya ke arah musuh. Dalam waktu singkat sudah banyak yang tewas akibat serangan itu.

Dalam pertempuran itu, jumlah pasukan kegelapan sebanyak ±10.000.000 orang. Tapi bagi pasukan dibawah komando Manwatasya itu tak berarti, apalagi sampai menakutkan. Mereka hanya tersenyum dan segera bertindak tanpa rasa cemas. Ke 30 orang pasukan paling belakang segera melesat ke angkasa, sementara yang ke 70 orang didepan bergerak maju di daratan. Dan hanya dalam waktu singkat mereka sudah bisa menembus barisan musuh. Dengan kesaktiannya, ke 70 pasukan yang berada di darat terus memukuli musuh dan melempar mereka ke atas hingga akhirnya musnah. Mereka pun terus merangsek jauh ke tengah-tengah barisan pasukan musuh. Setelah itu Manwatasya lalu memberikan intruksi agar pasukannya membentuk lingkaran dan segera melepaskan anak panah mereka lagi ke arah musuh. Oleh serangan itu formasi pasukan kegelapan hancur berantakan, sementara yang mencoba melarikan diri dengan terbang meninggalkan medan pertempuran segera dimusnahkan oleh ke 30 orang Pasukan Langit yang berada di angkasa. Mereka terus melepaskan anak panah ke arah pasukan kegelapan yang mencoba lari dari pertempuran saat itu.

Demikianlah barisan pertama pasukan kegelapan itu bisa dikalahkan, tapi masih ada 4 lapisan lainnya. Di lapisan yang ke 2 ada sejumlah pasukan yang tangguh dan para raksasa yang menarik semacam kereta yang bermuatan meriam energi negatif. Kekuatan dari senjata ini luar biasa. Karena itulah dengan telepati Manwatasya segera memerintahkan pasukannya untuk segera memakai perisai khusus – untuk melindungi tubuh – yang bentuknya transparan seperti kaca bening. Dengan perisai jenis itu, Pasukan Langit bisa terus merangsek ke depan tanpa bisa dihentikan. Dan sesuai dengan petunjuk yang didapatkan oleh Suwani, maka mereka harus bisa mengambil sebuah mustika sakti yang dimiliki oleh pasukan kegelapan itu. Mereka harus bisa menembus dan mengalahkan pasukan kegelapan yang ada di lapisan kedua itu. Karena mustika yang berwarna hitam putih itu berada di lapisan ketiga dari pasukan kegelapan. Mustika itu dipegang oleh komandan pasukannya.

Dalam pertempuran itu, Suwani mengajak Manwatasya dan tiga orang pasukannya untuk maju dan merebut mustika kegelapan itu. Suwani, Manwatasya dan Magiwasya bergerak di daratan, sedangkan dua yang lainnya dari udara. Mereka harus bisa menembus lapisan kedua lalu masuk ke lapisan ketiga musuh dengan cara bergerak zig-zag dalam kecepatan kilat. Tapi saat akan menembus ke lapisan yang ketiga, dua orang yang terbang di udara terhalangi oleh energi musuh yang sangat kuat. Karena itu, tiga orang yang dibawahnya langsung berpencar. Suwani di sebelah kanan, Magiwasya di kiri, dan Manwatasya diposisi tengah. Dalam satu komando mereka bertiga lalu membaca mantra khusus untuk menghancurkan dinding energi musuh itu. Setelah berhasil, Manwatasya lalu memberikan komando agar mereka bertiga bertemu di depan kereta perang milik pimpinan musuh lapisan ketiga.

Kali ini pertarungan berlangsung cukup alot, semakin banyak pasukan kegelapan yang datang menyerang. Oleh sebab itu, Manwatasya memberi perintah untuk segera mengeluarkan pedang Kasara. Tebasan pedang itu jauh dan langsung menghancurkan musuh yang ada di lapisan ketiga. Dengan begitu, Suwani, Manwatasya dan Magiwasya bisa sampai di depan komandan pasukan musuh tanpa ada yang menghalagi. Manwatasya langsung menghadapi jendral kegelapan itu, sedangkan Suwani dan Magiwasya mem-backup dari belakang dan menghalangi setiap pasukan kegelapan yang mencoba membantu komandannya itu. Dan setelah dicari-cari, ternyata mustika hitam putih itu berada di atas mahkota sang jendral musuh. Mengetahui itu, Manwatasya meningkatkan level pertarungan dan akhirnya bisa mengalahkan si komandan kegelapan. Mustika hitam putih itu segera diambil lalu dihancurkan.

Catatan: Tak perlu dijelaskan lagi tentang bagaimana suasana dalam pertempuran itu. Sangat gaduh dan mengerikan. Bumi terus berguncang disertai angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Dimana-mana terjadi kehancuran oleh sebab ledakan dari berbagai senjata, ajian dan kesaktian benda pusaka milik peserta pertempuran. Dan mereka bertarung di dalam sebuah perisai khusus agar dampaknya tak sampai menghancurkan Bumi ini. Untunglah hal yang seperti itu tak pernah terjadi lagi dimasa sekarang.

Setelah berhasil mengalahkan pasukan kegelapan di lapisan ketiga, Suwani dan ke 100 Pasukan Langit segera berkumpul. Manwatasya mengecek keadaan dan syukurlah semuanya tidak kenapa-napa, tak ada yang terluka. Dan karena masih dalam suasana pertempuran, mereka kembali bergerak maju menembus lapisan yang ke empat. Kali ini mereka harus berhadapan dengan pasukan yang lebih tangguh. Karena itulah, pasukan yang berada dibawah komando Manwatasya pun segera meningkatkan level bertarungnya. Dengan itu maka tak ada yang mampu mengalahkan mereka. Pasukan Langit itu bergerak sangat cepat tanpa bisa dihentikan. Siapapun yang menghadapinya akan tumbang dan tewas mengenaskan.

Waktu pun berlalu, kini setelah berhasil menembus lapisan yang ke empat dari pasukan kegelapan, Suwani dan ke 100 Pasukan Langit sampai juga di lapisan yang ke lima. Dan sesuatu yang unik pun terjadi dalam pertempuran kala itu. Banyak petinggi pasukan kegelapan yang kabur dan harus dikejar oleh sebagian dari Pasukan Langit. Semuanya tidak diberikan kesempatan untuk hidup, tidak ada yang ditangkap, karena langsung dimusnahkan. Selebihnya terus bertarung di tempat dengan mengeluarkan berbagai kesaktian yang luar biasa. Siapapun yang lebih sakti maka dialah yang menang.

Catatan: Pasukan kegelapan yang menyerang Bumi saat itu adalah sosok-sosok yang luar biasa sakti. Karena itulah Pasukan Langit sampai harus terlibat. Hal ini tidak biasa terjadi, bahkan di zaman-zaman sebelumnya.

Dan pada saat itu juga Manwatasya langsung berhadapan dengan pemimpin tertinggi dari semua pasukan kegelapan yang bernama Ghsatir. Atas perintah Manwatasya, maka Suwani dan ke 99 Pasukan Langit yang ada diperintahkan untuk memperbanyak diri dengan menggunakan sebuah mantra khusus. Setiap orang lalu menjadi 3 sosok, satu tetap berkumpul waspada, sementara yang keduanya bertarung dengan kecepatan kilat. Siapapun yang mereka lawan akan tewas mengenaskan. Dan ini belum berakhir, karena dilain waktu mereka juga mengubah dirinya menjadi raksasa dan segera menghancurkan ribuan pasukan musuh. Tujuannya agar pertempuran saat itu tak berlarut-larut dan cepat selesai.

Di lain tempat, Manwatasya terus bertarung dengan Ghsatir dalam level kesaktian yang sangat tinggi. Sampai akhirnya ia berhasil mengalahkan pemimpin tertinggi pasukan kegelapan itu. Sebagai komandan Pasukan Langit, tak butuh waktu lama baginya untuk bisa menghancurkan semua kesaktian raja kegelapan itu. Level keilmuan yang dikeluarkan oleh Manwatasya sungguh luar biasa dan belum pernah dilihat oleh Manusia yang hidup saat itu. Dan setelah ia berhasil membekuk si raja kegelapan, Manwatasya langsung mengubah dirinya menjadi seukuran nyamuk yang berjumlah sangat banyak. Sesaat kemudian ia sudah menyerang dan mengobrak-abik semua pasukan kegelapan yang masih saja menyerang. Atas serangan Manwatasya itu, ditambah lagi dengan serangan dari Suwani dan ke 99 Pasukan Langit, maka jutaan musuh tewas hanya dalam waktu beberapa menit. Sehingga perang dahsyat kala itu disebut dengan Kosaddum atau yang berarti perang dahsyat yang berlangsung singkat.

Ya. Meskipun pemimpin tertinggi mereka sudah kalah, tapi pasukan kegelapan itu tetap saja berperang. Mereka terus menyerang dengan berbagai jenis senjata dan kesaktian. Separuh lebih pasukan kegelapan itu sudah tewas namun mereka tetap saja tak mau menyerah. Karena itulah, Manwatasya tiba-tiba mengubah wujudnya menjadi raksasa yang sangat besar. Satu kali hentakan kakinya langsung memporak-porandakan pasukan kegelapan. Selanjutnya ia menarik sesuatu dari angkasa dan tiba-tiba muncul sebuah guci dari bahan kristal. Tak lama kemudian pasukan kegelapan yang tersisa ia tarik (sedot) masuk ke dalam guci tersebut, baik mereka yang tampak nyata ataupun yang bersembunyi. Setelah semuanya tersedot masuk ke dalam guci, lalu gucinya segera dihancurkan oleh Manwatasya. Mereka yang berada di dalamnya pun ikutan hancur, tewas mengenaskan dan musnah. Tak ada ampunan bagi mereka.

Selanjutnya, setelah semua pasukan kegelapan dapat dimusnahkan, tibalah saatnya bagi Manwatasya dan pasukannya untuk kembali ke Langit. Hanya karena nyawanya telah ditangguhkan sampai Hari Kiamat, maka raja kegelapan yang bernama Ghsatir itu lalu dibawa pergi dan ditawan di sebuah tempat rahasia. Sesuai informasi yang didapatkan, suatu saat nanti Ghsatir akan terbebas dan kembali membuat kerusakan di Bumi.

5. Mengundurkan diri
Sekali lagi Suwani berhasil mengukir prestasi yang sangat gemilang. Tak ada yang tak mengenalnya, karena sejak berhasil mengalahkan kerajaan Bursaka ia telah populer dimana-mana. Tapi semua itu tak pernah membuatnya lupa diri atau merasa bangga. Suwani tetaplah sosok yang sangat rendah hati dan hidup dengan kesederhanaan. Hal ini jelas membuatnya semakin dihormati semua orang, tidak hanya dari kalangan bangsa Manusia, tetapi juga bangsa Peri, Ruwan, Cinturia, dan Karudasya yang kala itu masih hidup di muka Bumi ini.

Dan setelah cukup lama mengabdi di kerajaan Niwaya, akhirnya Suwani memutuskan untuk melepaskan semua jabatannya. Di suatu tempat yang kemudian diberi nama Zahala, ia lalu membangun kediaman yang asri dan hidup sederhana di sana. Siapapun boleh ikutan tinggal di sana, tapi seleksinya sangat ketat. Hanya yang berhasil lulus ujian saja yang bisa hidup bersama dengan Suwani dan keluarganya. Dan setiap orang akan mendapatkan ujian yang berbeda-beda sesuai dengan karakternya.

Catatan: Sebenarnya mudah bagi Suwani untuk menjadi raja di negeri Niwaya, atau bahkan mendirikan kerajaannya sendiri. Semua orang pun ingin dipimpin langsung olehnya. Tapi itu tidak di lakukan karena memang ia tak ingin menjadi raja. Terlebih pada saat itu dirasa tak perlu, karena kerajaan-kerajaan yang ada sudah dipimpin oleh raja atau ratu yang baik dan bisa mengayomi penduduknya. Sungguh pribadi yang telah menang, karena berhasil mengalahkan dirinya sendiri.

Begitulah Suwani dan keluarganya hidup dalam kesederhanaan. Di tempat itu (Zahala) ia lebih dikenal dengan nama Begawan Asakiya. Siapapun yang ikut tinggal di sana tidak lagi memikirkan hiruk pikuk keduniawian, lantaran tujuannya adalah meraih pencerahan hidup dan kebebasan jiwa (moksa). Mereka hidup sederhana ala masyarakat pedesaan yang damai. Tapi selama masih tinggal di alam nyata dunia ini, mereka tetap siap membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan. Tak ada kezaliman yang boleh bangkit selama mereka masih ada. Siapapun yang menyimpang dari jalan kebenaran dan mengakibatkan banyak orang menderita, maka akan segera mereka perangi. Keadilan harus terus ditegakkan, sesulit apapun tantangannya. Dan itu pernah terjadi berulang kali selama rentang waktu ribuan tahun. Sampai akhirnya mereka pun berpindah ke dimensi lain dan menjalankan kehidupan barunya disana. Hanya sesekali saja dari mereka itu yang kembali ke Bumi untuk memberikan bimbingan kepada para kesatria utama.

Sementara itu, ke empat pusaka pemberian dari para Dewa (pedang, busur panah, mustika panca warna, dan kitab pengetahuan) lalu disembunyikan di suatu tempat di sekitar kediaman Begawan Asakiya alias Suwani. Siapapun yang berhak pasti bisa mendapatkannya meskipun sudah berganti zaman dan peradaban. Dan itu pernah terjadi berulang kali di zaman yang berbeda. Seorang kesatria pilihan sempat menggunakan ke empat pusaka itu untuk menegakkan keadilan dunia. Sedangkan untuk cincin pusaka pemberian Nabi Syis AS baru satu orang saja yang pernah dipinjami oleh Begawan Asakiya. Setelah itu, cincin tersebut kembali lagi kepada Begawan Asakiya dan hingga kini masih belum diserahkan kepada seorang kesatria utama. Atau mungkih sudah tetapi belum dipergunakan.

6. Akhir kisah
Wahai saudaraku. Demikianlah kisah mengagumkan dari seorang pemuda yang bernama Suwani. Jalan hidupnya tidak mudah karena diawali dengan kesedihan dan kegagalan hidup yang beruntun. Bahkan ia pernah hampir putus asa dan sampai mengembara tak tentu arah. Hanya saja Suwani tak pernah berhenti berharap agar Tuhan sudi memberikan petunjuk dalam hidupnya. Dihatinya selalu yakin bahwa Sang Pencipta telah memberikan yang terbaik baginya meski terasa berat untuk dijalani. Tugasnya adalah tetap sabar dan ikhlas menjalani hidup. Karena itulah, pada akhirnya ia bisa meraih ilmu pengetahuan dari para guru yang istimewa.

Dan atas bimbingan dari para gurunya itulah Suwani bisa menjadi orang yang berguna bagi dunia. Namanya bahkan menjadi yang termasyhur dimana-mana, tidak hanya di kalangan bangsa Manusia, tetapi juga bangsa Peri, Ruwan, Cinturia, dan Karudasya. Kedudukannya pun sudah berada di atas semua raja dan ratu, lebih terhormat dari mereka semua. Dan yang lebih mengagumkan dari sosok Suwani itu adalah sejak ia memutuskan untuk meninggalkan semua kedudukan dan popularitas keduniawiannya. Di saat karirnya sedang sangat bersinar, ia justru memilih untuk meninggalkan hiruk pikuk kekuasaan dan hanya menjadi seorang Begawan di tempat yang terpencil. Ia tidak lagi terlibat langsung dalam urusan ketatanegaraan – setelah  keadaan negara tetap stabil dan makmur, sebab hanya bersedia menjadi penasehat bagi siapapun yang membutuhkannya. Dan karena ia adalah juga seorang kesatria, maka jika memang dibutuhkan Suwani baru akan turun tangan langsung dalam menertibkan keadaan dunia.

Lalu, sebelum pergi mengasingkan diri, Suwani telah berpesan kepada yang berkumpul di depan istana kerajaan Niwaya. Katanya:

“Ya Maisan. Hubagayani kunawadiratasa limarudasya Nil, Sen, as Yos bahanakitarva seikamarudra. Yaginajabari diratamuka watilamida silamatahta 101-257-369-801 jasikayati kusaradhahasta. Ingsutamaya mulamaliham tasudaratya hilayatana Sri Maharaja Auramatasya Natataridha yelumbaga rekatatwa. Homatanuwa jala’ikati hunasta Hillah banusaguman mukadirasta hidirunamantya”

Demikianlah pesan dari Suwani kepada mereka yang sebenarnya tak ingin sang pahlawan pergi dari istana. Apa yang disampaikannya itu tidak berlaku hanya  untuk mereka yang hidup di masa itu saja, tetapi sampai ke masa-masa berikutnya. Terlebih memang ada petunjuk masa depan yang bisa dijadikan patokan bagi seseorang. Siapapun yang mengikutinya akan mendapatkan keutungan yang luar biasa. Tapi maaf bila dalam artikel ini kami tidak bisa memberikan terjemahannya, karena ada protap yang harus tetap diikuti.

Untuk itu saudaraku. Janganlah pernah memandang remeh orang yang terlihat bodoh atau kurang beruntung dalam hidupnya. Karena siapa tahu bahwa dirinya itu, di suatu hari nanti, akan menjadi sosok yang terhebat dan mengagumkan. Hormatilah siapapun sesuai dengan rasa kemanusiaan dan cinta kasih. Tak perlulah menghina atau sampai menyakiti. Karena selain berdosa itu akan menimbulkan masalah yang pelik. Baik untuk orang yang dizalimi, ataupun diri sendiri.

“Sangat terhormat saat memiliki banyak ilmu dan kemampuan. Tetapi lebih terhormat lagi jika tetap memiliki keluhuran budi”

Pun tetaplah sadar bahwa kehidupan dunia kini sudah berada di ujung periode zaman ke tujuh (Rupanta-Ra) dan sedang menuju ke periode zaman yang ke delapan (Hasmurata-Ra). Akan ada transisi zaman yang sangat mengerikan dan sekarang prosesnya sudah dimulai. Karena itu, secara perlahan kehidupan Manusia pun mulai bergeser dari level ketiga menuju ke level empat bahkan sampai yang ke lima. Bagi yang terbiasa ber-tadabbur dan ber-tafakur, seseorang tentu bisa merasakannya dengan menilik langsung apa yang sedang terjadi di atas Bumi ini, khususnya di alam goib sana. Dan nanti, akan ada pembersihan dan pemurnian total di seluruh muka Bumi ini. Banyak yang tewas dan sebagiannya lagi terpilih untuk mendapatkan mandat dalam melanjutkan kehidupan yang terbaik di zaman yang baru nanti. Mereka pun akan melahirkan generasi baru, yang istimewa.

Adapun di antara bentuk pembersihan dan pemurnian total kehidupan di Bumi ini adalah perang dahsyat yang bahkan lebih dahsyat dari semua perang yang pernah terjadi di masa lalu. Perang ini tidak hanya melibatkan umat Manusia, tetap juga makhluk-makhluk yang lainnya, bahkan dari Dimensi lain. Semuanya akan terlibat dalam satu pertempuran kosmik yang sangat mengerikan. Hanya yang telah mempersiapkan dirinya saja yang akan selamat dan atau diselamatkan. Bagi yang tidak ia hanya akan celaka dan mati mengenaskan.

Semoga tulisan ini bermanfaat, dan semoga kita termasuk di antara orang-orang yang beruntung. Rahayu.. 🙏

Jambi, 26 September 2018
Harunata-Ra

Catatan akhir:
1. Tulisan ini hanya untuk menyampaikan dan mengingatkan saja. Karena itulah silahkan Anda percaya atau tidak percaya. Tidak ada paksaan dari kami, karena semuanya adalah hak pilih yang sangat dihormati.
2. Ada banyak hal yang tak bisa kami sampaikan disini, sebab ada protap yang harus tetap diikuti. Maaf.
3. Tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malasan dalam mempersiapkan diri, karena kondisi dunia ini sudah semakin memprihatinkan. Alam pun semakin tegas memperingatkan tentang pergantian zaman ini.

11 respons untuk ‘Kosaddum: Perang Singkat Para Leluhur

    Asyifa said:
    September 28, 2018 pukul 6:11 am

    Subhanallah…. Ikut mnyimak enggih

      Harunata-Ra responded:
      September 28, 2018 pukul 10:51 am

      Silahkan mbak Asyifa, dengan senang hati kok.. Nuwun loh karena masih mau berkunjung.. Semoga ttp bermanfaat.. 😊🙏

        Asyifa wahida said:
        Oktober 20, 2018 pukul 7:20 pm

        Matur suwun mas …..

    Bunga said:
    Oktober 2, 2018 pukul 2:27 pm

    Salam Rahayu Mas Oedi🙏 semoga kita semua tetap dalam naungan Dan lindungan Allah SWT Mas🙏
    Mas Saya mau Tanya, mengenai kondisi akhir-akhir ini yang mulai banyak bencana dimana-mana. Apakah itu smua pertanda bahwa cakra batu merah (yg pernah Mas Oedi tulis dalam artikel cakra manggilingan) telah di putar? Oiya mohon Cek email njih mas Saya kirim email he he🙏 terimakasih Mas 🙏 salaam rahayu 🙏😊

      Harunata-Ra responded:
      Oktober 3, 2018 pukul 5:32 am

      Rahayu juga mbak Bunga… nuwun karena masih mau berkunjung.. moga ttp bermanfaat.. 🙂
      Setahu saya iya mbak, Cakra Manggilingan yang bernama Chakra Virhawaya itu telah diputar.. makin lama akan makin kencang. Itu artinya bencana dan chaos akan semakin parah terjadi di Bumi ini… Tapi semua hanya atas izin dan kehendak-Nya saja… kita cuma bisa mengira dan bersiap diri..
      Oke mbak, nanti akan saya cek emailnya.. mohon bersabar.. 🙂

    Bunga said:
    Oktober 10, 2018 pukul 10:48 pm

    Ya Allah.. Semoga kita selalu dalam lindugan Dan naungannya ya Mas Oedi. Amiiin Ya Rabbal al amiin. 🙏 salaam Rahayu Mas🙏

      Harunata-Ra responded:
      Oktober 12, 2018 pukul 2:32 am

      Aamiin… semoga begitu mbak Bunga… dan Nuwun karena masih mau berkunjung, semoga ttp bermanfaat.. 🙂

    Yoga budi said:
    Oktober 11, 2018 pukul 12:42 pm

    Assalamu’alaikum mas Oedi, salam kenal saya baru di blog ini
    Sedang menyelami samudera ilmu yang mas bagikan lewat tulisan mas, sungguh luar biasa 🙏
    Saya yakin mas adlh org yg punya spiritual luar biasa hingga dapat menulis kisah seperti ini 🙏

      Harunata-Ra responded:
      Oktober 12, 2018 pukul 2:38 am

      Wa’alaikumsalam mas Yoga Budi, salam kenal juga dan terima kasih karena sudah berkunjung, semoga bermanfaat.. 🙂

      Syukurlah kalo suka dengan tulisan di blog ini, tapi mohon jg berlebihan dong mas karena saya ini masih sgt awam dan bau kencur loh.. Adapun ttg kisah2 yg disampaikan, semua hanya atas izin-NYA saja, saya bukan siapa-siapa…

    Bhumi said:
    Oktober 14, 2018 pukul 11:44 am

    Apakah Nabi Syis As disini merupakan kakek dari Sanghyang Nurrasa?

      Harunata-Ra responded:
      Oktober 15, 2018 pukul 1:35 am

      Bukan sih mas/mbak Bhumi… Keduanya tidak ada ikatan keluarga..

Tinggalkan Balasan ke Harunata-Ra Batalkan balasan